"Serius? kamu belum menikah?". Raisya seakan tak percaya akan jalan hidup yang kutempuh. "Isteri yang bagaimana yang kau cari, Bim?..."
Perempuan dihadapanku seperti makhluk dari gugusan bintang-bintang ditingkatan langit. Apakah dia lupa sepuluh tahun yang lampau? Dan sekarang dia menertawakan peta hidup yang kubuat. Parasnya belum beranjak dari keterkejutan. Segaris tipis senyum menutupi. Dia mencoba bersimpati?
"Perkataan ibumu benar". Aku mencungkil memori padanya. Sebuah ledakan terhampar.
"Sudah...sudah. Jangan kau ungkit lagi". Ada jengah dihati Raisya. Semburat merah memenuhi wajahnya. Dia mencoba menutupi. Kepalanya menyamping mencari pemandangan lain.
"Apa yang kau harapkan dari bocah itu?". Perkataan Ibunya menghujam langsung pada sasaran. "Ibu hanya ingin anaknya hidup bahagia tak kurang suatu apa. Pahamilah"
Sebuah perjodohan telah disiapkan  buat anak perempuannya. Raisya tersentak ketika kabar itu tersampaikan.
"Tapi kami telah sepakat, bu"
"Sepakat? Apa yang kalian sepakati?"
"Kami akan menikah bila lulus"
"Tidak! Ibu tentang rencana kalian!" Kondisi keluarganya yang tergurat di kasta bawah menjadi titik penjelas kenapa Raisya dijodohkan dengan Kresna, anak pemilik PO(perusahaan otobus). Tujuannya gamblang. Agar hidupnya aman secara materi. Jangan sampai kutukan kemiskinan terus mencengkeram tengkuk keluarganya.
"Tuhan memberimu kecantikan untuk mengangkat kita dari lingkaran kemelaratan. Kamu tidak paham? Itu sebuah nilai, anakku", lirih ibunya.
"Ini bukan era Siti Nurbaya, Bu". Raisya melawan.
"Siapa yang bilang!".
Sebelum bibirnya membuka, hardikan pedas menyentak, "Tidak usah protes!"
Selama ini, kecantikan Raisya membuat kebat kebit pria-pria berhati flamboyan. Perjodohan itu berjalan sesuai skenario. Tiga anak berhasil keluar dari gua garbanya.
"Apa yang membuat tempat kerjamu mau mengangkat profil Perusahaan ini? Raisya menatapku. Sebuah kesempurnaan kembali terhidang setelah sekian lama menghilang.
"Peningkatan pendapatan, bahkan secara holistik armada perusahaan ini sangat mencolok dan mendapat apresiasi dari berbagai asosiasi". Uraian aku paparkan secara panjang lebar. "Dari tahun ke tahun gradenya naik"
Perbincangan kami hanya fokus pada topik yang jadi keinginan dewan redaksi media dimana aku bekerja. Raisya menjelaskan secara detail. Hingga waktu wawancara usai.
"Kapan aku bisa ketemu lagi, Bim?"
"Maaf, aku tidak bisa pastikan". Kalimat pamit merunduk.
***
"Dari seorang perempuan hebat", kata Adinda, rekan kerjaku, menyerahkan sekotak besar makanan mengisi mejaku.
"Siapa?"
"Yang kau wawancarai seminggu yang lalu?", Kata Adinda. "Pemilik Perusahaan Otobus(PO) itu"
Aku kaget. Berani sekali dia.
Pernikahan Raisya menarik dirinya dipusaran pengelolaan perusahaan. Pembelajaran hebat dari mertuanya membuat Raisya dipercaya pada posisi vital. Suaminya yang lumpuh memaksa dirinya menerima amanat besar. Kecelakaan pada sebuah kegiatan mengirimkan suaminya ke kursi roda. Empat tahun teronggok dalam duka. Sebuah pukulan bagi pria sentosa. Pikiran buruk menggerogoti raga serta pikiran hingga mempengaruhi mental. Murung. Mudah meledak.
"Kemana saja kau selama beberapa hari ini?". Kresna memutar-mutar cincin peraknya. "Dua hari hilang dari anak-anak" Wajahnya selalu suntuk, rambutnya acak-acakan tak terawat.
"Kapan terakhir, mas potong rambut", tanya Raisya.
"Tidak usah mengalihkan pembicaraan. Aku tanya kemana saja kau selama beberapa hari ini?". Tatapan Kresna menyentak.
"Ada peresmian jalur baru, mas. Perusahaan telah menambah armada untuk suatu titik yang selama ini luput dari pesaing lain"
"Sudah melewati kajian mendalam?", Tanya Kresna
"Sudah. Kita yakin rute ini akan menjadi pundi-pundi baru serta akan diminati konsumen"
"Apa harus menginap? Punya anak buah buat apa?". Kesan menyidik tergambar.
"Aku hanya ingin tahu saja, bagaimana kondisi dilapangan". Raisya merasa tersudut.
"Atau itu alasanmu agar bisa bersenang-senang bersama teman-temanmu?". Raisya sudah tahu arah omongannya. Kresna selalu berulah dan memicu pertengkaran.
"Mas, jangan sangkutpautkan teman-temanku. Ini murni pekerjaan"
"Pekerjaan? Sambil curi-curi kesempatan". Kresna menjadi perusak suasana.
"Jadwal terapi kapan, mas?" Seruput wangi teh dingin membentengi hati Raisya dari kalimat sinis suaminya.
"Tidak perlu kau tanyakan. Sudah ada yang mengurusi" Pandangan Kresna membajak kolam ikan dihalaman depan.
Bom waktu itu adalah Kresna Dwipayana, yang perilakunya membahayakan kesehatan serta lingkungan rumah. Dia selalu mengutuk, "Kapan aku bisa berjalan lagi!" , Teriaknya. Telapak tangan mencengkeram seraya dipukul-pukulkan pada pegangan kursi roda, "Empat tahun aku membusuk di rumah ini! Dan kamu bersenang-senang!"
Bila ucapannya sudah mengarah pada kecemburuan, Raisya lebih bijak menutup mulut. Dia tidak perlu membalas dengan jawab. Hidup dengan pria angkuh memberinya pelajaran supaya hatinya siap lebih lapang. Kupingnya makin membaja walau kadang tetesan air mata masih mampu membobol celah kecil. Sendirian menahan gempuran tidaklah mudah. Sandiwara dia pertontonkan kepada siapapun agar hidupnya terlihat baik-baik saja. Dibalik senyum cerianya, potong-potongan kepedihan bersemayam lugas.
"Kalau bukan karena politik ibumu, pernikahan ini tidak terjadi". Kresna selalu mengungkit masalah.
"Tapi kita sudah punya anak, mas"
"Itu karena aku terpaksa denganmu"
"Terpaksa?". Bibir Raisya membentuk huruf O.
"Bapakku menuntut agar aku segera menikah dan punya banyak anak, supaya bisa mewarisi harta melimpahnya" Wajah Kresna menengadah. "Aku mengikuti skenario mereka"
"Kenapa tidak menolak?"
"Lha, kamu juga? Kenapa mengiyakan?". Kresna tersenyum kecut, "Kita berdua ternyata pengecut" Kresna terkekeh-kekeh, "Kita berdua pengecut! Pecundang!" Tawa panjang merapat diruangan itu.
***
Mencegat anak buahnya merupakan kebiasaan pak Bawono. "Berita apa yang kalian bawa? Jangan setor berita picisan, apalagi double kategori". Memeriksa dan ngomel-ngomel bukan sesuatu yang aneh bagi kami. Bekerja dengan bos seperti Bawono kudu mental kuat, stamina dahsyat.
"Berita ini sudah basi. Tidak menjual. Buang! Ganti yang lain" pandangan Bawono menelisik setiap tulisan yang kami buat. "Wartawan itu harus punya insting kuat. Telinga, hidung, mata dimaksimalkan. Bekerjalah seperti anjing pelacak. Endus, endus dan endus. Kita adalah pemasok nutrisi otak bagi masyarakat. Camkan itu!"
Kami biasa dibuat kelabakan bila deadline. Tekanan mampu menyemburkan dampak. Persaingan di media cetak memang sengit. Koran cetak yang hanya memuat berita-berita picisan akan tergencet. Andaipun laku, oplahnya hanya berkisar segitu-segitu saja. Karena segmen pasar mereka memang masyarakat bawah.
Pak Bawono selalu mencoba menjadi Kubilai Khan, bengis. Tak ada kompromi bagi wartawan yang bekerja dibawah kendalinya.
"Hidup kita dari jualan berita! Cari info dan gali sumber-sumber yang menarik. Konstruksi kan fakta dan data".
Sejak bertemu Raisya, ada keuntungan buat koran kami. Bawono menyuruhku agar PO yang dikelola Raisya mau memasang iklan dilajur depan.
 "Itu bagian periklanan, bukan tugas saya, pak", sergapku.
"Sudahlah, untuk kasus ini, kamu yang bergerak. Bukankah perempuan itu temanmu? Masak kamu tidak bisa membujuk"
Begitulah Bawono, kadang berubah jadi Dajjal. "Dasar bedebah tua!", Batinku.
Bertemu Raisya sebenarnya tidak aku harapkan lagi. Tapi baginya, sosokku sangat dia tunggu.
"Gampang itu, Bim. Bisa diatur" wajahnya sumringah mendekam pekat, "Perusahaan memang ingin beriklan dibeberapa media. Tempatmu adalah salah satunya". Inilah mitra terbaik yang pernah dan kesekian berkolaborasi dengan kami. Para pemilik modal butuh bahasa lentur untuk memenangi pertarungan dalam strategi pemasaran. Cuma yang dikuatirkan, bisakah kita obyektif jika mitra kita bermasalah dengan publik?
Bawono bersorak ketika idenya goal. "Makasih lho, Bim". Bawono menyangga dagu dengan punggung tangan melipat. Senyumnya melebar tanda senang.
Ternyata, keseringan bertemu Raisya memunculkan kekuatiran tersendiri. Aku merasa telah terjerat. Â Sebuah kesalahan menggores.
"Ini masuk advetorial, Bim", Raisya menyodorkan lembaran-lembaran ukuran A4. "Artikel yang kamu tulis sungguh menarik". Â
Ingatanku terusik oleh pernyataan seorang wartawan tiga jaman, "Menulislah dengan kritis, tetapi jangan menggurui dan jangan berpihak kepada kepentingan tertentu". Kalimat terakhir cukup membebaniku.
Tanganku mengambil lembaran tersebut, tapi pikiranku berkecamuk. Beberapa hari ini suasana kantor sedikit janggal, terutama sikap Bawono. Kubhilai Khan itu sekarang tidak terlalu mempermasalahkan artikel-artikelku. Wajahnya selalu tergores senyum sumringah. Beda sikap kepada rekan lain. Simpul-simpul otakku mencoba menganalisa, "Ada apa ini?"
***
"Kami mau pasang iklan di koran bapak, tapi yang maju harus Bima". Raisya menyodorkan syarat.
" Itu bisa diatur, bu Raisya", ujar pria berjakun onta. "Pokoknya tahu sama tahu"
Jabat tangan diantara keduanya menjadi kesepakatan yang terselubung.
***
Semakin lama perilaku Raisya membuatku risih. Terlalu gamblang. Bagiku, ini sebuah masalah. Aku mencoba menghindari segala ajakannya. Namun, dia punya cara untuk menemukanku.
Dia dulu memang mampu melambungkan hatiku, tapi sekarang lain. Aku harus tahu diri dan tahu tempat. Yang jadi masalah, Raisya memintaku menemani dalam setiap acara apapun. Dia selalu memperkenalkan diriku sebagai, "Kenalkan, ini Bima. Fotografer perusahaan kami"
Aku tergagap. Skenario macam apa yang dia angkat? Tapi akhirnya, aku mengerti kalau ini hasil kesepakatan antara Bawono dan Raisya. Tengik!
***
Seorang perempuan berdiri di trotoar depan rumah. Bergaya kaum pekerja dengan celana slacks dipadu kemeja, berwajah aristokrat, sedang menuliskan sesuatu di blocknote. Lentik jemarinya menggenggam bolpoint, menggoreskan pada lembar tabula rasa. Akhir-akhir ini terlalu banyak perempuan berlalu lalang, berhenti sejenak, mengumbar pandangan hingga melongok isi halaman. Daya tarik apa yang membuat mereka berlaku demikian? Asik berkasak-kusuk dengan pikirannya? Di depan ada taman kecil dengan rumput manila yang rajin aku potong rapi, Â bersama kursi besi yang pasti diduduki.
Bila aku keluar, seutas senyum menanjak di mataku. Aku umbar pikatan, "Mari, mbak". Balasan berbentuk ungkap manis menjalar tepat diujung hidung.
Langkah kaki menapak berat melintasi trotoar. Lintasan jalan di sepanjang rumahku lumayan sibuk. Lalu lalang pejalan berbaur bersama gantangan asap kendaraan.
Tugas yang dibebankan padaku tak pernah berhenti pada ketukan terakhir pada hamparan huruf-huruf di mesin tik. Bawono selalu punya cara agar aku selalu sibuk. Dia tahu kapasitasku. Oleh sebab itu, agar kekuatan otakku keluar dengan menambah pekerjaan-pekerjaan diluar ketentuan. Aku pernah protes, tapi jawabnya, "Tenang saja. Ada bonus lumayan besar, Bim"
Kalau begitu aku tak berkutik. Bawono paham serta tahu cara "menodongkan pistol" supaya seseorang bertekuk lutut.
Seperti saat ini, aku ditugaskan meliput di daerah timur.
"Apa yang kau butuhkan minta saja pada Ratna", kata Bawono. "Laporkan apapun yang kau jumpai. Jangan lepas se inci pun"
Dengan mengendarai motor, penjelajahan ini akan menjadi pengalaman yang mengubah takdirku. Sesuatu yang baru di datangi selalu menyiratkan luapan hasrat, Bawono tahu itu. Yang pastinya, aku juga lepas dari gangguan Raisya selama beberapa hari.
Sebuah mobil menderu menyalip. Jalanan sepi menjadikan siapapun akan terpacu untuk mengencangkan pedal gas. Manusia-manusia sembrono bila menjumpa jalanan mulus. Memacu tunggangannya sampai melampaui batas kecepatan serta mengunci nalar. Desir angin menepuk tepuk raga mengacaukan khayalan. Sebuah tikungan lebar aku sergap bersama putaran pelan. Pemandangan nan elok terpampang,  menggoda siapapun untuk berhenti guna mengambil serpihan keajaiban Tuhan. Mobil yang menyalip tadi terpukau pula. Pengendaranya perempuan. Selintas aku familiar dengan tampilannya. Dimana ya? O ya, perempuan aristokrat itu! Ngapain dia kesini? Pertanyaan bodoh, Bim. Bentangan bumi bisa menjadi cerita siapapun. Apakah ini kebetulan? Tidak ada yang kebetulan di dunia ini.
Satu tangan aku angkat berlagak menangkap angin. Alur jalan meliuk membabat setengah kesadaranku. Dengan satu tangan aku bergaya ala setan jalanan. Hembusan angin pegunungan, bau basah rerumputan  menambah daya rangsang akselerasi kecepatan. Bunyi klakson mengagetkan ku. Senyum perempuan Aristokrat itu muncul dari belakang setir. Cantik.
Hoi! Aku sapa karena luapan gembira. Ia menoleh, segaris tipis senyuman terpaksa dilukiskan. Laju mobil diperkencang, meninggalkanku hanya beberapa detik, lalu menghilang. Aku penasaran. Gas kuturunkan, gigi dua aku masuki sampai tiga memantapkan diri menikmati jalanan sepi. Pada suatu tikungan, mobil terlihat melambatkan diri. Aku geber untuk menjangkaunya. Berhasil melampaui sampai kudapati jalan sedikit naik dengan sisi kiri jurang alami. Klakson menghentak. Ini yang aku harapkan. Melambatkan motor untuk melihat reaksi sekali lagi si Aristokrat. Laju mobil kutangkap sangat kencang dari belakang dan...Brak! Motor ku terhempas melampaui badan jalan. Tubuh bergetar hebat. Tulang punggung seraya dihantam palu godam, pedih, panas, rontok. Jantung seraya lepas dari ikatan urat-urat syaraf. Aku terpana tanpa bisa berkata-kata. Terjun bebas. Masih sempat kulihat kanopi yang terbentuk dari puluhan pohon yang melambai-lambai sebelum menerima berat tubuhku. Bras!.... Dahan serta ranting bergantian memangsa. Klak! Trak! Tebasan-tebasan itu meluluhlantakkan raga. Tubuhku tak berdaya. Sampai sebatang dahan mematahkan leherku. Krak! Gelap.
***
"Sudah kau berikan uang belasungkawa itu? "
"Kuberikan pada ibunya", jawab si Aristokrat. "Dia mengucapkan terimakasih"
"Pastikan semuanya rapi tanpa ada saksi. Jangan sampai ada masalah dikemudian hari", kata Kresna.
"Tenang saja, pak", Â jawab perempuan Aristokrat. "Semua sesuai prosedur kerja".
"Membiarkan kucing kampung berdansa dengan kucing istana adalah malapetaka", lirih Kresna. "Harus di sudahi"
Perempuan Aristokrat itu pamit pulang. Suara mobilnya menderu menjauh hingga tinggal keheningan yang tertinggal.
Kursi roda bergerak melingkar mirip bahasa isyarat bahwa pesta telah usai. Kedua telapak tangan Kresna mengatup menempel dagu. Roda berputar pelan mengarah ke taman belakang. Kresna terkejut oleh kehadiran istrinya. "Raisya? Kamu mengagetkan". Dorongan bertambah cepat menuju kolam renang. "Apa yang kau lakukan, Sya?". Gesekan karet dengan ubin menimbulkan decit nelangsa. Tak ada jawaban. Raisya mendorong cepat hingga tubir kolam tinggal sejengkal. Kresna tergagap. Byur!. Kursi itu di telan hamparan air bersama pemiliknya. Lambaian tangan serta teriakan menjadi fragmen pilu. Gelegak kemarahan tergambar diparas Raisya.
"Penderitaan ini harus diakhiri", bisiknya. "Aku terlalu letih untuk semua cerita-cerita hidup ini". Raisya bersedekap tenang memandang gelembung-gelembung udara dari pusaran. "Selamat tinggal kemunafikan", Senyum kemenangan tersungging dibibir. Dia menikmati tragedi itu. Ada yang harus dihilangkan jika kedamaian ingin kau gapai.[]