Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Menggagas Terobosoan Manajemen Legislasi

29 Oktober 2010   15:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:59 203 0


Dalam sebuah kesempatan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD (Pansus RUU Susduk), 31 Januari 2008, salah satu pihak yang diundang sebagai peserta RDPU mengingatkan dan mendorong agar DPR bertindak think out of the box. Mungkin maksud dari pernyataan tersebut kurang lebih dapat dipahami bahwa DPR seharusnya tidak sekedar menjalani episode "ritual" dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya (di sini, ritualitas disimbolkan sebagai kotak yang sangat jelas kerangka, sisi, maupun sudutnya). Namun juga, memeriksa apakah kiprah DPR telah didukung oleh segenap tata kelola lembaga secara tepat dan memadai, atau malah sebaliknya. Secara singkat, think out of the box menekankan tindakan melepaskan diri dan berpikir ulang terhadap episode "ritual", tapi tidak berarti lepas dari ikatan-ikatan formal kelembagaan seperti konstitusi dan undang-undang.

Jika kita kaitkan dengan fungsi legislasi, episode dimaksud merupakan proses pembentukan undang-undang, mulai dari tahap perencanaan, perancangan, pengajuan/pengusulan, pembahasan, hingga persetujuan. Ketika think out of the box ditujukan terhadap fungsi legislasi, maka ajakan untuk menelusuri kembali perjalanan episode tersebut dapat berawal dari sejumlah pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut berlatar belakang kegelisahan terhadap ketidakefektifitasan tata kelola proses legislasi (mencakup prosedur, sumber daya manusia, dan anggaran) hingga sekat-sekat ritualitas yang membatasi berbagai terobosan yang sesungguhnya  mendatangkan inovasi dan perbaikan terhadap fungsi legislasi.

Dorongan think out of the box dapat diawali dari sebuah pertanyaan misalnya "apakah Program Legislasi Nasional (Prolegnas) cukup efektif menjawab kebutuhan politik legislasi DPR?" atau "jika selama ini DPR selalu gagal mencapai target Prolegnas termasuk prioritas tahunan, apa harus ada format ulang terhadap metode penyusunannya?" atau "pembahasan rancangan undang-undang yang selalu menggunakan pola Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) masih bisa dirombak atau ada alternatif lain?" atau "model RDPU yang selama ini dipraktekkan, masih memungkinkan dimodifikasi?" atau "sebagai bagian dari monitoring dan evaluasi legislasi, apakah perlu dihadirkan instrumen khusus untuk menilai apakah undang-undang yang sudah disahkan berlaku dengan baik di masyarakat, atau sebaliknya merugikan kelompok tertentu atau menimbulkan masalah baru?"

Jika kita kaitkan sekaligus bercermin terhadap kinerja DPR masa bakti 1999-2004 dan 2004-2009, kemungkinan besar jawaban dari rentetan pertanyaan tersebut akan menghasilkan rangkaian pemikiran dan gagasan baru yang muncul dari proses berefleksi terhadap ritual yang telah berlangsung, mengingat capaian kinerja DPR dari dua periode tersebut dinilai masih bermasalah oleh sebagian kalangan.

Proses Legislasi sebagai Sebuah Kebijakan Publik

Thomas R. Dye dalam bukunya Understanding Public Policy, memahami legislasi atau proses pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai bagian dari kebijakan publik. Lebih lanjut, Herbert A. Simon membagi public policy menjadi tiga macam, yaitu legislative policy, management policy, dan working policy. Gabungan dari ketiganya mengantarkan kepada pemahaman bahwa legislasi merupakan runtutan proses menghasilkan dan memuat norma-norma tentang kewajiban, larangan, ataupun kebolehan kepada para pelaku yang diatur dan menjadi pegangan bagi pemerintah (eksekutif) dalam melaksanakan tugasnya untuk mencapai tujuan  yang sudah dirumuskan sebelumnya.

Lantas, apakah pandangan Thomas R. Dye dan Herbert A. Simon yang menyatakan bahwa proses pembentukan undang-undang merupakan bagian dari kebijakan publik, yang artinya mensyaratkan adanya kerja-kerja manajemen seperti perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, hingga pengawasan, telah melekat pada episode legislasi terkini? Bila kita cermati bagaimana sebuah undang-undang dihasilkan, maka kita sebenarnya sedang mengamati alur produksi undang-undang. Pemerintah dan DPR sebagai aktor yang terlibat dalam episode legislasi memiliki dan memainkan peran perencanaan hingga pengorganisasian berbagai gagasan dan masukan terhadap rancangan undang-undang.

Prolegnas adalah output dari peran perencanaan yang dilakoni keduanya, sedangkan fungsi pengorganisasian terlihat misalnya melalui RDPU atau konsultasi publik. Contoh lainnya yaitu pembentukan tim lintas departemen yang ditugaskan untuk merancang undang-undang usulan pemerintah yang bersifat multi sektoral atau pengelompokkan anggota DPR dalam alat-alat kelengkapan seperti Badan Legislasi (Baleg), pembidangan Komisi, Pansus, Panitia Kerja (Panja), dan lain-lain. Bekerjanya peran pengorganisasian bertujuan untuk mematangkan substansi rancangan undang-undang.

Sayangnya, ada satu hal yang luput. Fungsi manajemen dalam episode legislasi ternyata cenderung tidak memberikan perhatian yang serius terhadap urgensi monitoring dan evaluasi (monev). Padahal, untuk mengetahui fungsi manajemen tersebut sudah berjalan efektif atau tidak, sangat tergantung sejauh mana ketepatan dan keseriusan monev diimplementasikan. Fungsi monev tidak dapat dipisahkan dari manajemen produksi undang-undang. Dengan kata lain, manajemen produksi undang-undang akan pincang bilamana peran monev terabaikan, mengingat kontribusinya terhadap pemeliharaan kualitas proses dan output (undang-undang) sangat signifikan.

Terobosan Manajemen Legislasi

Adanya ajakan untuk think out of the box tidak terlepas dari belum melembaganya peran monev dalam manajemen legislasi. Tidak ada suatu mekanisme yang menginformasikan apakah episode legislasi terlaksana secara kondusif, sehingga berdampak positif terhadap proses pembahasan rancangan undang-undang hingga implementasinya nanti.

Ketika muncul salah satu pertanyaan seperti "pembahasan rancangan undang-undang yang selalu menggunakan pola Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) masih bisa dirombak atau ada alternatif lain?" maka patut dipertanyakan apakah  selama ini peran monev telah disasarkan untuk mendiagnosa kelemahan pembahasan rancangan undang-undang berbasis DIM? Atau bisa jadi anggota DPR menemui kendala ketika DIM dijadikan pedoman membahas suatu rancangan undang-undang, karena menutup peluang memperdebatkan kerangka pikir dan pinsip-prinsip yang dikandung rancangan undang-undang itu sendiri. Namun, anggota DPR tersebut tidak think out of the box, entahkah tidak berani atau tidak mau. Ini baru hipotesis saja.

Padahal ketika fungsi manajemen melekat pada proses legislasi sebagai konsekuensi bagian dari public policy, maka para pelaku atau pihak yang terlibat dalam manajemen legislasi, apakah itu anggota DPR atau unit pendukung yang berasal dari Sekretariat Jenderal DPR, dapat leluasa dan sesuka hati memilih berbagai kriteria dan prosedur kerja yang menurut mereka lebih strategis dan efektif. Memilih di sini dimaknai dengan mengurangi, menambah, menggabungkan, atau bahkan mengganti sama sekali. Di sinilah kemudian proses berefleksi terhadap episode ritual legislasi berlangsung, apakah think in the box, tetap bertahan pada skema DIM (seperti yang diatur dalam Pasal 136 ayat (1) huruf b Peraturan Tata Tertib DPR) atau think out of the box, menerobos dan berinovasi, seperti yang ditempuh Pansus RUU Susduk.

Mereka melakukan inovasi dalam membahas muatan RUU Susduk. Mekanisme pembahasan rancangan undang-undang tidak lagi hanya terpaku pada DIM. Mengkombinasikan pembahasan melalui kluster/pengelompokan ketentuan berdasarkan jenis kelembagaan (MPR, DPR, DPD, DPRD, dan Kesekretariatan) menjadi metode alternatif yang digunakan dalam membahas RUU ini. Adapun hal-hal teknis menyangkut kalimat perundang-undangan diserahkan kepada tim teknis.

Pada saat membahas materi RUU Susduk, DPR dan Pemerintah mengidentifikasi lebih dulu isu-isu krusial apa saja yang terdapat dalam klusteryang diperkirakan memiliki tingkat kepentingan dan sensitivitas politik yang tinggi serta cukup mendapat perhatian publik. Metode pembahasan tersebut menjadi terobosan bagi DPR karena mendobrak cara konvensional yang selama ini dilakukan dengan menyisir DIM pasal per pasal. Ini menjadi gejala awal bahwa sebenarnya sudah ada kesadaran think out of the box. Namun kesadaran tersebut masih terbatas pada cara membahas rancangan undang-undang dan muncul dari segelintir anggota DPR. Padahal kegelisahan yang kemudian tercermin dari paparan pertanyaan-pertanyaan sebelumnya, mewakili episode lain seperti Prolegnas, RDPU, hingga monev legislasi .

Harapan

Ke depan, harus ada kemauan dari fraksi-fraksi untuk memobilisasi kesadaran think out of the box menjadi kesadaran institusi, tepatnya alat kelengkapan yang bertugas membahas rancangan undang-undang. Tinggal nanti DPR berhadapan dengan Pemerintah, apakah turut bergabung dalam semangat think out of the box atau menganut cara lama.

Think out of the box tidak hanya menyangkut model pembahasan rancangan undang-undang, tapi juga proses perencanaan legislasi hingga persetujuan. Bahkan, termasuk pula dalam hal penegakan fungsi representasi, penganggaran, pengawasan, kode etik, dan akuntabilitas lembaga parlemen.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun