Dalam Refleksi DPR Akhir Tahun 2010, Kamis, 23 Desember 2010, Ketua DPR Marzuki Alie sempat mengakui bahwa DPR masih lemah dalam mengkomunikasikan konsep dan rencana strategis kepada masyarakat. Marzuki Alie mengambil salah satu contoh yaitu saat pengadaan rumah aspirasi. Akibat komunikasi yang lemah, konsep rumah aspirasi telah dipahami secara keliru oleh masyarakat.
Jika kita sepakat bahwa komunikasi DPR yang lemah sebagai suatu permasalahan, yang akhirnya mengakibatkan DPR gagal meyakinkan dan membenamkan sebuah pemahaman ke dalam persepsi publik, tentu ini bukan sembarang persoalan. Karena berbagai proses yang dilalui DPR, dalam merumuskan kebijakan institusi atau membahas rancangan undang-undang (bersama Pemerintah), sedikit banyak akan masuk dalam saluran pencernaan (kepentingan) publik. Artinya, masyarakat khususnya konstituen, sah-sah saja untuk berhak tahu dan mendapatkan informasi yang relevan, sehingga sikap pro dan kontra yang muncul, berdasar pada pengetahuan yang memadai.
Fakta DPR yang lemah dalam berkomunikasi kepada publik disimpulkan oleh seorang Ketua DPR. Artinya, Marzuki Alie dianggap telah melakukan sejumlah diagnosa terhadap beragam sumber permasalahan yang menimpa DPR. Tapi ada yang terlupakan dari serangkaian diagnosa dimaksud. Dalam forum Refleksi Akhir Tahun tersebut, Marzuki Alie, sebagai Ketua DPR, tidak turut mengakui kelalaian pimpinan DPR (berkomunikasi) yang sebenarnya telah diperintahkan oleh Tata Tertib DPR.
Perintah Tata Tertib
Salah satu tugas pimpinan DPR sebagaimana diperintahkan oleh UU No 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (populer dengan istilah UU MD3) yaitu sebagai juru bicara DPR. Ketentuan ini termuat dalam Pasal 84 ayat (1) huruf c dan diulang kembali dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d Peraturan DPR RI No. 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib.
Untuk menjalankan tugas sebagai juru bicara DPR, Pasal 31 ayat (4) huruf a dan huruf b Tata Tertib menyatakan bahwa pimpinan DPR: (a) menyampaikan keterangan pers berkaitan dengan kegiatan DPR paling sedikit 1 (satu) kali 1 (satu) minggu dalam masa sidang; dan (b) menanggapi isu yang berkembang setelah mendengarkan pandangan atau pendapat atau alat kelengkapan atau fraksi.
Kalau kita kaitkan dengan kesimpulan bahwa DPR selama ini lemah dalam berkomunikasi ke publik, maka harus lebih dulu ditanyakan, apakah "lemah" di sini didiagnosa setelah pimpinan DPR bersikap intensif, dalam artian tidak lalai, menjalankan perintah Pasal 31 ayat (4) huruf a dan huruf b Tata Tertib?
Tidak tertutup kemungkinan jika selama ini masyarakat salah kaprah terhadap kebijakan DPR atau terkait proses legislasi, diakibatkan oleh komunikasi yang minim antara pimpinan DPR dengan masyarakat. Entah minim frekuensi atau minim substansi. Dengan kata lain, persoalan komunikasi DPR yang lemah memiliki keterkaitan dengan implementasi Pasal 31 ayat (4) huruf a dan huruf b Tata Tertib. Sayangnya ini yang tidak terungkap secara mendalam, setidaknya dalam forum tesebut.
Manfaat
Penulis membayangkan, banyak dampak positif jika Pasal 31 ayat (4) huruf a dan huruf b Tata Tertib dilaksanakan secara tepat dan konsekuen. Bukan sekedar kalangan media yang "termanjakan". Masyarakat bisa mengetahui apa saja yang sudah dihasilkan DPR atau tanggapan DPR terhadap suatu isu yang berkembang di masyarakat. Masyarakat bisa well informed terhadap status dan perkembangan suatu rancangan undang-undang, karena pimpinan DPR secara rutin mengabarkan, setidaknya satu kali satu minggu dalam masa sidang. Sehingga, penyebab kegagalan DPR dalam memenuhi target Program Legislasi Nasional (Prolegnas) RUU Prioritas 2010, bisa diketahui secara lengkap karena telah dikomunikasikan secara reguler.
Kita bisa tahu pula jadwal dan hasil kunjungan kerja anggota DPR, termasuk studi banding yang dilakukan selama 2010 yang berlangsung masif. Ini juga sekaligus menjawab kekurangan Pasal 143 Tata Tertib yang tidak mengatur dan memerintahkan penyusunan dan publikasi laporan hasil studi banding. Di sini, pimpinan DPR mengambil peran dan sebagian tanggung jawab untuk menginformasikan kepada publik perihal rencana studi banding dan hasil yang diperoleh. Sehingga, ketidaktahuan publik relatif bisa dijawab, meskipun kewajiban utama tetap ada pada alat kelengkapan yang melakukan studi banding tersebut.
Mungkin saja, respon salah kaprah terhadap kebijakan DPR atau yang terkait dengan proses legislasi berasal dari pernyataan individu-individu anggota DPR. Bayangkan saja, seandainya 560 orang anggota DPR berbicara tentang satu isu atau satu rancangan undang-undang, setidaknya ada separuh tanggapan dapat muncul. Tentu pimpinan DPR tidak bisa membatasinya. Tapi masyarakat perlu rujukan resmi dan dapat dijadikan pegangan. Di sinilah kemudian kehadiran pimpinan DPR menjalankan mandat Pasal 31 ayat (4) huruf a dan huruf b Tata Tertib.
Kesimpulan
Penulis belum bersepakat dengan kesimpulan Ketua DPR yang menyatakan DPR lemah dalam berkomunikasi. Kita belum mendapatkan jawaban apakah pimpinan DPR sepanjang 2010, telah bertindak sesuai kehendak Pasal 31 ayat (4) huruf a dan huruf b Tata Tertib dan berjalan efektif sebagai juru bicara DPR? Sumir menilai lemah berkomunikasi, karena pimpinan DPR sendiri belum "bercakap-cakap" secara rutin kepada publik.