Mohon tunggu...
KOMENTAR
Olahraga

Rudi Gracia, Roma, dan Gitar

7 Oktober 2013   12:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:53 316 1

Sumber Top Skor

NYARIS tak ada yang berubah pada diri Rudi Garcia. Lagaknya tetap tenang, dingin, fokus, cenderung serius. Namun, pria asal Prancis itu ternyata bisa juga emosional, meledak-ledak. Usai AS Roma menang 5-0 atas Bologna, pekan lalu, Garcia ikut berteriak, melompat histeris.

Garcia memang tengah jadi primadona. Di Roma, tepatnya, nama pria berusia 49 tahun itu harum bak melati yang baru mekar. Itu lantaran Roma, klub yang dilatihnya sejak Juli lalu, tengah menjulang penampilannya. “I Giallorossi” berhasil memenangkan enam laga awal mereka di Seri A 2013/14. Ini sejarah bagi Roma, yang telah tiga kali meraih scudetto.

Tifosi pun langsung jatuh cinta kepada Garcia. Direktur Olahraga Roma, Walter Sabatini, menyebut pria kelahiran Nemours, Prancis, 20 Februari 1964 itu sebagai perpaduan Luis Enrique dan Zdenek Zeman, dua pelatih Roma terdahulu, yang sama seperti Garcia, berasal dari luar Italia. Enrique dari Spanyol, Zeman dari Republik Ceko.

Di bawah asuhan Garcia, Roma memang kembali menjanjikan. Bayang-bayang scudetto pun jadi mimpi yang tak mampu ditepis tifosi. Di tangan Garcia, tifosi mendapatkan harapan. Harapan yang nyaris sama seperti ketika “I Giallorossi” dilatih Luciano Spalletti. Bahkan, bukan tak mungkin menyamai torehan Fabio Capello, pelatih terakhir yang sukses memberi Roma scudetto, pada 2000/01.

Permainaan ofensif dengan skema 4-3-3, kembali jadi pemandangan yang kerap dimainkan pasukan “I Giallorossi”. Formasi yang juga digunakan Enrique dan Zeman.  Bagi Garcia sendiri, pola 4-3-3 bukan hal baru. Saat membawa Lille jadi juara Ligue 1 Prancis 2010/11 dia juga memainkan formasi yang sama, yang kemudian melahirkan bintang-bintang seperti Adil Rami, Yohan Cabaye, ataupun Eden Hazard.

Sepak bola menyerang memang sangat diagungkan Garcia. Namun, jangan salah. Dalam filosofinya, sepak bola menyerang juga butuh pertahanan yang bagus.  Maka itu, selain fokus menyerang, Garcia juga sangat concern terhadap pertahanan.

Sebagai perbandingan, dua musim terakhir melatih Lille, Garcia membawa klub itu mencetak jumlah gol yang sama dengan yang dicetak Roma dua musim terakhir, 131. Bedanya, Lille di bawah Garcia kebobolan jauh lebih sedikit, 79 berbanding 110 milik Roma di bawah asuhan Enrique dan Zeman.

Tak salah memang jika disebut Roma tengah berevolusi di tangan Garcia. Itu karena Roma bentukannya bisa melambung lantaran kontribusi pemain-pemain baru yang datang bersama Garcia. Sebut saja Mehdi Benatia, Adem Ljajic, Kevin Strootman, Maicon, atau Gervinho, pemain yang ikut dalam skuat Lille saat juara bersama Garcia.

Bahkan, Sembilan dari total 17 gol Roma dalam enam laga, lahir dari pemain-pemain baru di atas. Gervinho dan Ljajic mencetak tiga gol. Benatia dua gol dan Strootman mencetak satu gol.

Selain itu, bintang-bintang yang sempat terpinggirkan di era pelatih sebelumnya, juga kembali bersinar di bawah sentuhan Garcia. Lihatlah bagaimana Daniele De Rossi menemukan kembali menikmati perannya sebagai jenderal lapangan tengah. Atau  Miralem Pjanic yang kembali jadi andalan penggempur pertahanan lawan lewat lini tengah.

Cinta Gitar
“Sepak bola adalah pertunjukan,” ujar Garcia berfilosofi. Maka itu, Gardcia selalu ingin mengibur penonton dengan permainan indah di lapangan. Bola selalu berada di rumput. Satu sentuhan, dua sentuhan, bola terus mengalir. Dan, ibarat orkestra,  Roma pun jadi begitu merdu di bawah Garcia, sang dirigen.

Kebetulan, Garcia sangat mahfum akan nada-nada harmonis dan sumbang. Itu lantaran dia juga sangat mencintai gitar, selain sepak bola. Instrumen musik enam senar itu menjadi sahabat setia Garcia di kala senggangnya.

Aksinya memainkan gitar sambil bernyanyi lagu berbahasa Spanyol “El Porompompero”, di ruang ganti Lille mendapat berbagai tanggapan, setelah diunggah lewat You Tube. Satu lagi kelebihan garcia yang membuat tifosi makin mencintainya.

Bukan Siapa-siapa
Garcia sendiri sebenarnya bukan murni Prancis. Keluarganya berasal dari Spanyol, Andalusia, tepatnya. Namun, Garcia menyebut, keluarganya sering mengunjungi kampung halaman nenek moyangnya itu dengan mengendarai mobil tua, Citroen 2CV. “Perjalanannya bisa mencapati tiga hari. Tapi kami senang bisa menikmati matahari dan udang sepanjang perjalanan,” ujar Garcia, seperti dikutip Le Journal de Dimanche.

Menariknya, Garcia tak memiliki rekam jejak bagus sebagai pemain. Meski sempat tampil di Ligue 1 bersama Lille, tetap seabgai pemain, Garcia bukanlah siapa-siapa. Apalagi, waktu Garcia di lapangan juga tak panjang. Pada usia 28 tahun, Garcia yang mengikuti jejak sang ayah, sebagai pemain, harus pensiun lantaran cedera.

Perofesi pelatih pun tak dia dapat dengan mudah. Bahkan, Garcia haurs mengawalinya sebagai pelatih fisik bersama Saint Ettiene di awal musim 2001/02. Baru bersama Dijon, yang dibawanya promosi ke Ligue 2, Garcia dipercaya sebagai pelatih kepala. Sampai akhirnya dia dipercaya melatih Le Mans di Ligue 1 pada musim 207/08.

Keberuntungan Garcia berlanjut saat dia ditunjuk melatih Lille menggantikan Claude Puel yang hengkang ke Lyon pada 2008.  Dia membawa klub tersebut jadi juara Ligue 1 dan Piala Prancis di musim 2010/11.

Kini, filosofi itu, yang mengantar Garcia juara bersama Lille dia bawa ke Roma. Memang, di Roma dia belum memiliki “Conseil des Sages”—sekumpulan pemain senior yang sering dia mintai penadapat—seperti di Lille. Namun, dengan kebintangan Francesco Totti dan bantuan pemain-pemain senior seperti De Rossi, Maicon, atau Federico Balzaretti, bukan tak mungkin Garcia membuat Roma seperti Lille: juara!***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun