Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Saya Anggap Cerpen

4 Oktober 2010   06:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:44 85 0
Ana` Bidadari

Roni S. Mappeware

Joran pancingku bergerak-gerak. Talinya menegang. Seekor ikan pasti telah tersangkut pada mata pancingku. Aku melangkah dengan tenang. Joran itu tak mungkin lepas, aku mengikatnya kuat pada tangkai pohon asam di tepi telaga. Sebenarnya, tak ada lagi niat untuk mengangkatnya. Hari telah menjelang siang. Tapi ada rasa ingin tahu yang sangat kuat memaksaku untuk menghampirinya. Saat hendak menarik pancing. Sesosok bayangan berkelebat di balik rindangnya daun asam. Terdengar suara tapak-tapak kecil semakin menjauh dari pokok besar asam itu. Rasa penasaran menguasaiku. Kucoba menarik pancing, namun suara selain tapak -tapak kecil menarikku untuk mengikutinya. Kulepas pancingku, setengah berlari kuikuti jejaknya pada rumput sore yang tengah menanti cumbuan embun.

Jejak itu menuju hutan. Tepatnya rimbunan pohon-pohon asam. Terlihat jelas semak tersibak . aku bergegas. Rimbun pohon asam telah berakhir. Kembali semak menutupi jalanku. Jejak itu berakhir. Tak ada bekas sibakan lagi pada semak. Aku merinding. Seluruh tubuhku bergetar. Dari posisi jongkok memeriksa jejak kuangkat badanku perlahan. Dua langkah dari tempatku ada sebuah batu besar. Besar sekali. Padanya terdapat undakan-undakan kecil. Tangga. Kucoba memperhatikan semuanya. Tepat, salah satu jejak mengarah ke batu dan jejak lain tertekan lebih dalam dari jejak yang lain. Berarti ia melompat.

Kutapaki setiap undakan itu. Tak urung kucoba menghitungnya. Hingga puncak, ada 13 undakan yang tidak teratur. Aku kini berdiri tegak. Angin sepoi menyapaku. Sinar mentari menyengat lembut. Hamparan hutan lebat berada didepanku. Terdengar suara dari sisi kiriku. Kutolehkan kepala. Hamparan bunga matahari dengan kembangnya yang menguning. Dikakinya bunga asoka warna warni. Semua bunga yang aku kenal ada di sana. Di kiri kanan kerikil-kerikil kecil berkilau.

Ia disana. Rambut panjang terurai. Gaun putih menggelembung mekar menyapu setiap jengkal tanah yang dilaluinya. Suara-suara aneh tetap terdengar. Kadang seperti terkekeh kadang justru terisak. Pelan kakiku kulangkahkan. Kulepaskan sepatu bot yang selalu kupakai saat memancing. Ah, pancingku bagaimana kabarnya. Ikan yang menggigit mata pancing itu pastinya akan kesakitan. Mungkin ia telah ikhlas menyerahkan dirinya kepadaku. Tapi ikan itu tak lebih menarik dari suara dan jejak dari bayang itu.

Setiap langkahku kubuat sangat hati-hati. Aku takut mengejutkannya. Aku telah berdiri tepat di belakangnya. Kuperhatikan setiap bagian tubuhnya untuk memastikan kakinya betul-betul menjejak bumi dan tak ada lubang memerah di punggungnya. Saat semua kulakukan ia bergerak pelan. Berdiri. Membuatku terpaku. Ia membalikkan badan. Sosoknya, senyumnya, parasnya, aku mengenalnya.

Saat kucoba untuk berkata-kata, terdengar suara merdu nan indah dari balik rimbun kembang kertas putih. Sosok anak kecil bergerak malu-malu. Kepalnya tertunduk tapi tak sedikitpun ia terantuk. Masih sambil menyanyikan "lihat kebunku" ia meraih tangan sosok itu dan bergelayut manja. Ia perlahan mengangkat wajahnya, menatapku. Tak sadar tubuhku telah merendah dan berlutut di depannya. Aku mengenalnya, aku sangat akrab dengan tatapnya, aku ingin memeluknya, aku ingin menagis di pundaknya, aku ingin melakukan apa saja untuknya, tapi siapa dia. Sesaat kemudian ia mendongak, aku pun mendongak. Kulihat sosok itu mengangguk.

Anak kecil itu menangis, tak ada suara. Air matanya bergenang lalu tumpah. Penglihatanku kabur oleh air mata. Kucoba berdiri. Kulangkahkan kaki menghampiri sosok itu. Ia tak bergeming. Wajahnya menggambarkan sedih dan bahagia. Kupeluk tubuhnya. Ia membalas memelukku, mesra. Sambil tetap berurai air mata, kusandarkan kepalaku pada pundaknya. Perlahan ia berbisik lirih, hampir-hampir aku tak dapat mendengarnya. "ia anakmu, anak kita". Tangisku pecah.

Pagi yang cerah. Seperti biasa, setelah menyiapkan sarapan ia akan berjalan-jalan di halaman sambil menyapa bunga-bunga peliharaannya. Setiap bunga itu diberinya nama layaknya manusia. Setiap bunga itu diperlakukannya seperti anaknya. Disapa, diajak bercanda dan bercengkerama. Ia telah melakukannya saat usia pernikahan kami menginjak tahun kedua dan belum juga dikaruniai seorang anak pun. Telah banyak usaha kami lakukan, semua memastikan tak ada kelainan pada kami berdua. Kami tetap menjalani hidup dengan damai, tenang, jauh dari hiruk pikuk keramaiaan desa.

Setelah berkeliling, ia menghampiriku. Ia menyampaikan mimpinya semalam. Mimpi yang membuatku terbangun. Mimpi yang membuatku bahagia. Aku mendengarkan dengan saksama, meski sebenarnya aku tahu apa yang dimimpikannya. Aku mendengar semuanya. Untuk pertama kalinya ia mengigau. "kita akan segera memiliki anak, beberapa bulan lagi aku pasti hamil. Seorang nenek menghampiriku dan menyampaikannya, hanya saja ia mengharuskan saya untuk makan ikan emas dari telaga di tepi hutan itu setiap pagi. Setiap pagi, dan harus hasil pancinganmu".

Semua telah kusiapkan. Tengah malam saat terbangun, kubuka gudang penyimpanan dan kusiapkan semua perlengkapan memancing. Dan pagi ini, aku siap memulainya. Untuk anakku. Sejak hari itu rutinitasku berubah. Setelah sarapan aku akan melangkahkan kaki ketepi telaga, di bawah pohon asam yang rindang, mungkin usianya sudah ratusan tahun, melemparkan pancing dan menunggu dengan sangat serius. Setelah mendapatkan seekor ikan aku akan segera pulang. Memang ia memesankan "hasil pancingan tidak boleh lebih dari satu".

Seminggu. Aku semakin bersemangat. Ia mengatakan dirinya telah hamil kini. Tiga bulan. Semua berjalan sesuai rencana. Aku memperhatikan perubahan pada badannya setiap saat. Ada sesuatu yang hilang bila aku luput memperhatikannya sejenak saja. Perutnya semakin besar.

Bulan kedelapan. Seperti biasa setelah sarapan aku melangkahkan kaki ketepi telaga, di bawah pohon asam tua itu. Tetapi mungkin hari ini hari sialku. Hingga panas matahari sudah mulai agak menyengat tak jua kudapatkan seekor ikanpun. Kuambil jaring yang telah lama tergantung di pohon asam itu. Kumasukkan kakiku ke telaga. Kulemparkan jaring, lalu aku menariknya dengan susah payah. Puluhan bahkan hampir ratusan ikan emas menggelepar di dalam jarring. Rasa marah dan jengkel menguasaiku. Ikan yang begitu banyak tak ada yang mau menggigit pancingku. Kuraih seekor lalu kubunuh dengan memencet lehernya. Seekor lagi mati terhempas pada pokok pohon asam. Yang lainnya, semua kubunuh setelah kuambil seekor untuk istriku.

Aku pulang. Belum terlalu siang, bahkan masih tergolong pagi. Istriku tergolek di tempat tidur. Bukan kebiasaannya. Setiap aku pulang memancing, ia akan berdiri di depan pintu, telah berdandan dan menyambutku dengan tangan terbuka lebar dengan senyumnya yang menawan. Ia tak pernah peduli pada bau badanku. Tapi sekarang. Ia terbaring di tempat tidur. Matanya terpejam. Wajahnya damai, tenang, tak ada kesusahan yang tergambar di sana. Tangannya menangkup di atas perutnya yang tinggal menunggu waktu melahirkan. Ia mengenakan gaun putih yang dikenakannya saat kami menikah. Di atas meja kecil, seonggok bunga warna- warni telah dirangkainya dengan sangat indah. Yang luput kuperhatikan, ia juga mengenakan mahkota dari bunga.

Kuhampiri ia dalam tidurnya yang aneh itu, sambil menjinjing ikan emas hasil tangkapanku hari ini. Tubuhku seakan kehilangan tulang saat kuperhatikan tak ada detak pada jantungnya. Kulepaskan ikan emas, kuletakkan telunjukku di kedua lubang hidungnya tak ada angin yang berhembus. Aku berteriak, meronta, meraung sejadi-jadinya. Tak rela aku mengubah dandanannya. Semua karena aku, aku yang tak memenuhi keinginannya, aku yang memperturutkan amarah. Aku telah membunuhnya. Bersama anak yang dikandungnya. Anak yang kami dambakan. Anak yang kami belum pernah melihatnya. Anak yang namanya saja belum berhasil kami temukan. Anak yang membuatku harus memancing setiap hari. Anak yang harusnya mengisi hari-hari kami. Anak yang akan menyusu pada ibunya. Tapi aku melanggar semuanya. Aku membunuhnya. Dan aku tidak sempat memohon maaf.

Makassar, 2009

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun