Ini adalah salah satu tulisan lama saya yang baru sempat saya upload dan publikasikan.
Ternyata sejumlah anggota DPR meradang akibat pemberitaan yang akhir-akhir ini begitu masif tentang fakta rendahnya kedisiplinan dalam menghadiri rapat-rapat di DPR, khususnya rapat paripurna. Rendahnya kedisiplinan ini oleh media cetak maupun elektronik diistilahkan mulai dari "membolos", "malas", "absen", "mangkir", atau "tidak hadir".
Terhadap pemberitaan tersebut (yang dilengkapi juga dengan rangkaian publikasi data statistik kehadiran anggota DPR), sebagian anggota DPR (terutama nama-nama yang masuk dalam kategori "membolos") menunjukan beragam reaksi. Ada yang mengakui dan menerima apa yang diungkap media, namun ada juga yang tidak puas, tidak setuju dan tidak terima, merasakan upaya pembunuhan karakter, hingga membantah.
Tindakan membantah kemudian diikuti permintaan dari anggota DPR tersebut kepada Biro Persidangan Sekretariat Jenderal (selanjutnya disingkat Rosid Setjen) DPR agar:
1.     Mengklarifikasi kepada yang bersangkutan (anggota DPR yang tidak hadir dalam rapat paripurna);
2.     Meralat dan menyatakan bahwa daftar nama anggota DPR (yang kehadirannya minim dan kemudian dikelompokkan "membolos" oleh media) bukanlah informasi resmi yang dirilis Setjen DPR;
3.     Bersikap hati-hati dalam memberikan keterangan tentang ketidakhadiran atau absensi anggota DPR; hingga
4.     Dikenakan tindakan administratif
Selanjutnya, publikasi nama (bukan saja terkait dengan absensi) anggota DPR hanya dapat dilakukan melalui pimpinan DPR atau Badan Kehormatan (dengan tetap seizin pimpinan DPR).
Reaksi yang ditunjukan oleh anggota DPR berupa bantahan hingga 4 (empat) bentuk tindakan di atas yang ditujukan kepada Rosid Setjen DPR berpotensi mengancam keterbukaan informasi publik di DPR dan menempatkan DPR sebagai pihak yang melanggar Peraturan DPR No 1 Tahun 2010 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) di DPR RI (selanjutnya disingkat Peraturan KIP di DPR).
Apa yang dilakukan oleh Rosid berupa pemberian data absensi anggota DPR pada rapat-rapat paripurna merupakan salah satu kewajiban yang diperintahkan oleh Pasal 6 ayat (1) Peraturan KIP di DPR yang menyatakan (salah satunya) Setjen DPR wajib menyediakan, memberikan, dan/atau menerbitkan informasi publik yang berada di bawah kewenangannya kepada pemohon informasi, selain informasi yang dikecualikan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang ditetapkan di DPR.
Ada pertanyaan:
1. Apakah data tentang kehadiran anggota DPR pada rapat-rapat paripurna termasuk informasi publik yang dikecualikan?
Jawaban: Tidak, karena Pasal 2 ayat (3) Peraturan KIP di DPR membagi empat jenis informasi publik yang dikecualikan, yaitu:
-Â Â Â Â Â Â Â Â informasi yang dapat membahayakan negara;
-Â Â Â Â Â Â Â Â informasi yang berkaitan dengan hak-hak pribadi (seperti riwayat dan kondisi anggota keluarga);
-Â Â Â Â Â Â Â Â informasi yang berkaitan dengan rahasia jabatan (misalnya proses penyelidikan dalam panitia angket dan verifikasi dalam badan kehormatan); dan/atau
-Â Â Â Â Â Â Â Â informasi yang diminta belum dikuasai atau didomentasikan (contohnya risalah rapat yang belum selesai)
Kemudian, Pasal 11 ayat (1) yang menyatakan bahwa informasi publik di DPR yang dikecualikan untuk disediakan dan diumumkan meliputi:
- informasi publik DPR dari hasil rapat-rapat di DPR yang bersifat tertutup yang dinyatakan rahasia;
- surat DPR yang bersifat rahasia;
- surat atau dokumen DPR yang substansinya menurut peraturan perundang-undangan harus dirahasiakan;
- surat atau dokumen yang diterima oleh DPR yang substansinya dinyatakan rahasia oleh pemberi surat atau dokumen;
- informasi yang tidak boleh diungkapkan berdasarkan undang-undang;
- informasi yang berkaitan dengan rahasia pribadi; dan
- informasi yang apabila dibuka dapat mengungkapkan isi akta otentik yang bersifat pribadi atau berupa wasiat seseorang