Â
In Memoriam Bapak Drs. Theofilus Woghe
KEMARIN (1/5) baru saja tiba di Ende setelah mengikuti Lokakarya Nasional (Loknas) dan Open Forum yang padat dan melelahkan. Dua event penting ini diselenggarakan Induk Koperasi Kredit Indonesia (INKOPDIT) Jakarta dan berlangsung tanggal 26 – 31 Mei 2015. Tahun ini terjadi di Dyandra Convention Center, Surabaya, Jawa Timur.
Di sini saya bertemu dengan banyak insan koperasi kredit (kopdit), perintis, penggerak dan pemberdaya ekonomi berbasis kearifan lokal dari berbagai pelosok Indonesia. Kami saling bertukar-gagas dan saling membagi pengalaman. Di dalamnya, kami menemukan tujuan dan solusi bersama yang menguatkan demi keberlanjutan gerakan Kopdit/CU (Credit Union) di seluruh Indonesia.
Satu pengalaman yang paling bernas, saya justru terperangah dan berdecak kagum ketika saya ternyata bertemu juga dengan orang – orang seasal, yakni dari Flores. Ada seorang pengurus salah satu kopdit dari Sumatera Selatan, ia orang Maumere. Saya memanggilnya, Mo’at. Ada pendiri dan pengurus salah satu Kopdit di Kalimantan Timur, yang kebetulan hadir dua orang. Satu orang Roworeke dan satu lagi orang Woloare Ende. Mereka merantau di Kalimantan dan mendirikan Kopdit di sana. Saya memanggil keduanya dengan KA’E (Kami Ata Ende). Kemudian ada Romo Timotius Siga, penasihat Kopdit/CU Gotong Royong di Jombang, Jawa Timur. Romo Timotius asli orang Maumere. Saya juga bertemu orang Larantuka, tamatan STFK Ledalero. Ia adalah pengurus di salah satu Kopdit/CU di Kalimantan Barat. Akhirnya, saya berkenalan dengan pendiri, penggagas dan pengurus dari Kopdit/CU dalam Puskopdit Timor di Kupang. Asli tidak pakai bohong, hampir semua orang Flores. Mulai dari Lembata sampai Manggarai. Dan saya bertemu Bapak Agustinus Turu, wartawan MENTIK (Majalah khusus Kopdit/CU) yang diterbitkan di Bali. Ia orang Malapedho, Kec. Inerie-Ngada.
Oh, Flores, atau Nusa Bunga atau Nusa Nipa. Ada ‘orang-orang besar’ yang terkenal di pentas politik tanah air, kadang itu buat saya bangga. Namun terselip orang-orang kecil di seluruh pelosok negeri ini yang melakukan hal-hal kecil dengan cinta yang besar. Selalu saya bangga dan kagum. Mereka anak kandung Flores, lahir dan dibesarkan dalam kultur Flores. Sampai merantau ke luar Flores pun mereka tetap anak Flores. Jelas terbaca, solidaritas, toleransi dan peduli tak bisa disekat oleh ruang/tempat tertentu. Ia tumbuh, berkembang dan menghasilkan buah di luar Flores. Bagi saya, mereka mereka telah menaburkan benih kebaikan bersama (bonum commune) demi kemandirian ekonomi orang banyak tanpa mau terkenal, di tanah aslinya Flores sekalipun. Luar biasa.
Sementara kegiatan Loknas dan Open Forum berlangsung, datang kabar duka, pada 28 Mei 2015. Salah seorang tokoh Kopdit/CU Indonesia dipanggil Tuhan. Dialah Bapak Drs Theofilus Woghe. Anak kandung Nagekeo, Flores yang menghabiskan seluruh hidupnya bersama Kopdit/CU, selain sebagai seorang pendidik. Ia mengharumkan nusa bunga dalam Gerakan Koperasi Kredit Indonesia (GKKI). Ia penuh semangat dalam mendorong masyarakat Flores hidup berkoperasi. Tanpa kenal lelah.
Ia pun aktif di ACCU (Asian Confederation Credit Union), sebuah jejaring Kopdit/CU tingkat Asia yang bermarkas di Bangkok, Thailand. Ia mengikuti berbagai studi banding ke berbagai negara seperti Manila (2006), Colombo (2006), Banglades (2008), mengikuti Education Sector Administration and Management Short Course di Adeleide, Australia dan ikut memprakarsai penyebarluasan ACCESS Branding Scorecard (ACCESS Branding) sebagai standarisasi pengelolaan kopdit di tingkat Asia. Theofilus Woghe selalu berharap kopdit menerapkan ACCESS Branding sebagai A one Competitive Choice for Excellence in Service and Soundness by Branding atau sebuah pilihan berdaya saing untuk keunggulan dalam pelayanan dan kekuatan melalui citra lembaga kopdit yang baik. Citra kopdit/CU adalah ekspresi kolektif dari nilai-nilai kopdit yang diwujudnyatakan dalam esensi, karakter, tujuan dan produk layanan kopdit.
Sejak kecil pada tahun 1959-1962, Pak Theo, begitu pria rendah hati kelahiran Suralaja, Nagekeo 5 Maret 1953 ini disapa, sudah mengenal koperasi (sebagaimana dituturkan kepada Frans Obon, dalam Koperasi Kredit Membangun Peradaban Bermartabat, 2011). Selain perannya di tingkat Asia, Pak Theo pernah menjabat Wakil Ketua INKOPDIT (Induk Koperasi Kredit) Jakarta untuk dua periode (2004-2010). (Sebagai footnote: Inkopdit adalah koperasi sekunder tingkat nasional dalam jejaring GKKI yang membawahi 36 Pusat Koperasi Kredit (Puskopdit) di berbagai regional di Indonesia). Pada tingkat Puskopdit Flores Mandiri yang memayungi Kopdit primer di Ende, Ngada dan Nagekeo, Pak Theo menjadi ketua pengurus 2002-2007, dan sampai di akhir hidupnya, ia menjadi penasihat Puskopdit Flores Mandiri, Kopdit Sangosai dan Kopdit Boawae.
Bagi Pak Theo, koperasi kredit adalah bisnis kepercayaan, maka kehilangan kepercayaan membuat banyak koperasi kredit gulung tikar, makanya segala ide, pengalaman dan ilmu dibagikan demi gerakan kopdit di Indonesia. Ia tidak mau lagi mendengar orang menyebut koperasi dengan ‘kepo ghasi’ (salah genggam) dan ‘kopo rasi’ (cuci kandang). Untuk itu, Pak Theo pada setiap kesempatan, selalu memberikan konsep 3E, yakni pertama, Excellent Concept, kopdit harus memiliki perubahan dan inovasi dengan arah dan tujuan yang jelas tanpa menghilangkan prinsip ‘regressus ad uterum’ (kembali ke hakekat asali) berdasarkan roh, jati diri dan nilai-nilai kopdit. Kedua, Excellent System, kopdit harus memiliki standard operational procedure (SOP) dan standard operational management (SOM) demi pelayanan yang prima dan profesional kepada anggota, dan yang ketiga, Excellent Team, kopdit harus memiliki tim unggul, berdaya saing kuat, solid dan saling mendukung dalam upaya membangun kemandirian ekonomi anggota.
Nah, tidak berlebihan, Flores itu kecil tapi mengagumkan dan membanggakan. Dari rahimnya lahir perintis, penggagas dan penggiat dalam gerakan ekonomi berbasis pendidikan, solidaritas, swadaya dan inovasi yang berkelanjutan, termasuk Pak Theofilus Woghe. Ia telah pergi untuk selamanya. Tidak ada lagi, ade, tolong print saya pu tulisan ini, begitu Pak Theo meminta setiap kata sambutannya diprint. Printnya harus dalam format booklet, dalam bentuk buku. Ia tahu, model booklet mudah disimpan, dibaca dan dibawa kemana-mana.