Latar Belakang
Berkembangnya Direct Investment Perusahaan Modal Asing (PMA) di Indonesia dalam 6 tahun terakhir, menjadi bukti keberhasilan pemerintah dalam membangun kepercayaan pihak asing. Berdasarkan Laporan Kegiatan Penanaman Modal menurut sektor yang dikeluarkan oleh BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal), Indonesia berhasil menaikan nilai investasi PMA sebesar USD 12.749,3 Juta atau sebesar 44% dari tahun 2010 hingga tahun 2016, Sedangkan jika dilihat dari Realisasi triwulan IV tahun 2016: Berdasarkan Negara Asal, Singapura menduduki posisi pertama dengan total investasi USD 2053, 6 Juta, disusul Tiongkok (USD 1075.5 Juta) dan Jepang (USD 902.7 Juta).
Kenaikan nilai investasi asing tersebut merupakan momentum yang baik bagi pembangunan ekonomi Indonesia kedepan, tetapi hal tersebut bukan tanpa masalah, karena dengan naiknya nilai investasi berdampak juga pada munculnya resiko- resiko ekonomi yang menggangu hubungan para pihak. Sebagai tindakan preventif untuk mengurangi resiko-resiko ekonomi tersebut,
PMA terkesan lebih protektif dalam menyusun kontrak bisnisnya, terutama dalam klausula yang menyangkut choice of forum ketika terjadi sengketa dagang. Metode penyelesaian sengketa dagang menawarkan banyak pilihan salah satunya melalui jalur arbitrase. Namun, arbitrase sebagai choice of forum antara PMA dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) di Indonesia, sering kali membutuhkan waktu panjang untuk dibahas dan dimuat dalam kontrak bisnis.
PMA di Indonesia cenderung memilih forum arbitrase untuk menyelesaikan sengketa yang muncul antar rekan bisnisnya, dalam hal ini Singapore International Arbitration Center (SIAC) menjadi pilihan utama dalam choice of forum dan hukum Singapura sebagai choice of law yang berlaku. Tetapi PMDN lebih mempertimbangkan untuk menggunakan Pengadilan Negeri atau Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) sebagai choice of forum, dan hukum Indonesia sebagai choice of law.
Dalam laporan tahunan SIAC – 2015, Indonesia menempati posisi 8 dari 10 besar negara asing yang menggunakan jasa SIAC sebagai forum penyelesaian sengekta. Indonesia tercatat memiliki tota 24 pihak yang bersengketa. Sedangkan dalam laporan tahunan SIAC - 2016, Indonesia tercatat sebagai pihak asing terbanyak ke 4 (empat) yang menggunakan jasa SIAC setelah India, China, dan USA pada tahun 2016. Data tersebut juga menunjukan adanya peningkatan jumlah kasus di Indonesia, dimana total terdapat 38 pihak dari Indonesia yang bersengketa, dengan jumlah penuntut sebanyak 12, dan responden sebanyak 24 pada tahun 2016.
Meningkatnya pihak Indonesia yang menggunakan SIAC sebagai choice of forum antara tahun 2015 dan 2016,merupakan gambaran bahwa forum dan hukum yang berlaku di Indonesia belum menjadi pilihan utama bagi para PMA, khususnya bagi para pihak yang umumnya didominasi oleh korporasi asing.
Masalah Hukum
Dalam kontrak bisnis, masih banyak ditemukan PMA yang merujuk pada klausula yang sama dalam kontrak perusahaan induknya. Contohnya, Perusahaan asing asal Amerika serikat yang bergerak di bidang Kargo laut, menempatkan the Shipping Act of 1984 sebagai salah satu klausula yang mengatur tentang Hak dan Kewajiban yang harus disepakati oleh mitra bisnisnya. Atau perusahaan cargo udara yang menjalin kesepakatan kerjasama antara PMDN dengan merujuk seutuhnya pada regulasi IATA (International Air Transport Association) sementara IATA juga merujuk pada hukum dan konvesi internasional seperti Warsaw conventions 12 October 1929, atau pada konvensi Hague Hague, 28 Sep 1955.
Menempatkan klausula yang merujuk pada regulasi asing menyebabkan tanggung jawab para pihak dalam kontrak bisnis menjadi bias. Tetapi tersebut juga tidak dapat disalahkan sepenuhnya, karena lahirnya kesepakatan dalam kontrak bisnis di Indonesia didasari atas asas pacta sun servanda (kebebasan kontrak) yang bersifat universal dan konsensual yang juga dapat ditemukan pada pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Akibat hal tersebut, banyak penafsiran kontrak yang tidak bisa diterjemahkan seutuhnya dengan sistem hukum civil law seperti yang diadopsi oleh Indonesia, tetapi juga memerlukan pemahaman khusus tentang sistem hukum common law.
Pembahasan
Sistem hukum sebuah Negara baik itu common law ataupun civil law mempunyai pengaruh yang besar bagi seorang arbiter, karena sangat mempengaruhi penafsiran sengketa. Secara umum, common law merupakan system hukum yang memakai logika berpikir induktif dan analogi. Sistem hukum ini memiliki konsep Rule of law yang menekankan pada tiga tolak ukur yaitu; supermasi hukum, persamaan dihadapan hukum, dan konsitutsi yang didasarkan atas hak-hak perseorangan.
Sedangkan Civil law, merupakan sistem hukum yang memakai logika berpikir secara deduktif, sehingga lebih menekankan bahwa hukum memperoleh kekuatan mengikat karena diwujudkan dalam peraturan yang berbentuk undang-undang dan tersusun secara sistematis didalam sebuah kodifikasi tertentu untuk menjamin adanya kepastian hukum.
Perbedaan konsep dalam sistem hukum common law maupun civil law sangat mempengaruhi metode penafsiran sebuah sengeketa. Penafsiran sengketa melalui cara berpikir deduktif yang digunakan pada sistem hukum civil law, lebih banyak memandang persoalan dari hal-hal yang bersifat umum lalu menarik kesimpulan yang bersifat khusus.
Sedangkan pada sistem hukum common law menggunakan metode sebaliknya, yaitu memandang hal-hal yang bersifat khusus untuk mendapatkan kesimpulan yang bersifat umum. Oleh karena hal tersebut, penyelesaian sengketa dengan menggunakan forum arbitrase juga sangat dipengaruhi oleh latar belakang sistem hukum seorang arbiternya.
Dalam laporan tahunan SIAC – 2016, tercatat arbiter dengan kewarganegaraan Singapura menjadi arbiter paling banyak ditunjuk oleh SIAC dengan presentase 34%, disusul arbiter dengan kewarganegaraan UK 27,3%, dan Australia 10,6%.
Dari 3 besar Negara asal arbiter yang paling banyak ditunjuk oleh SIAC tersebut (Singapura, Inggris, dan Australia), maka semakin jelas terlihat bahwa arbiter dari Negara dengan sistem hukum common law lebih dominan ditunjuk dalam sebuah sengketa dagang. Jika dilihat dari total presentase 3 negara tersebut, maka terdapat 71,9% arbiter SIAC yang berlatar belakang sistem hukum common law, artinya persentase kemungkinan para pihak untuk memilih arbiter yang berasal dari common law semakin terbuka lebar.
Jika dibandingkan dengan data BKPM, yang menyebutkan bahwa Singapura merupakan Negara terbanyak yang melakukan investasi di Indonesia pada tahun 2016, maka wajar saja jika korelasi pengguna SIAC sebagai choice of forum berbanding lurus. Tetapi apakah hal tersebut juga dapat menyatakan bahwa investor terbesar kedua dan ketiga di Indonesia yaitu Jepang dan China, juga memilih SIAC karena mempunyai banyak arbiter yang berasal dari Negara commonlaw? terlebih dalam forum arbitrase seperti SIAC, para pihak yang bersengketa dapat memilih arbiternya masing-masing.
Dalam hal penunjukan seorang arbiter, SIAC menegaskan bahwa arbiter yang ditunjuk dalam sengekta merupakan arbiter yang dipilih berdasarkan keahlian dan pengalaman yang relevan dalam sengketa mereka. Netralitas kebangsaan merupakan faktor kunci SIAC untuk menempatkan arbiter dalam suatu sengketa sehingga diharapkan adanya keadilan bagi para pihak yang bersengketa.
Arbiter yang ditunjuk dalam suatu sengketa pada umumnya bertujuan untuk mempertimbangkan bukti – bukti yang diajukan sebagai dasar keputusannya. Hal ini memberi kemungkinan untuk menunjuk seorang ahli yang mengerti tentang sengketanya dan dengan demikian membebaskan para pihak dari kewajiban menghadirkan ahli untuk minta pendapat tanpa biaya tambahan apapun. Arbiter sendiri tidak dibenarkan memberikan bukti-bukti pribadi yang dimilikinya, akan tetapi ia dapat dan wajib memanfaatkan pengetahuannya dan memberi tafsiran terhadap bukti yang dikemukakan oleh para pihak.
Kewajiban arbiter untuk memberikan tafsiran dalam kontrak bisnis merupakan hal penting dalam proses penyelesaian sengketa, terlebih jika kontrak bisnis tersebut memuat klausula-klausula yang merujuk pada regulasi asing.Untuk itu pengetahuan seorang arbiter dan metode dalam membangun logika berpikir sangat menentukan terpilihnya arbiter dalam suatu sengketa karena dapat memberikan kepastian hukum pada pihak yang bersengketa.
Pemikiran inklusi ditambah dengan konsep rule of law yang mengedepankan konsitutsi atas hak-hak perseorangan sebagai parameter keadilan, menjadi kelebihan yang dimiliki seorang arbiter dari Negara common law. Dengan berpegang pada prinsip dan metode logika berpikir sepert ini, Arbiter yang berlatar belakang dari sistem common law, cenderung lebih dalam ketika mengkaji, membahas, dan menginterpretasikan hukum dalam sebuah kontrak bisnis. Akibat hal ini, PMA di Indonesia cenderung memilih SIAC sebagai choice of forum karena dirasa mempunyai arbiter yang lebih berpotensi utnuk menerapkan “gaya” berpikir yang sama dalam memandang sebuah permasalahan.
Saran
Dominasi arbiter dari Negara common law menjadi salah satu alasan mengapa sengketa dagang yang terjadi di Indonesia lebih banyak menggunakan jasa SIAC dan hukum singapura. Meningkatnya PMA di Indonesia yang menggunakan jasa SIAC merupakan hal yang patut dijadikan pembelajaran oleh pemerintah Indonesia, agar dapat melahirkan lebih banyak ahli ahli hukum internasional yang berkualitas. BANI sebagai badan arbitrase Indonesia juga harus lebih banyak belajar dari minat PMA yang lebih memilih SIAC dan berupaya untuk menganalisa lebih serius tentang permasalahan hukum internasional di dalamnya, karena hal tersebut akan membantu untuk meningkatkan jumlah investor asing yang dapat membantu pertumbuhan ekonomi Negara kedepan.