Survei tersebut tidak sepenuhnya membeberkan penilaian negatif masyarakat. Setidaknya, 46,9 persen responden berpandangan anggota DPR hasil Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 lebih kritis jika dibandingkan dengan anggota DPR hasil Pemilu 2004. Sedangkan 43,9 persen menyatakan tidak lebih kritis dan selebihnya, 9,2 persen menjawab tidak tahu.
Lantas, adakah sikap kritis tersebut disertai pula dengan kepatuhan anggota DPR menjalankan kewajiban terkait penegakan prinsip akuntabilitas yang telah diperintahkan undang-undang? Jawabannya tidak dan ini sungguh amat disayangkan.
Salah satu terobosan yang diperkenalkan dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (selanjutnya disingkat UU MD3) adalah kepastian tentang implementasi prinsip akuntabilitas di lingkungan DPR melalui penyusunan dan penyampaian laporan kinerja.
Perintah UU
Pasal 80 ayat (2) UU MD3 menyatakan bahwa dalam mengoptimalkan pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenang DPR, serta hak dan kewajiban anggota DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), fraksi melakukan evaluasi terhadap kinerja anggota fraksinya dan melaporkan kepada publik. Pasal 18 ayat (6) Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib (selanjutnya disingkat Tata Tertib DPR) lebih mengkonkretkan pengaturan Pasal 80 ayat (2) UU MD3, yaitu fraksi melakukan evaluasi terhadap kinerja anggotanya dan melaporkan kepada publik paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun sidang.
Jelas, Pasal 80 ayat (2) UU MD3 dan Pasal 18 ayat (6) Tata Tertib DPR memandatkan bagi 9 (sembilan) fraksi yang ada di DPR saat ini, untuk menjalankan salah satu upaya mekanisme akuntabilitas individu anggota DPR (sebagai anggota fraksi) melalui Laporan Evaluasi Kinerja dengan skema waktu sedikitnya satu kali dalam satu tahun sidang. Artinya, sejak anggota DPR periode 2009-2014 dilantik per 1 Oktober 2009 (yang merupakan awal dari Tahun Sidang 2009-2010) hingga memasuki Tahun Sidang kedua (2010-2011), harus tersedia dan terdokumentasikan Laporan Evaluasi Kinerja Anggota Fraksi.
Laporan tersebut kemudian disampaikan kepada publik dengan segala kemudahan untuk mengakses dan mendapatkannya, akurat, serta memenuhi prinsip-prinsip keterbukaan informasi publik sebagaimana diatur dalam UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Layanan Informasi Publik, dan Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2010 tentang Keterbukaan Informasi Publik di DPR RI. Namun, hingga berakhirnya Masa Sidang I Tahun Sidang 2009-2010, Laporan Evaluasi Kinerja Anggota DPR belum tersedia.
Manfaat
Selain sebagai sarana penyampaian informasi kepada masyarakat khususnya konstituen, Laporan Evaluasi Kinerja Anggota DPR merupakan bentuk quality control fraksi atas kinerja anggota mereka, mulai dari kedisiplinan hingga kontribusi yang sudah mereka berikan dalam kerja-kerja legislasi, pengawasan, dan anggaran, termasuk peran mereka memperjuangkan kepentingan rakyat.
Laporan Evaluasi Kinerja Anggota DPR juga merupakan salah satu cara untuk menjawab ketidakjelasan makna dan mekanisme keterwakilan yang ternyata selama ini cenderung bersifat semu dan temporer. Apa yang kita rasakan hari ini memperlihatkan relasi antara rakyat dengan wakil rakyat terpilih dan duduk di kursi parlemen "menguap" begitu saja. Padahal suara yang diberikan oleh rakyat saat pemilu lalu, bukanlah sesuatu yang berhenti di bilik suara.
Melalui wakil-wakil di parlemen, suara tersebut menjadi mandat yang memberikan sejumlah kuasa, untuk memperjuangkan nasib dan hajat hidup orang banyak. Kuasa tersebut perlu dikoreksi dan dievaluasi. Laporan Evaluasi Kinerja Anggota DPR memfasilitasi upaya koreksi publik tentang bagaimana kuasa itu dijalankan, apakah mandat tersebut telah disalahgunakan, atau sebaliknya.
Ketiadaan Laporan Evaluasi Kinerja Anggota DPR akan memperumit masyarakat memahami apa yang telah dilakukan wakil mereka. Sebagai contoh, maraknya belakangan ini kunjungan ke luar negeri dalam rangka studi banding. Sulit bagi masyarakat memaklumi urgensi studi banding. Salah satu penyebabnya adalah absennya pemenuhan aspek akuntabilitas. Setiap anggota DPR mengusulkan perlunya kegiatan studi banding, maka di saat yang sama DPR dihadapkan pada kegagalan sistematis yang terjadi berulang kali tentang bagaimana mempertanggungjawabkan dan mengolah lebih lanjut berbagai temuan studi banding selama ini terhadap proses legislasi dan substansi rancangan undang-undang yang sedang dibahas.
Penutup
Sebagai "utang akuntabilitas", Laporan Evaluasi Kinerja Anggota DPR harus segera dilunasi. Jika tidak, jangan heran, suatu saat kita menemukan lagi hasil survei yang memperlihatkan main menguatnya persepsi negatif masyarakat terhadap anggota DPR periode 2009-2014. Bukan karena kinerjanya saja yang masih bermasalah, tapi juga ketidakpatuhan menjalankan perintah undang-undang.