Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Zoya, Tukang Cat di Kota Mafia

14 Desember 2023   12:21 Diperbarui: 14 Desember 2023   12:26 102 2
Zoya tua melangkah memanggul tongkat panjang. Geraknya lurus tanpa ada ketergesa-gesaan. Bahkan bisa dibilang lamban. Hari-harinya dilalui dengan warna-warni cat kehidupan. Pemakai jasanya mempercayakan dinding-dinding rumah dilabur aneka warna karena hasil kerjanya bersih, rapi, sempurna, tanpa cela.

Sebenarnya, di kota ini bukan hanya dirinya yang berprofesi sebagai tukang cat. Cuma entah kenapa banyak orang lebih mempercayakan sentuhan jemari keriputnya. Kalau masalah hasil, tukang cat lain juga tak kalah sempurna. Sudah bertahun-tahun Zoya menekuni aktivitasnya. Di benaknya, tak selintaspun berpikir untuk pindah profesi. Bila sepi job, Zoya memancing di laut atau muara sungai.

Usianya sekitar 70 tahunan. Tapi banyak orang menyangsikan.
"Tak mungkin. Dia 60 tahun"
"Malah bisa jadi 55 tahun. Lihat saja kalau bekerja. Masih cekatan"

Tidak banyak penduduk kota yang tahu asal usul Zoya. Lelaki tua itu jarang tersenyum. Tapi sekali tersenyum membuat orang diam. Kenapa? Senyumnya sangat getir bahkan seperti menyimpan bara dendam. Orang-orang hanya sebatas menyapa bila dirasa perlu.

Hidup sendirian tanpa sanak saudara bukan hal aneh di kota yang dikuasai mafia narkoba. Peredaran barang haram sudah menjadi inti hidup warga kota Boreno. Kartel narkoba menempatkan hukum kota persis alas kaki. Tak ada harganya sama sekali. Perang antar kartel memicu serangan bolak-balik. Aparat tak mau bertindak karena kelebihan suap kanan kiri. Keriput dikulit Zoya menjadi saksi bagaimana perang antar kartel sudah merupakan makanan sehari-hari. Mayat-mayat bergelimpangan dengan darah berceceran seolah bukan hal yang aneh. Kartel-kartel itu sudah tahu siapa Zoya. Karena Zoya menjadi relawan pengumpul mayat bila perang usai. Jasad-jasad itu dijejerkan sebelum perintah lanjutan datang. Darah-darah dibersihkan, diserok, ditampung pada ember.
"Kenapa kau lakukan ini, Zoya?"
"Biar Boreno tetap bersih", jawab Zoya datar
"Maaf, kami tidak bisa membantu secara tuntas"
"Tidak masalah", kata Zoya
"Terimakasih Zoya". Anggukan kepala menjadi balasan tepat.

Tindakan Zoya telah dikenal. Bahkan kala perang antar kartel terjadi, Zoya menunggu tenang ditempat yang dirasa representatif
"Zoya! Jangan dekat-dekat. Kepalamu bisa koyak ditembus peluru". Teriakan-teriakan membaur dengan bunyi peluru yang diumbar. Ekspresi Zoya datar. Dia sesekali mengintip. Lewat mata tuanya, Zoya tahu siapa yang akan memenangkan pertempuran hari ini.
"Peco akan menangis kalau melihat hasilnya", gumam Zoya. "Kegoblokan paling akurat. Membiarkan kubu Rudolfo  menempati blok jagung sama saja bunuh diri"

Prediksi Zoya banyak tepatnya. Entah kenapa dia bisa menebak hasil pertempuran. Wilayah barat dikuasai kartel Peco, sedangkan timur diakuisisi Rudolfo bersaudara. Jazirah Boreno menjadi lahan subur peredaran Narkoba. Kota yang terletak ditepi laut dengan jalur sungai memanjang hingga pedalaman hutan menjadi rebutan. Ada istilah dikalangan mereka, 'Boreno adalah butiran permata. Menguasai berarti kemakmuran terjaga'.

Pria tua itu menjadi bagian dari perebutan.
"Zoya, besok bos minta markasnya kamu cat". Pesuruh dari kedua belah pihak terbiasa saling memberikan kabar tiba-tiba.
"Kapan pertempuran terjadi lagi?", Kata Zoya
"Kenapa kau selalu tanya begitu"
"Aku kangen mendengar denting peluru keluar dari selongsongnya", jawab Zoya.
"Kami sedang lelah, Zoya. Pengiriman ke propinsi tetangga menguras daya kami", kata mereka. "Tak ada pertempuran untuk beberapa hari ke depan"
"Begitu?", Tanya Zoya kesal.

Zoya memberi syarat khusus bagi siapa saja yang ingin dinding rumahnya di cat.
"Ketika bekerja, jangan mengajak saya bicara". Itu syarat utamanya. Dan orang-orang pun mengiyakan, karena itu syarat mudah. Dengan tidak mengajak bicara, secara tidak langsung, Zoya akan ditinggalkan sendirian.

Kehilangan sanak saudara, anggota perkumpulan karena mati akibat pertikaian antar kartel hal lumrah. Tangis sedih akan berlalu beberapa hari mendatang. Berlalunya hari akan menghapuskan nestapa duka.
"Dimana Aleandro? Beberapa hari ini aku tidak melihat batang hidungnya", kata seorang kawan.
"Entah. Kabar terakhir di suruh ke rumah Zoya", jawab kawan satu lagi
"Mungkinkah dia punya bisnis sampingan? Atau ke rumah pacarnya yang pantatnya besar itu?". Tawa berderai menyibak keheningan. Suara langkah kaki menghampiri mereka.
"Zoya! Beruntung kau datang. Tahu kemana Aleandro?"
"Aku tidak tahu. Dia datang hanya memberi kabar kalau dinding markas ini perlu di cat". Zoya menjawab datar.  Segera Zoya meninggalkan kerumunan itu.
"Tukang cat paling aneh yang pernah aku temui", ucap seseorang. "Pelit bicara"

Zoya mengaduk wadah cat yang berisi campuran. Cairan-cairan memenuhi wadah-wadah khusus. Ramuan cat ala Zoya tertampung dan siap digunakan. Kuas besar menyentuh dinding. Laburan demi laburan menutup pori-pori hingga tertuang sempurna.
"Semoga ini cukup. Kalau tidak terpaksa melakukan operasi lagi". Zoya bergumam sendiri. Suara ujung tangga yang digeser sesekali terdengar. "Waduh! Masih kurang juga".
Zoya berjalan pelan keluar dari ruangan. Matanya menyebar mencari sasaran. Awan menggantang menampilkan gumpalan-gumpalan pengamatan.
"Istirahat, Zoya?". Seseorang lewat menegurnya.
"Angin laut sungguh sedap dihirup", ujar Zoya.
"Angin gunung tepatnya, Zoya",
"Gunung dan laut"
"Yah, begitulah. Boreno adalah sobekan surga. Bukan begitu, Zoya?". Orang itu memberikan menitnya untuk pak tua. "Sudah selesai?"
"Kurang sedikit. Paru-paruku perlu udara segar"
"Nikmatilah Zoya". Orang itu segera beranjak pergi. Zoya mengikutinya dan... Blak! Pukulan dari martil yang ia bawa menyudahi pria itu. Segera diseret dibawa ketempat yang tersembunyi. Dengan cepat tangannya mengambil pisau-yang biasa buat membersihkan hasil pancingan-untuk menggorok leher orang itu. Cairan merah mengucur deras ditampung pada wadah. Betapa tangkasnya kerja Zoya. Ia bekerja mirip dokter bedah, tahu letak urat-urat serta simpulnya. Dirasa cukup, tubuh itu segera ia sembunyikan pada sesemak sebelum ia kembali bekerja.
"Harus pas. Kalau tidak hasilnya kurang sempurna"
Darah itu ia campur dengan cat-cat yang telah dibagi pada tempatnya. Diaduk bersama senandung senang. Kembali ia disibukkan pada kerjaannya.

Suara panggilan pada seseorang menyentak, "Gusto! Gusto! Dimana kau? Bos ingin bicara padamu". Angin membawa suara melewati ruang-ruang dan halaman.
Gedebuk tapak sepatu lars menghantam mendekat.
"Zoya! Apakah Gusto kesini?"
"Sejak dari tadi aku sendiri. Mungkinkah dia pergi tanpa pesan?"
"Kembalilah bekerja Zoya. Maaf aku mengganggumu"
"Iya". Zoya melanjutkan sapuannya. Ia tersenyum menang. Zoya menciptakan hukum sendiri. Karena hukum di kota ini telah mati suri. "Pembalasan atas kematian Alfredo. Kalian semua akan habis"

***

Boreno ditahun 1979.
"Alfredo! Hati-hati nak". Zoya bahagia melihat anak semata wayangnya tumbuh segar. Lima tahun telah dia jalani dengan kestabilan diri. Dipeluknya anak tersebut dengan balut kasih sayang.
"Kalau kau besar nanti dan saatnya sekolah, kau akan aku pindahkan dari kota ini".
Zoya si pekerja keras. Apapun pekerjaan dia lakukan demi pundi-pundi uang. Boreno bukan tempat yang baik bagi tumbuh kembang Alfredo. Dia sudah punya rencana buatnya.
Kota ini terlalu berbahaya. Kartel-kartel narkoba mengacak-acak hukum serta tata aturan masyarakat.

Bayangan kecil Alfredo terbentuk dari hangat matahari. Tangan kecilnya menggandeng Zoya.
"Ayah, aku ingin ke sana". Telunjuk tangannya mengarah pada lapangan berumput di seberang. Jawaban belum terbentuk, Alfredo berlari riang.
"Ponerse a cubierto!"(Berlindung!)
"Cuidado con la guerra!"(awas perang!). Teriakan peringatan mencegah orang berlari. Bunyi tembakan melantak kencang.
Zoya berteriak ketakutan, "Alfredo! Berhenti!". Tubuhnya melenting mengejar kasihnya.
Anak kecil itu tertawa. Merasa ayahnya mengajak bercanda. Semakin kencang dengan tawa berderai panjang. Dor..dor...tret..tret...dor..dor..
Tubuh Alfredo terjungkal diterjang peluru. Tertelungkup dengan kepala pecah. Cairan putih berleleran campur merah.
Zoya terkesiap. Mukanya pucat. Dipeluknya jasad si kecil dengan raungan kemarahan. Air mata membanjir membentuk kesumat dendam.

***

"Pembalasanku baru berhenti setelah aku mati", lirih Zoya. Dia mencari segala cara agar bedebah-bedebah mafia itu musnah di Boreno. Harapannya pada Alfredo lenyap. Sejak saat itu jiwa Zoya panas. Putra tampannya datang memberi salam dalam bayangan gelap. Semuanya tak kunjung usai.

Kehilangan misterius menimpa para kartel. Saling curiga menimpa rival mereka.
"Diam-diam Rudolfo melakukan pembunuhan terhadap rekan-rekan kita. Harus kita antisipasi"
"Apakah perang terbuka harus kita mulai?"
"Sepertinya harus"

Desing peluru menghantam sasaran. Dinding-dinding koyak, menyerpih. Zoya senang. "Bertempurlah sampai nadi kalian hancur", desis Zoya. "Darah kalian akan aku sapukan diseluruh kota"

Zoya menikmati ledakan-ledakan peluru. Bibirnya menggumamkan syair-syair pertempuran. Jarinya mengetuk ketuk tulang dengkul.

Perang harus kau lakukan. Menundanya berarti awal kekalahan. Hancurkan musuh selama lipatan kain belum dijahit. Itulah falsafah pemilik pedang. Bila selesai perang nikmatilah bubur jagung yang dipanen ketika embun masih menempel didaun.

Zoya masih mengetukkan ujung jari dibawah desing peluru dan ceceran darah serta cipratan ludah. Perang harus kau lakukan....[]

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun