Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Dokter Spesialis Hati

12 Juni 2014   18:39 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:03 101 0
Aku sangat ingat sekali ketika pertama kali aku bertemu dengannya di UGD, saat itu aku datang sebagai pasiennya. Saat itu aku ingat sekali dia merawatku dengan sangat amat baik, waktu itu aku merasa bahwa dunia runtuh, aku mengalami kecelakaan motor dan daguku harus menerima 6 jahitan.

“Apakah sudah tidak  terasa sakit? Apakah tanganmu ada yang patah? Atau kepalamu tadi terbentur?” dia menanyai aku dengan berbagai macam pertanyaan yang hanya bisa kujawab dengan menggeleng dan mengangguk saja.

“Terima kasih,” ujarku terbata-bata saat itu, menahan rasa sakit yang berdenyut di sekujur tubuh. Dia merawatku. “Mungkin jika tidak ada kau aku sudah meninggal.”

Dia memandangku dan tersenyum, “Hidup dan mati ada di tangan Tuhan, aku hanya melaksanakan tugasku. Sekarang kau boleh pulang.” Dokter cantik itu memberiku resep obat.

Aku membaca resepnya, “Dokter Winda, bukan?” aku tersenyum, aku yakin sekali dia memiliki umur yang sama dengan umurku. Entah kenapa aku sangat yakin dengan hal itu.

“Iya, saya dokter Winda, jika kau membutuhkan sesuatu kau bisa menelponku di nomor itu.”  Dokter Winda merapatkan jas dokternya dan menaruh stetoskopnya di atas meja. Aku seperti kehilangan kesadaran, bukan karena sakitku tapi karena wajahnya yang memang bagaikan Malaikat Penolong.

“Aku Rendy, kau bisa memanggilku Rendy.” Saat itu aku hanya terdiam dan mencoba mengulurkan tanganku untuk berkenalan dengannya.

Beberapa minggu setelah jahitan di daguku mengering, aku kembali lagi pada Dokter Winda untuk melepas jahitanku.

“Arrgh…” aku mengerang kesakitan, kulihat dia dengan sabar merawatku, wajah kami sangat dekat, tangan kanannya yang lembut menempel di daguku, sedangkan tangan kirinya bekerja melepas jahitanku. Aku merasa kikuk saat itu.

“Dokter, apakah minggu ini kau ada acara?” aku menanyainya dengan sedikit nada yang tersangkut di tenggorokan, ini pertama kalinya aku mengajak seseorang berkencan.

“Kencan?” dia tersenyum, jantungku serasa lompat dari tempatnya. Aku mengangguk perlahan. “Baiklah, aku hari sabtu dan minggu ini aku bebas tugas, aku akan datang.”

Aku senang sekali, “Baiklah aku akan menjemputmu sabtu jam 6 sore, kita akan pergi ke pesta rakyat di Taman Bungkul Surabaya.”

“Baiklah, jahitanmu sudah terlepas, kau boleh pulang, sampai ketemu sabtu ini.” dokter Winda tersenyum kepadaku.

“Baiklah, aku akan menjemputmu di alamat yang tertera di resep obat kemarin.” Aku beranjak dari tempatku dan membalas senyumannya.

Benar saja, sabtu ini aku berkencan dengannya, aku mengenalnya lebih dalam. Di pesta rakyat itu aku mengajaknya menaiki sepeda hias dan juga makan beberapa makanan. Dia tersenyum dan menggenggam tanganku. Dia berterima kasih kepadaku, aku pun menggenggam tangannya seolah tak mau lepas dari dia.

Perlu waktu berbulan-bulan bagiku untuk mengenal Winda yang cantik, dan benar dugaanku, dia memiliki umur yang sama denganku,, gayungku mulai bersambut. Setelah kencan pertamaku dengan dia waktu itu, aku terus mengajaknya pergi, entah nonton, makan atau hanya sekedar ngobrol saja. Dia semakin dekat denganku walaupun dia belum menjadi pacarku, tapi di kalenderku aku sudah menyiapkan tanggal untuk menembak cintanya.

Pada 27 september, genap 7 bulan aku mengenalnya, aku mengajaknya ke Jatim Park. Dia juga sudah mengosongkan jadwalnya jauh-jauh hari. Setelah sampai aku mengajaknya menaiki roller coaster dan berbagai wahana lainnya hingga yang terakhir kami menaiki bianglala.

Ketika bianglala kami sudah berada di atas, tiba-tiba berhenti, dia terlihat panik, tapi aku memeluk pundaknya agar dia tenang. Waktu itu sudah menunjukkan pukul 17.45, matahari sudah mulai tenggelam, sinar keemasannya semburat di langit. Aku menggenggam tangannya.

“Ini semua sudah aku rencanakan Winda.” Aku menatapnya. Dia tertegun. “Maukah kau jadi pacarku?” aku menggenggam tangannya lebih erat. Matahari mulai meninggalkan jejak sinarnya sehingga kami berdua tampak sebagai siluet di atas sini.

“Ren, aku… aku…” dia terbata-bata. “aku tidak mau menyakitimu. Kau terlalu baik bagiku.” Dia melepaskan genggaman tangannya.

“Aku akan rela sakit, karena cinta adalah sebuah komitmen, aku sudah relakan segalanya.” Aku tersenyum kepadanya. Matahari mulai meninggalkan sedikit sinarnya kepada kami.

“Apakah kau mau menungguku untuk melaksanakan tugas pemerintah di Kalimantan selama setahun? Jika kau menjawab…” kalimatnya terpotong

“Ya, aku akan rela menunggumu, setahun dua tahun, atau seribu tahun lagi.” Aku tersenyum kepadanya, dia mengangguk tanda setuju, ya dia mau menjadi pacarku! Bianglala berputar kembali. Dan dia mendekapku, akupun mendekapnya, membelai rambutnya. Aku benar-benar mencintainya.

Aku menunggunya, tiap malam minggu aku menelponnya, memberinya semangat. Saat ini, genap setahun atas kepergiannya dalam melaksanakan tugas dokter di pedalaman Kalimantan. Aku menjemputnya di bandara, menunggunya sampai malam. Akhirnya wanita yang aku nanti-nanti datang juga, Winda memakai baju bunga-bunga dan dilapisi jaket jinsnya melambaikan tangannya padaku, aku berlari kepadanya dan  memeluknya erat sekali, aku tidak mau kehilanggannya lagi.

Bagiku dia adalah kekasih sekaligus dokterku, ya, dokter spesialis hatiku.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun