Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Rangkaian Melanjutkan tentang DPR (BK dan Prolegnas 2011)

5 Desember 2010   22:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:59 112 0
Aah..sudah lama tidak menulis di sini. Berbagi pencerahan, mengabarkan kegelisahan, atau sekedar kontribusi gagasan.

Alasan klasik tapi itu adanya. Badai deadline (kerjaan) menggencet, ibarat kendaraan yang melaju dengan rem oblong. Ada utang paper, memfasilitasi pelatihan, hingga mengisi dua seminar dan satu diskusi terbatas. Semuanya berlangsung tiga minggu ini. Tanpa sadar, saya tertular sebagian orang yang wara wiri di Desember, menuntaskan kewajiban akhir tahun.

Seorang teman lama yang dulu bertetangga dan sesama Kompasianer, Herman Hasyim, menyapa dalam tulisannya. Kaget dan senang, Herman masih ingat.

Ada dua isu yang coba saya angkat dan paparkan. Mulai dari kisruh di Badan Kehormatan (BK) dan persiapan penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Rancangan Undang-Undang (RUU) Prioritas 2011. Saya sudah persiapkan informasi singkat tentang proses penyiapan Prolegnas RUU Prioritas 2011 dalam format pdf. Menulis ulang dan menampilkannya di Kompasiana, sepertinya tidak akan mempermudah cara memahaminya. Jadi, bagi yang membutuhkannya, bisa menghubungi saya via email ke ronald.rofiandri@gmail.com

Tentang apa yang terjadi di BK, tidak saya tampilkan dalam bentuk tulisan. Jujur saya tidak sempat (lagi). Selain itu, mubazir sel-sel di otak saya harus mencermati sebuah konflik yang sesungguhnya memalukan dan sekedar mainan ketidakpuasan segelintir orang. Melalui situs berita online, saya pernah diwawancarai. Sebagian tanggapan ada dalam jawaban yang saya sampaikan.

Saya meramu tulisan "Menentukan Prioritas Legislasi" yang disampaikan saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Badan Legislasi (Baleg) 25 November 2010. Saya perkaya dengan bahan pendukung dan pernyataan (penyikapan) dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Prolegnas 2011.

Baiklah, saya akan mulai. Perseteruan di BK adalah yang pertama.

Berikut kutipan wawancara yang saya maksud:

Kisruh internal mencuat begitu rupa di Badan Kehormatan (BK) DPR sejak kepulangan sejumlah anggota BK dari kunjungan kerja ke Yunani. Bila dibiarkan berlarut-larut atau tidak diselesaikan tuntas, maka tunggakan aduan yang masuk ke meja kerja BK akan semakin banyak.

Menurut Direktur Monitoring, Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Ronald Rofiandri, konflik internal di tubuh BK bukan kali ini saja terjadi. Karena itu yang paling utama dan mendesak diselesaikan adalah soal konflik internal itu sendiri. Sedangkan soal usulan penonaktifan 8 anggota BK yang dilaporkan melakukan kunjungan ilegal di tengah kunker, dibicarakan kemudian.

Berikut ini wawancara detikcom dengan Ronald tentang konflik di BK DPR, Rabu (24/11/2010):

Apa dampak jika konflik internal tak segera selesai?

Kalau dampak seriusnya, ada tunggakan aduan. Pihak yang mengadukan nggak mau tahu BK sedang bagaimana, yang mereka mau aduannya segera ditindaklanjuti. Kalau masalah nggak selesai-selesai, tunggakan akan semakin meningkat.

BK dibentuk untuk melakukan pemeriksaan terhadap adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota DPR, untuk menegakkan kode etik. Karena kalau tidak ada ini, dikhawatirkan perilaku anggota Dewan akan liar, lantaran tidak ada yang mengingatkan. Karena kalau mengandalkan fraksi untuk lakukan pencegahan atau pengawasan tidak bisa sepenuhnya, karena ada kecenderungan fraksi akan melindungi anggotanya. Karena itu harus ada pihak lain.

Untuk menyelesaikan konflik ini, pimpinan DPR dan pimpinan fraksi akan menggelar pertemuan. Ini sudah tepat?

Sebagai sebuah entry point, pintu masuk, itu memang yang kita dorong. Konflik ini sudah lama, bukan belakangan saja. Yang terjadi bukan hanya kemacetan kinerja atau kelengkapan tetapi merembet ke konflik personal. Kita dorong minimalkan konflik internal agar tidak mempengaruhi BK.

Sebaiknya kalau masalah internal memang diselesaikan internal, tidak sampai pimpinan fraksi dan pimpinan DPR. Tapi ini kan berlarut, sudah melewati masa sidang. Jadi saya rasa sudah saatnya pimpinan DPR dan pimpinan fraksi menyikapinya.

Yang harus dituntaskan dulu adalah konflik individu di BK. Setelah itu selesai, lalu dibicarakan mekanisme terobosan mengenai anggota BK yang diadukan. Kalau pilihannya nonaktif, harus disepakati secara objektif tidak akan menimbulkan konflik lagi, bisa dengan legowo dijalankan. Yang utama, selesaikan konflik dulu. Setelah itu baru mekanisme selanjutnya apa. Apapun itu, semua harus disepakati bersama dan obyektif agar tidak melahirkan konflik lagi.

Perlukah penonaktifan anggota BK yang diadukan?

Kalau tidak dinonaktifkan, dikhawatirkan proses ke depan tidak steril. Karena yang diadukan juga melakukan pemeriksaan dan verifikasi aduan. Ini tidak fair. Sebelum pilihan penonaktifan, konflik internal dibicarakan dan diselesaikan dulu.

Sekarang yang menolak penonaktifan adalah karena menilai ini tindakan atau upaya Gayus Lumbuun (Ketua BK DPR) di satu sisi, yang menyerang pihak-pihak yang diadukan. Penonaktifan sebenarnya diatur dalam hukum acara BK, tapi hal ini masih dilihat sebagian kalangan sebagai penyerangan. Meskipun sebenarnya penonaktifan ini tidak keliru, merujuk pada ketentuan.

Penonaktifan menjadi penting untuk menghindari konflik kepentingan?

Yang penting konflik sudah tuntas, baru bicara penonaktifan. Prinsipanya adalah menjaga supaya proses ini tidak terkena konflik kepentingan, membuat jarak dengan konflik kepentingan.

Jadi proses memeriksa, verifikasi itu semua harus steril. Belum pernah terjadi di BK yang diadukan dalam jumlah besar seperti ini. Sehingga opsi lainnya selain penonaktifan juga perlu diwacanakan ke depannya.

Sebenarnya kalau merasa bersalah, bisa saja pro aktif mundur dari BK DPR. Itu kesadaran untuk menjaga prinsip kepentingan. Karena kan sulit jadinya kalau pihak yang teradu ikut serta dalam proses aduan itu, jadi konflik kepentingan rawan terjadi.

Untuk independensi, perlukah ke depannya BK DPR melibatkan orang luar DPR?

Dulu PSHK mengusulkan agar komposisi BK tidak hanya dari dalam tapi pihak lain supaya proses dalam BK bisa diimbangi objektivitasnya. Jadi pihak lain turut dilibatkan untuk  memeriksa.

Apalagi kalau kejadian seperti sekarang, di mana anggota BK yang diadukan bukan lagi 1-2 orang, tetapi banyak anggota. Tetapi waktu itu tidak diakomodir, jadi komposisi BK anggota DPR semua. Padahal kalau lembaga etik di beberapa profesi melibatkan pihak luar seperti misalnya hakim atau akademisi yang kompeten. Ke depan kita perlu membuka wacana itu lagi.

Termasuk pula mengakomodasi fraksi-fraksi yang belum masuk ke dalam BK?

Memang ada yang miss dan disadari belakangan. Gerindra dan Hanura tidak masuk dalam BK DPR. Agar representatif memang sebaiknya anggota badan-badan DPR melibatkan partai-partai yang ada.

Jadi pimpinan DPR dan fraksi selain menyelesaikan konflik di BK juga perlu berbicara mengenai keterwakilan fraksi kecil. Ini harus tuntas dan all in. Sudah setahun sejak dilantik tapi konsolidasi internal sangat rapuh karena konflik.

Apalagi yang harus dibenahi?

Kalau di negara lain, sebelum badan yang sepeti BK bekerja, kalau terindikasi terlibat masalah maka anggota parlemennya mengundurkan diri. Itu yang belum muncul di kita.

Sehingga masyarakat atau warga negaranya tidak mau ngotot untuk minta pengunduran seorang anggota Dewan. Itu karena matang dalam berpolitik sehingga merasa mandat itu sesuatu yang harus dirawat dan dijaga. Kalau mandatnya diselewengkan ya harus bertanggung jawab.

Kalau di kita, kalau ada yang mau mundur harus menunggu dulu dipanggil BK, kalau fraksi tidak menarik, ya tidak akan menarik diri. Meskipun sudah ketahuan melakukan korupsi, misalnya, oleh KPK masih tetap bertahan. Memang kode etik dan pidana itu terpisah namun seharusnya punya efek saling mengait.

Tingkat kedewasaan politik kita masih sebatas 'saya mewakili sejumlah orang, sekian orang'. Ini yang dilihat. Tetapi apakah mandat dirawat, dipertangungjawabkan, politisi kita banyak yang belum sampai situ.

Masih banyak yang berpikir 'kalau mundur, saya andalkan di pemilu, jangan ujug-ujug mundur'. Padahal yang namanya mandat bukan sebatas bilik suara. Kalau disalahgunakan, tanpa menunggu pemilu bisa saja mundur dan minta pergantian antar waktu (PAW).

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun