Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Politik dan Budaya Tantangan Perbankan Syariah di Indonesia

28 Juni 2011   08:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:06 235 0
Saat ini pertumbuhan industri perbankan syariah cukup mengagumkan. Terlebih lagi apabila pertumbuhan ini dibandingkan dengan pertumbuhan perbankan konvensional. Akan tetapi bila ditelisik lebih jauh, hal ini hanya disebabkan karena total asset perbankan konvensional sebagai denominator untuk menghitung growth terlalu besar jika dibandingkan dengan total asset perbankan syariah. Sehingga meski mengalami kemajuan yang pesat, secara sepintas perbankan konvensional terlihat kalah telak dalam hal pertumbuhan. Padahal, dari segi total asset, total asset perbankan syariah itu sendiri belum mampu mencapai 4 persen dari total asset perbankan nasional di Indonesia.

Kondisi yang dialami perbankan syariah pada suatu sisi juga dialami oleh perbankan syariah di negara-negara lain. Hanya di Sudan dan Iran perbankan syariah mampu menguasai 100% pasar, itupun karena keputusan pemerintahnya yang menganut single banking system. Malaysia yang lebih dahulu menggunakan sistem keuangan Islam telah mampu mencapai pangsa pasar 20persen. Hal yang sama juga di alami oleh Saudi Arabia dan beberapa negara di Timur Tengah. Walaupun pangsa pasar perbankan syariah di beberapa negara di kawasan tersebut memang belum mencapai apa yang telah diraih oleh perbankan syariah di negri jiran, tetapi pertumbuhan industri mereka paling tidak lebih baik daripada hanya kurang dari 4 persen.

Meski jarang di bahas dalam tataran akademik, tapi mungkin politik dan budaya termasuk tantangan utama dari susahnya perbankan syariah berkembang di Indonesia. Memang betul fasilitas yang ditawarkan perbankan syariah belum memadai dan memang betul beberapa produk konvensional terutama yang diminati corporate customers belum mampu dihadirkan oleh perbankan syariah. Tapi mengapa pada sektor ritel pertumbuhan tersebut belum juga mencapai apa yang di harapkan? Padahal Indonesia adala negara yang dimana penduduknya 88 persen Muslim dan merupakan negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia.

Kembali politik, itu lah kata kuncinya. Kita tidak perlu mengharapkan pemerintah kita untuk mengikuti langkah Sudan, Iran, atau mungkin Pakistan yang dulu sempat mengIslamisasi sistem keuangannya. Kita hanya perlu pemerintah untuk lebih serius mendukung pertumbuhan sistem keuangan Islam di negara kita. Berharap banyak pada Bank Indonesia untuk berbuat lebih pasti tidak mungkin apabila tidak didukung oleh instansi-instansi lain. Kita harus belajar dari "adik"  kita Malaysia yang lebih dulu mengembankan industri ini. Di negara tersebut, Bank Sentral, Bapepam, Bursa Efek beserta otoritas lain seperti kementrian keungan bekerja sama menjadikan negara tersebut menjadi Sentral Keuangan Syariah dunia. Kerjasama tersebut tertuang dalam wadah MIFC atau Malaysia Islamic Financial Center. Tapi di Indonesia? Kerja sama memang ada, tapi mungkin persaingan antar institusi entah disadari ataupun tidak mengurangi efektifitas kerjasama yang seharusnya dapat lebih ditingkatkan.

Dukungan partai politik juga sangat diharapkan dalam mengembangkan keuangan Islam pada umumnya, dan perbankan syariah pada khususnya. Akan tetapi kita lebih tertarik membahas isu agama, bahwa negara kita adalah negara Pancasila dan tak boleh membeda-bedakan fasilitas antara pemeluk agama satu dengan agama lainnya. Tapi keuangan Syariah bukanlah agama! Keuangan syariah adalah sistem keuangan yang operasinya memang berdasarkan prinsip-prinsip yang diajarkan oleh satu agama, tapi pada prakteknya bisa digunakan oleh pemeluk agama lain. Sejauh ini, tak satupun "Shari'ah Requirements pada sistem keuangan Syariah mendapatkan kritikan dari pemeluk agama lain.  Dan ketika Inggris, Singapore, dan Hong Kong dimana umat Muslimnya adalah minoritas telah menyatakan keinginannya untuk menjadi pusat keuanganan Islam dunia, mengapa negara kita yang mayoritas Muslim masih malu-malu kucing untuk meraih hal yang serupa?

Budaya adalah masalah kedua. Entah sejak kapan budaya seperti ini ada. Kita saat ini terbiasa untuk skeptis terhadap hal-hal yang baru, yang bertentangan dengan kebiasaan yang telah lama kita jalani. Padahal, sebagai negara kepulauan, semenjak ribuan tahun yang lalu kita sudah terbiasa menjadi bangsa yang terbuka pikirannya dan mau menerima hal-hal yang baru. Tapi mengapa ketika kita diingatkan, untuk memenuhi sebagian kecil dari keharusan agama, dimana hal tersebut pada beberapa waktu yang lalu sulit untuk dilakukan, dan sekarang mungkin untuk dilaksanakan, kita seperti bermalas-malasan untuk menerimanya?

Sepuluh tahun yang lalu ketika kita di ajak untuk menabung di bank syariah kita bisa berkata, "mau nabung dimana?" atau mungkin "susah akses nya". Tapi situasi sekarang seharusnya sudah jauh berbeda kecuali bagi mereka yang berada di daerah-daerah yang belum banyak bank syariahnya, dimana kondisi darurah masih bisa diterapkan. Ini seharusnya bukan budaya kita.  Tapi mungkin kita sudah terlalu lama berinteraksi dengan lembaga keuangan konvensional membuat kita menjadi "defense" dah bahkan cenderung "ofense" terhadap ajakan menabung di bank syariah. Padahal,  Islam tidak mempermasalahkan apabila seseorang pernah terlibat dengan riba tapi mau meninggalkan hal tersebut dan hanya mengambil "pokok" dari tabungannya saja .

Akan tetapi, bisa jadi juga ajakan yang terlalu bersemangat dari aktifis keuangan syariah yang menyebabkan  masyarakat menjadi defensif.  Ada peryataan dosa makan babi lebih tak sebesar dosa memakan riba, tapi mengapa orang lebih takut makan babi daripada memakan riba? Pernyataan ini benar menurut ajaran ajaran agama. Tapi bagi sebagian orang, pernyataan ini seperti mengecam kebiasaanya.  Perasaan defensif itu menjadi ofensif kala melihat aktifitas keungan syariah, terutama perbankan syariah secara kasat mata tidak nampak berbeda dengan perbankan konvensional. Maka sampailah mereka pada pernyataan: "Bank syariah dan bank biasa sama saja!"

Di satu sisi mungkin mereka ada benarnya tapi disisi lain tentu ada kesalahpahamannya. Kita memang harus menerima kenyataan bahwasanya masih banyak yang harus dibenahi dari praktek keuangan syariah  pada dewasa ini. Tapi perlu ditekankan bahwa pembenahan tersebut memerlukan dukungan bersama. Dukungan tersebut harus diberikan secara makro dari sisi politik, dan  secara mikro dari segi budaya personal masyarakat Indonesia. Dengan demikian, barulah potensi pasar yang besar ini dapat diraih demi mendorong pembangunan yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia pada umumnya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun