Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Dear Joni

12 Juni 2014   18:30 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:03 42 0
Sore ini terlihat mendung dengan sedikit kabut yang menyebar di udara, sebuah mobil Grand Livina melesat menembus jalanan kota Batu yang sedikit ramai oleh kendaraan. 6 orang yang berada di dalam mobil itu semuanya terdiam, tubuh mereka terasa pegal-pegal sepulang berjalan-jalan mengelilingi kota Batu dalam rangka menghabiskan waktu liburan akhir semester di sekolah mereka.

“Eh guys, main games yuk!” ujar Brenda dengan bersemangat, memecah keheningan di antara mereka. Jeffry yang sedari tadi mengemudikan mobil, menolehkan kepalanya.

Games apaan yang seru dimainin di dalem mobil gini?” gerutu Jeffry dengan mengalihkan pandangannya dari jalan raya, kemudian dia berkonsentrasi lagi melihat jalan raya. Brenda yang sedang duduk di sebelahnya tersenyum manis.

“Gimana kalo Truth or Dare?” Brenda menoleh ke belakang, melihat wajah-wajah teman-temannya yang mulai penasaran

“Ha? Truth or Dare? Di dalam mobil? Yang bener aja, di sini tuh ga ada botol atau apapun kek yang buat diputer.” Monica menatap wajah Brenda dengan tatapan memprotes.

“Bisa. Kita mainnya ga pake botol, tapi pake kertas!” secepat kilat Brenda merobek kertas dua lembar dari buku yang ada di mobil Jeffry. Kemudian menulisinya Truth untuk kertas yang pertama dan Dare untuk kertas yang kedua.

“Trus diapain?” Gladys semakin penasaran dengan games yang dibuat oleh Brenda.

“Jadi gini.” Brenda berdeham. “Kita berenam menyusun kalimat. Setiap orang menyebutkan tiga kata, dan harus disusun dengan logis ya. Kalo misalnya kalah, jika dia mendapat kata Dare dan yang ada di sebelahnya itu yang menghukumnya, paham?” Brenda tersenyum.

“Oh, gitu, oke deh. Eh, tapi latian dulu sekali.” Erik semakin bersemangat. “Dari depan aja dulu.” Erik yang duduk paling belakang bersama Hans mengusulkan.

“Ga ada latian, dari belakang!” ujar Brenda puas. “Setiap orang harus mau menerima hukumannya ya!” Brenda tertawa renyah, dia semakin tidak sabar memainkan games buatannya.

“Oke… setuju dari belakang.” Ujar Gladys sambil menatap Erik dan Hans yang kini memberengut.

“Ayo dimulai!” Brenda member aba-aba kepada Erik.

“Pada suatu hari…” Erik mengawali permainan inni.

“Di malam yang…” Hans menepuk pundak Monica yang duduk di tengah.

“Gelap dan dingin..” Monica menyambungnya.

“Ada seekor kucing…” Gladys menambahi dengan tertawa.

“Yang sedang membawa…” Brenda menyusun kalimat dari Gladys.

“Rokok dan… aduuhh apa ya…” Jeffry kehilangan kata-kata.

“Dalam hitungan ketiga kalo ga bisa…. Truth or Dare!” Brenda mulai menghitung. “Satu… Dua…”

“AYAM!” Jeffry menyebutkan hurufnya dengan asal.

“Eh, kok ayam sih, ga logis!” Monica protes.  Semua mulai tertawa.

“Ayoo… jangan lihat dulu… hadap sana, Jeff..” Brenda melipat kedua kertas bertuliskan Truth dan Dare itu menjadi kecil lalu digenggamnya dan dia mulai mengacak tempat kertas Truth dan kertas Dare. “Jangan ngintip!” Brenda tertawa, kemudian tawanya disusul oleh keempat teman di belakangnya. “Oke pilih yang mana?”

“Ehmmm…” Jeffry melihat kedua tangan Brenda yang sudah tergenggam dan di dalam kedua tangan Brenda itu terdapat kertas Truth dan Dare yang sudah diacak. “Yang Truth mana?” Jeffry tertawa.

“Rahasia dong, masa aku kasih tahu kamu.” Brenda menjulurkan lidahnya, mengejek Jeffry.

“Yang tangan kiri deh.” Ujarnya melihat sekilas tangan Brenda, kemudian menatap ke arah jalan raya lagi.

“Oke, siap-siap ya…” ujar Brenda bersemangat. Gladys dan monica melongokkan kepala, seakan-akan ingin tahu apa isi kertas yang telah dipilih oleh Jeffry. “Hahaha… Dare…” Brenda tertawa puas.

“Eh, dia suruh aja nyapa orang yang ada di jalan!” seru Hans bersemangat. Brenda menyetujuinya

“Ah, gila… kamu pikir aku apaan?” Jeffry memprotes.

“Udah… ayo sapa orang di jalan, maksimal ti-ga.” Brenda mengeja kata tiga. Jeffry dengan enggan membuka kaca mobilnya dan mulai berteriak menyapa orang-orang yang lewat.

“Hai mbak… Hai mas… Hai mbak. Udah kan?” Jeffry menatap kesal Brenda, dan kemudian menutup kembali jendela mobilnya. Teman-temannya tertawa dengan puasnya melihat wajah Jeffry yang berubah menjadi kesal.

“Oke… sekarang mulai lagi! Dari Jeffry.” Brenda membetulkan posisinya, dan terbatuk-batuk. Jeffry mulai menyusun kalimatnya kemudian disambung Erik hingga seterusnya, sampai tiba di giliran Gladys yang kalah dan dia menerima kertas Truth dan dia mulai membeberkan kejujurannya atas mencurangi Bu Rinda, guru BP di sekolahnya.

Permainan dimulai lagi dan kali ini yang terkena sial adalah Jeffry! Semua mulai tertawa terbahak-bahak lagi, melihat Jeffry memilih tangan kiri Brenda yang bertuliskan Truth. Jeffry juga mulai menceritakan kejujurannya karena telah memacari grup cheerleaders di sekolah, 5 cewek sekaligus tanpa tertangkap basah oleh yang lainnya. Brenda hanya menggelengkan kepala saja.

“Oke, kita main lagi, dari Jeffry, ayo Jeff!” Brenda memukul pelan lengan Jeffry. Jeffry berdeham dan mencari kata-kata yang sulit.

“Di malam yang gelap…” Jeffry memulai.

“Ada sebuah pocong…” sambung Erik.

“Yang sedang memakai kolor…” Hans menambahi kemudian tertawa.

“Dan dikejar oleh hansip…” tambah Gladys, tawa mereka meledak.

“Yang mengira pocong…” Monica menyambung kata-kata Gladys.

“Itu adalah seorang…” Brenda menambahinya.

“Maling kutang professional…” Jeffry tertawa puas karena dia berhasil menyambung kalimat Brenda.

“Dia mencarinya sampai…” Erik berkata dengan bersemangat.

“Subuh tapi hansip…” hans meneruskan kata-katanya.

“Itu malah ketiduran.” Gladys memberinya kata-kata tersulit. “Ayo mon…”

“Trus… trus… aduh… duh… apaan yaa?”  Monica menghentak-hentakkan kakinya tanda kesal.

“Satu… dua… tiga… ayo Mon… pilih mana…” Gladys mengambil kertas bertuliskan Truth dan Dare dari Brenda kemudian mengacaknya.

“Yang ini, kanan…” Monica deg-degan melihat kertas itu dibuka oleh Gladys.

“Tadaaaa… Dare.” Gladys membentangkan kertas itu sembari tersenyum puas.

“Eh, curang! Jangan-jangan dua kertas ini tulisannya Dare!” Monica memprotes, mengambil dua kertas di tangan Gladys dengan kasar, ternyata kedua kertas itu bertuliskan Truth dan kertas kedua Dare.

“Ga ada kecurangan di sini.” Brenda menjelaskannya. “Oke, Glad, kasih hukumanmu untuk Monica!” Brenda menyuruh Gladys. Hans dan Erik tertawa puas.

“Hmmm…” Gladys memikirkan Dare yang pas untuk Monica. “Dare-nya adalah, Monica harus menelpon salah satu anak paling cupu di sekolah kita, untuk menjadikannya pacar!” Gladys tersenyum puas.

“Ga ah… aku tuh udah punya pacar! Dia anak paling kece dan terkenal di sekolah! Ketimbang Joni, iiih” Monica menolaknya.

“Harus adil. Oke, kita mulai dari Joni… kamu harus nelpon Joni trus nembak dia dan kalian harus jadian selama satu minggu kalo mau lebih sih yaa gak papa!” Gladys menyerahkan ponsel miliknya, Monica segera mencari nomor Joni. Hans, Erik, Brenda dan Jeffry menahan tawa mereka. Monica mencatatnya, kemudian menelponnya menggunakan ponsel miliknya. Nada sambung mulai terdengar di telinga Monica. Dia menelan ludah. Monica harus menyalakan Speaker di ponselnya agar bisa terdengar oleh semua orang di mobil itu.

“Halo,” sapa seseorang di ujung telepon.

“Ini Joni?” ucap Monica tanpa mengucapkan kata halo terlebih dahulu.

“Iya, ini Joni, ini siapa ya?” ucap Joni dengan polosnya.

“Ini Monica.” Monica melihat kelima teman-temannya tertawa puas.

“Oh Monica, ada apa Mon?” Joni berdegup kencang ketika mengetahui bahwa yang menelponnya adalah Monica.

“Jon… aku.. dari dulu suka sama kamu… mau ga… j-jadi… p-pacarku?” Monica tergagap. Seluruh isi mobil itu tertawa perlahan sehingga terdengar hanya mendesis saja.

“Aku juga… aku mau jadi pacarmu! Besok kita jalan-jalan ya…” ucap Joni dengan mantap tanpa ragu-ragu, karena dia tahu, Monica adalah cewek tercantik, terpopuler di sekolahnya. Jadi dia tidak menolak kesempatan itu.

“Oke terima kasih.” Ujar monica dengan kesal. “Puas kalian? Aduuh mati aku, nanti Mario tahu gimana? Ga mau tahu, pokoknya kita main lagi” ucapnya dengan perasaan campur aduk.

“Tapi, kita udah sampai Surabaya Mon… ga mungkin kita mainin lagi games itu.” Brenda menyelanya.

“Kalian curang! Teman seperti apa kalian itu!” Monica mulai ngambek, Gladys mendekatinya, memeluk tubuh Monica yang saat ini mulai mengeluarkan air mata.

“Ini kan cuma games….” Ujar Gladys berusaha menghiburnya.

Monica hanya terdiam saja.

Satu bulan setelah permainan itu, Monica menjadi sering dikunjungi oleh Joni di kelas, di kantin. Ke manapun Monica pergi Joni mengikutinya. Tapi ketika ada Mario dia berusaha menjauhi Joni. Monica tidak bisa mengingkari hukuman Dare-nya dari Hans, Erik, Brenda dan Jeffry.

Hari ini, malam minggu, saatnya Joni untuk menjemput Monica di rumahnya, lagi-lagi Monica harus berbohong kepada Mario tentang malam ini agar dia menjemputnya jam setengah sepuluh. Dia tidak bisa menolak ajakan Joni demi teman-temannya.

“Jadi, kamu suka sama Doraemon juga? Aku juga lho Mon… aku punya posternya, mainannya.” Joni, anak cupu itu bercerita panjang lebar mengenai hobi dan kesukaannya yang selalu disama-samakan dengan hobi dan kesukaan Monica.

Monica menjadi enek melihat muka Joni yang cupu abis!

“Jon, kita pulang ya? Aku udah ngantuk nih…” Monica berpura-pura menguap.

“Iya, yah udah jam setengah Sembilan, pantesan kamu udah ngantuk.” Ucap Joni dengan nada polosnya. Monica lebih enek ketika melihat sepeda butut milik Joni. Tapi mau bagaimana lagi, dia harus menerima Dare dari teman-temannya.

Sesampainya di rumah Monica segera melambaikan tangan dan tersenyum masam kepada Joni. Monica segera mencari ponselnya dan segera menghubungi Mario untuk menjemputnya. Baru kali ini di dalam hidupnya Monica menjalani dua kencan dalam satu malam.

“Eh Mon, gimana nih, kencanmu dengan si Joni itu?” ujar Brenda sambil menyeruput es tehnya. Jeffry, Brenda, Hans, Gladys, Erik dan Monica saat itu sedang berkumpul di sebuah kafe. “Tinggal 3 hari lagi lho… atau kamu mau Dare yang lain?” Brenda menggoda Monica. Teman-temannya yang lain tertawa bahagia melihat ekspresi Monica yang super bête.

“Ga terasa aku udah jalan 4 hari sama si oon itu!” ucapnya dengan kesal, dia melipat kedua tangannya di depan dada. Brenda dan Gladys tertawa lepas, beberapa orang di kafe itu mengamatinya.

“Lain kali deh, kita main permainan itu lagi… eh tapi, gimana caramu buat mengalihkan Mario dari si Joni?” Jeffry melipat tangannya di atas meja.

“Ga tau aaaah… udah bahas yang lain aja!” sifat asli Monica yang cerewet itupun keluar.

Akhirnya mereka berlima mau tidak mau mengalihkan pembicaraan tentang Hubungan Monica dengan Joni itu menjadi topik yang lain.

Monica mengerjapkan matanya beberapa kali ketika mengetahui Joni membawakannya bunga Mawar merah kesukaannya di dalam kencannya dengan Joni di hari kelima.

“Jon, dari mana kamu tahu bunga kesukaanku?” Monica menyambar seikat bunga mawar merah dari tangan Joni. “Makasih.” Ujarnya pelan. Dia melihat wajah Joni yang memilik rambut belah pinggir dan baju monyet menggantung di pundaknya, tidak lupa kaca mata hitam di matanya

“Aku tahu segalanya tentangmu Mon, ayo, kita pergi, aku akan mengajakmu makan lalu kita jalan-jalan.” Ujar Joni dengan gaya kekanak-kanakan.

Monica menggigit bibir bawahnya, dia agak ragu untuk menyetujui ajakan Joni. Tapi daripada dia garing dan bengong di rumahnya. Akhirnya dia menyetujui ajakan Joni.

Joni mengajaknya makan di sebuah warung kecil yang membuat harga diri Monica seakan-akan direndahkan.

“Sori Mon, aku ga bisa ngajak kamu di restoran mahal, aku ga punya uang banyak, oh ya, habis gini jalan-jalan yuk!” Joni menghabiskan nasi gorengnya sedangkan Monica yang hanya memesan es teh itu mengangguk dengan penuh keterpaksaan

Seusai makan, Joni mengajaknya untuk berjalan-jalan mengelilingi taman kota di Surabaya. Melihat Monica telah capek berjalan, Joni segera mengajaknya menaiki sepeda yang dihiasi oleh lampu warna-warni. Joni membonceng Monica di belakangnya. Suasana taman kota yang saat itu ramai membuat sepeda yang berhiaskan lampu, yang disewa Joni itu berjalan perlahan-lahan.

Monica mengamati orang-orang yang berpasangan dengan wajah penuh keirian. Tapi, pandangannya tertumbuk kepada sosok cowok yang dikenalnya. Cowok itu tidak lain dan tidak bukan adalah Mario, pacar aslinya. Dia melihat dengan mata kepalanya sendiri Mario sedang tidak sendirian, dia sedang menggandeng seorang cewek! Ya! Cewek itu adalah anggota cheerleader di sekolahnya! Tanpa basa-basi lagi Monica berusaha untuk turun dari sepeda lampu Joni.

Joni yang semula mengajaknya berbicara menjadi terheran-heran dengan sikap Monica barusan. Dia segera menghentikan sepedanya dan berlari membuntuti Monica yang kini langkahnya sudah semakin cepat saja.

“Mon, tunggu!” Joni menyentuh pundak Monica dengan halus.

Monica menghentikan langkahnya sejenak dan menolehkan kepalanya, menatap Joni. Joni hanya mengernyitkan dahinya saja ketika melihat Monica menangis. Kemudian dia membiarkan Monica menjauhinya. Dia benar-benar tidak tahu apa-apa dengan sikap Monica saat ini. dia mengamati Monica yang kini berhenti di depan cowok tinggi besar, Mario, Kapten Basket di sekolahnya. Joni berjalan perlahan mendekati mereka.

“Jadi… ini kegiatanmu dari Senin sampai Jumat? Berkencan dengan cewek lain, sedangkan aku… kamu duakan…” Monica mulai menangis di depan pacarnya. “Percuma aku mencintaimu selama 3 tahun ini. kamu BAJINGAN! Mario!” Monica menampar Mario, Mario kini memasang wajah cool-nya.

“Buat apa berkencan dengan cewek norak kayak kamu! Itu pacarmu kan? Ambil dia! Aku sudah muak dengan kamu Mon.” Mario menunjuk-nunjuk muka Monica yang saat itu sedang menangis tersedu.

“Kita putus Mario!” Monica dengan berderai air mata melihat sekilas cewek yang digandeng Mario.

Joni yang sedang mengamati Monica dari beberapa meter di belakangnya itu terdiam, terpaku, melihat semua kejadian itu. Monica berlari menjauhi Mario dan cewek barunya dengan berderai air mata.

Monica menangis tersedu di atas jembatan, tidak jauh dari taman kota. Dia tidak menyangka bahwa cowoknya, Mario, mengkhianatinya. 3 tahun berpacaran dengannya terasa percuma. Monica tidak sadar kalau Joni berjalan mendekatinya.

“Mon,” Joni berusaha menghibur Monica.

“Jon…” Monica seperti kehilangan akal sehatnya, tanpa basa-basi dia berlari menyambut Joni dan menangis tersedu di dalam pelukan Joni. “Maafin aku Jon, aku udah mempermainkanmu, aku… aku menembakmu bukan karena mencintaimu tapi karena aku bermain Truth or Dare bareng temen-temenku, maafin aku Jon…” Monica saat itu tidak berani menatap wajah Joni yang kecewa berat.

“Awalnya, aku mengira bahwa kamu bener-bener cinta sama aku, tapi… semua hanya permainan.” Joni melepaskan pelukannya perlahan. “Aku memang tidak setampan, setenar, sepopuler dan sekaya Mario… tapi, aku mencoba untuk mencintaimu, dengan kekuranganku.”

Monica berusaha tersenyum ketika melihat wajah polos Joni. Perlahan, Monica melepas kacamata Joni dan mengatur sedikit tatanan rambut Joni yang cupu.

“Lihat, kamu lebih tampan dari Mario.” Monica tersenyum, tangan Joni berusaha menghapus air mata Monica.

“Jadi, apakah kamu akan mengakhiri permainan ini?” Joni berharap bahwa Monica berkata tidak. “Aku harap kamu memberikan aku kesempa…” kata-kata Joni terpotong oleh Monica.

“Tidak, aku tidak akan mengakhiri permainanku, lagipula, aku sedang jatuh cinta…” Monica tersenyum lebar.

“Jatuh cinta? Dengan siapa?” sahut Joni.

“Dengan seseorang yang memberiku bunga mawar tadi sore.” Monica memeluk pinggang Joni.

“Jadi, hubungan kita ini berlanjut? Tidak hanya sekedar bermain Truth or Dare?” ada nada gembira yang terselip di perkataan Joni barusan. Monica menggeleng perlahan.

“Ayo, kita lanjutkan jalan-jalan kita!” Monica mengajak Joni ke tempat yang lain, sedangkan tangannya sibuk mencari ponsel di tas merah yang menggantung di pundaknya.

Dia segera mengirim SMS kepada kelima temannya.

Sepertinya aku dan Joni akan meneruskan hubungan ini. tidak hanya seminggu, mungkin selamanya…

SMS terkirim.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun