Ada 16 Hukuman paling sadis menurut sejarah kekaisaran kuno tersebut. dan Hukuman paling sadis yang paling terakhir adalah hukuman disisir dan dibersihkan. Ini adalah istilah dimana terdakwa di sikat dan dibersihkan kulit dan dagingnya hingga bersisa tulang saja. Namun demikian tidak pernah ada seorangpun yang mengalami hinggga bersih. Karena biasanya si terdakwa pasti akan meninggal sebelum proses hukuman berakhir. Pencetus pertama hukuman ini adalah Kaisar Hongwu lebih di kenal dengan Zhu Yuanzhang 21 September 1328 – meninggal 24 Juni 1398 (wikipedia).
Berikutnya Hukuman mati dengan beragam istilah dan bahasa di dunia kerap kali mendapat penolakan dengan beragam alasan. Di indonesia sendiri penolakan hukuman mati rasanya cukup sesuai dengan UUD 1945. Pasal 28 A dan 28 I menyebutkan, hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa... adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Meskipun ternyata masih ada hukuman mati untuk para terpidana yang telah terbukti melakukan tindak kejahatan yang sangat besar. Diantaranya adalah pembunuhan berencana. Dengan asumsi bahwa terdakwa pembunuhan berncana tersebut telah melakukan pelanggaran yang diatur (merampas hak hidup orang lain) .
Sebelumnya penolakan hukuman mati memang telah gencar dibicarakan sejak abad ke-18. Salah satu tokohnya antara lain Beccaria (1738-1794) yang menerbitkan buku An Essay on Crimes and Punishment. Dalam buku tersebut diungkapkan opini-opini bahwa hukuman mati adalah sebuah hukuman yang terasa begitu berlebihan.
Selain itu, Argumen penghapusan hukuman mati didasarkan pada alasan yang meragukan efektivitas hukuman mati. Putusan seseorang dihukum mati seringkali dianggap tidak berdasarkan observasi empirik, tetapi terbatas pada opini polisi dan bantahan para jaksa.
Yang paling menakutkan dari hukuman mati adalah, ketika hukuman mati yang berdasarkan motif-motif politik seperti mengancam status quo atau berasal dari kelas sosial dan ras tertentu. Hal ini dialami oleh para budak dan kulit hitam di Amerika pada tahun 1930-1964.
Alasan lain tentang penolakan hukuman mati adalah bahwa terpidana yang dihukum mati tidak akan memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri. hukuman mati bernilai destruktif karena negara dianggap tidak menghargai maratabat luhur warganya. Padahal negara seharusnya wajib mempertahankan nyawa warganya dalam keadaan apapun. ( Hans Von Hentig-Wikipedia).
Satu hal lebih mengenaskan adalah. Ketika hukuman mati yang telah di jatuhkan dan terpidana sudah meninggal dunia. Dikemudian hari, terungkap bukti-bukti baru sebagai fakta penjelasan bahwa terpidana mati itu tidak bersalah. Inilah kemungkinan yang bisa saja terjadi, dan sialnya kehidupan terdakwa memang sudah jelas tidak akan bisa di kembalikan lagi.
Beberapa negara telah menghentikan hukuman mati. Diantaranya adalah Rumania yang menghapus hukuman mati sejak tahun 1865 dan Italia sejak tahun 1874. Namun demikian beberapa negara justru menolak penghentian hukuman mati tersebut, negara-negara itu diantaranya Mesir, Singapura, Myanmar dan tentu saja Arab Saudi yang baru baru ini mengeksekusi Ruyati sebagai TKW asal Indonesia yang di vonis mati karena telah membunuh majikan perempuannya.
Terlepas dai polemik pro-kontra hukuman mati, etika dalam hukuman mati memang selalu ada dan dilakukan di manapun. Di indonesia sediri telah di atur dalam UU No 5 Tahun 1969. Tentang TATA CARA PELAKSANAAN PIDANA MATI.
Dalam undang peraturan tersebut. dijelaskan bahwa terpidana mati memiliki hak untuk mengetahui waktu eksekusi, dan lain lainnya termasuk cara mlakukan eksekusi yang tidak terkesan sadis. Bahkan setlak eksekusi dilakukan, terpidana mati telah diatur untuk mendapatkan prosesi penyempurnaan mayatnya tergantung dari agama yang dianutnya.
Yang saya garis bawahi dalam aturan trsbut adalah pada :