Sebuah paradoks mengemuka ketika beragam aksi kekerasan ‘intoleransi’ terjadi belakangan ini di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang adalah ‘city of tolerance’. Sebut saja kasus penyerangan terhadap rumah seorang Katholik di Kecamatan Ngaglik, Sleman sedang mengadakan ibadah doa Rosario; kejadian tersebut terjadi pada 29 Mei 2014. Belum lama setelahnya, tepat 3 hari kemudian yaitu padatanggal 1 Juni 2014 kembali terjadi aksi kekerasan bermotif agama lainnya; yaitu penyerangan dan pengrusakkan bangunan tempat beribadah umat Kristen dan rumah seorang Pendeta di Desa Tridadi, Sleman. Rentetan kejadian tersebut, menimbulkan berbagai pertanyaan, apakah motif dari serangkaian aksi kekerasan ini? Apakah motif agama semata-mata menjadi penyebabnya? Atau ada motif yang lainnya?