Sekarang saya mau menulis lagi opini soal Jokowi ...
Kenapa ? Bukan karena saya anti Jokowi, atau mau nantang pendukung Jokowi, tetapi justru saya ingin menolong para pendukung Jokowi, berupa pemikiran. Karena dukungan TANPA BERPIKIR CERDAS, hanya akan menumbuhkan FANATISME BUTA, dan bisa saja malah menyusahkan orang yang kita dukung.
Sekarang saya belum dapat mengatakan diri saya sebagai pendukung Jokowi, karena sekarang beliau belum Capres, bahkan beliau saja bilang "gak mikir". Jadi buat apa juga saya harus membuang kapasitas "Diskspace" otak saya memikirkannya, apalagi sampai menjadi pendukung fanatik. Kalau ingin konsolidasi ya boleh-boleh sajalah.
O ya, mengapa fanatisme tanpa berpikir cerdas bisa menjadi fanatisme buta ??? Bayangkan, saya bicara soal tantangan dan kendala apabila Jokowi nanti jadi Presiden, lalu begitu banyak respon (sinis) dengan mencontohkan keberhasilan Jokowi sewaktu menjadi Gubernur Solo dan sekarang sebagai Gubernur DKI Jakarta. Benar-benar Jaka Sembung, gak nyambung.
Kalau kita TIDAK PAHAM bedanya otoritas atau kewenangan dan lingkup kerja seorang GUBERNUR dan seorang PRESIDEN, maka sebaiknya tidak usaha ikut bicara, karena hanya akan menambah hiruk pikuk politik, tidak akan mencerdaskan. Lebih baik menjadi pendukung yang duduk manis, diam sambil belajar.
Sebagai GUBERNUR, Jokowi sangat powerful, siapapun pegawainya yang tidak becus kerja, mau Walikota, Camat, apalagi Lurah, bisa beliau Pecat/ Mutasi "sesukanya". Tidak ada cerita. Beliau bisa sangat tegas pada posisi ini. Tetapi kalau jadi Presiden ???
Di Posisi (Presiden) ini, kita perlu belajar sedikit ...
Pelajaran PALING PENTING, memahami BUDAYA perpolitikan di Indonesia. Sudah ada contoh-contoh kasus yang dapat kita jadikan referensi untuk belajar, misalnya sewaktu Ibu Megawati gagal jadi presiden di tahun 1999, menjadi puteri yang tertukar dengan Gus Dur. PDI-P pemenang 33% suara, tetapi Amien Rais dengan "bijaksana" memunculkan POROS TENGAH, dan Gus Dur menjadi presiden. Ingat ??? atau belum lahir waktu kejadian itu ???
Inilah yang saya maksudkan BUDAYA Politik itu
Menjadi Presiden, anda tidak akan bisa (sesukanya) memecat Menteri yang lalai urus kedelai, tanpa berkompromi dengan si pemilik Menteri, yaitu partai politik. Walau kita tahu dan sadar sesadar sadarnya PRESIDEN adalah pemilik hak PREROGATIF soal Menteri. Maka inilah yang saya maksudkan BUDAYA Politik itu. Sekali lagi, walaupun ada hukum Tata Negara soal Hak Prerogatif Presiden, namun pada prakteknya (budaya), selalu saja ada kompromi. Kecuali Partai Pengusung Presiden mampu menang sangat mayoritas, seperti dulu GOLKAR di tahun 1997 menang sampai 70,2% !, maka Memecat atau Memutasi Menteri yang tidak becus kerjanya, barangkali tidak ubahnya Memecat atau Memutasi Walikota.
Jokowi Presiden ...
Jika melihat kinerja dan ketulusan kerjanya, serta bebas Korupsi, sebagian besar pasti akan setuju Jokowi Presiden 2014, bahkan sebagian mungkin akan bersuara, pasangkan dengan A-Hok sebagai Wapres. TOP Banget sudah! Masuk barang itu kata beberapa yang lain.
Namun, bukan ingin mengecilkan antusiasme pendukung Jokowi, tetapi ada baiknya juga ikut mengawasi, kalau-kalau budaya politik masih sama. Bayang-bayang itu rasanya mulai terlihat, yaitu dengan belum dicalonkannya Jokowi oleh partainya sendiri, lalu suara-suara yang inginkan Jokowi sebagai Wapres saja.
Ah, mungkin Jokowi pilihan tepat, tinggal bagaimana Budaya Politiknya. Jika kita semua inginkan INDONESIA BARU, yang berkeadilan dan makmur, tentu bukan hal sulit bagi Jokowi untuk mewujudkannya. Jadi Gubernur saja Powerful, apalagi memiliki KEWENANGAN seorang Presiden.