“Dalam hidup kita tak bisa mengharapkan seseorang datang, kemudian membereskan segala masalah yang kita tanggung. Dalam hidup hanya diri sendirilah yang bisa diandalkan. Pahlawan yang paling masuk akal adalah diri sendiri”
Kutipan frasa di atas pantas diinjeksi ke pembuluh otak, dihujamkan ke sanubari, dan kemudian biarkan mengalir bersama darah agar terlahir berupa perlawanan terhadap kebutuhan akan sesosok yang dapat mengubah nasib dari “fakir” menjadi “bankir”, dari “dhuafa” menjadi ber-“harta”. Dahaga tak akan hilang meski disuguhi triliun-an galon air laut namun cukup dengan setitik embun bening yang tawar dan menyegarkan.
Disorientasi “merubah nasib” adalah saat kita berpikir bahwa seseorang datang dalam kehidupan kemudian membaca mantra penyembuh “sim salabim abrakadabra” layaknya Jin Aladdin yang bisa mengabulkan tiga permintaan. Seketika menyulap gubuk menjadi “cluster” yang nyaman dan sejuk, atau tiba-tiba menukar “sepeda unto” menjadi benda berdimensi aerodinamis lengkap dengan rangkaian besi berpemutar, atau makanan dan minuman maha lezat bin “maknyuss” ala Pak Bondan. Yang lebih ekstrim lagi kita memohon kepada Tuhan agar diberikan “rimah-rimah” surga tanpa berbuat suatu apapun, O.. M.. G.., plis deh! Roda kehidupan memang berputar, bung, namun hanya untuk pribadi-pribadi yang tangguh dan berani menggerakkan. Bagi anda yang statis beli saja “kwaci” seraya berharap mendapati berlian dalam bungkusnya, atau belajar jadi penembak jitu deretan angka “togel” bin “BeTe”. Sungguh perilaku yang absurd
“Kenapa harus berhenti bermimpi di saat bangun tidur?”. Berkacalah pada kenyataan, bahwa tak seorangpun yang dapat menghentikan maupun mengantarkan anda untuk meraih sukses kecuali diri sendiri. Mari saya perjelas kata “pahlawan” dalam tulisan ini. Arti kata “pahlawan” menurut kamus ilmiah populer (baru saja saya baca) adalah orang yang menonjol karena keberaniannya, pengorbanannya dalam membela kebenaran, berkualitas bagi bangsa, negara maupun agama. Sedangkan “pahlawan” menurut versi saya mengalami sedikit distorsi karena ia bersifat eksklusifitas atas landasan pemikiran: “bahwa tak seorangpun berencana atau punya cita-cita untuk menjadi pahlawan. Seseorang hanya melakukan apa yang harus dan perlu dilakukan tanpa berpikir keuntungan materi, yang ternyata pada kemudian hari memberi kontribusi serta mendapatkan pengakuan dari masyarakat luas” that’s it!
“Pahlawan itu pemimpin, pemimpin belum tentu pahlawan”. Apa ada pemimpin ideal?
-Pemimpin ideal itu tidak korupsi
-Pemimpin ideal itu tidak egois
-Pemimpin ideal itu tidak bergelimang harta
-Pemimpin ideal itu tidak antipati
-dan, Pemimpin ideal itu tidak pernah ada (setelah era Rasulullah SAW, *ini menurut saya lo)
Di negara Indonesia yang sangat kita cintai ini figur pemimpin ideal hanya sebuah “imajinatif impulsif” dalam arti kita merindukan pemimpin ideal tatkala dihadapkan pada persoalan rumit terlebih menyangkut urusan perut, nafsu akan harta benda dan lain sebagainya yang bersifat hedonis. Apa pernah persoalan moralitas menjadi acuan utama dalam mencari figur pemimpin? (terutama dalam penyelenggaraan pilkada). Apa pernah berpikir, merenung, untuk menentukan siapa yang akan dipilih menjadi pemimpin? – Tidak, saya, anda, dan beberapa orang lainnya tersandera oleh pilihan-pilihan yang terbaik di antara figur yang kurang (tidak) baik.
Apa kita memilih yang terbaik di antara yang kurang (tidak) baik? Ya, sistem politik Indonesia menyandera kita untuk menerima perjodohan tanpa proses tawar menawar. Bahwasanya, setiap partai politik (yang memenuhi aturan Electoral Treshold) memiliki figur calon pemimpin masing-masing untuk disabung pada saat pemilu/kada. Seandainya proses, mekanisme seleksi bakal calon menurut garis partai terbuka dan jelas, sudah barang tentu kita beroleh figur dengan integritas tinggi. Bagaimana bila tidak? Karena tak sedikit partai yang terpaksa jual diri dengan meminta uang dukungan untuk bakal calon yang tak jelas rekam jejaknya.
“Dalam politik, kebetulan itu adalah barang langka. Politik selalu memiliki tujuan, siasat, dan berkelindan dengan pelbagai kepentingan. Nyaris tak ada kebetulan dalam ranah politik. Itu sebabnya orang sulit percaya jika para pelaku suap berdalih dengan pelbagai macam alasan”
Syukur alhamdulillah jika pada kemudian hari pemimpin yang terpilih ibarat buah ranum nan sangat manis laksana madu hutan, bagai sebuah oase, telaga tenang yang dapat melepas rasa dahaga. Tapi, bagaimana jika berbuah busuk lagi pahit? Naudzubillahiminzalik – mati kita dibuatnya.
Apa anda masih berharap pemimpin menjadi pahlawan dalam hidup dan kehidupan? Menurut saya yang teramat pintar ini; saya dan anda adalah pahlawan sesungguhnya bagi diri sendiri, dan itu lebih tangible ketimbang “superhero” bersayap Malaikat yang entah kapan datangnya
>> Salam paniang dari Jawa