(Saya Mari Longa, tidak bisa ditebas pedang, keras seperti baja, kuat seperti batu, sentuh tidak rasa, gertak tidak goyah, tidak terseret arus deras)
Ende, dalam dunia kepariwisataan sudah terkenal dengan beberapa tempat wisata yang menakjubkan. Ada kawasan danau tiga warna Kelimutu dengan segala ekosistemnya. Ada hamparan batu hijau pesisir pantai Penggajawa dan indahnya matahari tenggelam, nampak jauh dari balik gunung Ebulobo. Tak terlupakan ada situs Bung Karno di Jalan Perwira, sebuah jejak sejarah Pancasila. Kemudian kota Ende disebut sebagai ‘rahim Pancasila’, dan pelabuhan Ende kini dikenal dengan pelabuhan Bung Karno.
Meski demikian, rasanya belum lengkap dan agak diana-tirikan, jejak sejarah perjuangan bangsa ini hanya situs Bung Karno. Watunggere juga obyek wisata yang pantas dikunjungi, baik sebagai wisata sejarah atau wisata edukasi.
Dalam catatan sejarah bangsa ini, kita mengenal pahlawan nasional dengan asal daerahnya. Seperti Pangeran Diponegoro dari Yogyakarta dan wafat di Makasar, dan atau Tuankun Imam Bonjol dari Sumatera Barat. Di Nusa Nipa (Flores) ada beberapa pahlawan yang ikut berjuang mengusir penjajah, seperti Motang Rua (Manggarai, Flores Barat), Nipado (Ngada), Moan Teka Iku (Sikka), Herman Fernandez (Flores Timur) dan Mari Longa dari Ende.
Masa Kecil Mari Longa di Watu Nggere
Watunggere adalah sebuah kampung. Terletak di Kecamatan Detukeli. Kampung ini masuk dalam wilayah persekutuan adat Nida (Lio). Mari Longa lahir sekitar tahun 1855, dari pasangan Longa Rowa dan Kemba Kore. Dalam sumber lain, tahun kelahiran Mari Longa tidak pasti, karena tidak ada yang mencatat.
Waktu masih kecil, Longa Rowa memberi nama pada putra sulungnya itu Leba. Nama ini diambil dari nama sayuran pare (paria) yang rasanya pahit. Longa Rowa berharap anaknya kelak menjadi seorang pemberani, tidak takut pada siapapun dan apapun. Namun nama Leba ini seperti tidak cocok, sehingga Leba kecil selalu menangis dan sakit-sakitan. Longa menduga ada sesuatu yang tidak beres dengan anaknya itu. Suatu malam, Longa Rowa bermimpi agar dia mengganti nama anaknya dengan nama Mari. Mari nama jenis pohon yang kulitnya sangat pahit dan kayunya sangat keras.
Berdasarkan mimpi itu, Longa Rowa segera mengganti nama anaknya Leba dengan nama Mari. Penggantian dan perubahan nama dari Leba menjadi Mari dilakukan dalam suatu upacara adat. Sejak saat itu, Leba yang telah menjadi Mari itu tumbuh sehat dan kuat. Watak pemberani mulai nampak dalam hidup keseharian. Meski masih kecil, Longa selalu mengajak anaknya Mari kemanapun dia pergi, termasuk berburu di hutan. Dengan cara seperti ini longa mengajar dan mendidik anaknya Mari untuk selalu bergaul dan bersahabat dengan banyak orang. Sedangkan berburu, sebagai cara mendidik menggunakan senjata tajam seperti pedang (Sau/Sonda) serta busur panah (Wo’o dan Le’e). Longa juga mengajari anaknya beladiri silat serta ilmu-ilmu gaib lainnya.
Jejak Perjuangan Mari Longa
Cerita kehebatan Mari Longa akhirnya tiba di telinga Bhara Nuri. Bhara Nuri adalah seorang mosalaki (tuan adat, penjaga wilayah) di Woloare, Ende. Bhara Nuri kabarnya sudah beberapa kali berperang melawan raja Ende yang ingin mengusai wilayah Woloare. Raja Ende bersekongkol dengan Belanda untuk menangkap Bhara Nuri. Bhara Nuri kemudian ditangkap dan dibuang ke Kupang, namun bisa melarikan diri.
Bhara Nuri kemudian meminta bantuan Mari Longa melalui Mosa Laki Saga. Mari Longa dan anak buahnya pun setuju. Perang melawan raja Ende yang dibantu Serdadu Belanda, akhirnya dimenangkan Bhara Nuri. Serdadu Belanda sangat heran atas kemenangan itu. Mereka menduga ada pihak lain yang ikut membantu Bhara Nuri yang saat itu sudah mengungsi ke Manunggo’o, karena Woloare sudah dikuasai serdadu Belanda. Dalam pertempuran itu, putri Mari Longa, Nduru Mari terkena tembangan serdadu Belanda di perutnya. Namun Nduru masih bisa diselamatkan setelah diobati ayahnya Mari Longa.
Belakangan serdadu Belanda baru tahu kalau Bhara Nuri dibantu Mari Longa. Serdadu Belanda tentu sangat marah. Karena itu serdadu Belanda mencari cara untuk menangkap Mari Longa dan anak buahnya. Serdadu-serdadu Belanda di Ende meminta bantuan serdadu Belanda di Maumere untuk menangkap Mari Longa. Sebab itu Serdadu Belanda ke Maumere mencari Mari Longa dan anak buahnya, menyusuri perkampungan di pantai utara Maumere, mulai dari Magepanda, Kota Baru, Ndondo hingga ke Detuara, Rate Nggoji. Penduduk-penduduk kampung itu disiksa dan dibunuh. Mari Longa yang mendengar itu, marah. Mari Longa dan anak buahnya kemudian menghadang serdadu Belanda di Bhoasia. Pasukan Serdadu Belanda yang tidak mengusai medan Bhoasia, akhirnya dapat dikalahkan Mari Longa dan anak buahnya dengan mudah. Sebagian serdadu Belanda gugur di Bhoasia, sebagian lagi kembali ke Maumere meminta bala bantuan.
Setelah bantuan serdadu dari Kupang dan Jawa tiba di Maumere, para serdadu Belanda itu langsung menuju Ndondo untuk menyerang Mari Longa dan anak buahnya. Mari Longa mencoba melawan, namun kalah dalam persenjataan. Dia kemudian menyuruh anak buahnya bersembunyi di hutan. Sedangkan dirinya sengaja menyerah diri ke Serdadu Belanda. Mari Longa akhirnya dibawa ke Maumere dan dipenjara.
Mari Longa dipenjara hanya beberapa hari. Dia berhasil melarikan diri dan tiba kembali di Watu Nggere. Pembesar Belanda yang mengetahui Mari Longa melarikan diri dari penjara, kembali membentuk tim operasi penangkapan. Mereka mengutus kurir mengahadap Mari Longa. Kurir itu menyampaikan bahwa Belanda ingin berunding dengan Mari Longa. Tetapi Mari Longa menolak keinginan Belanda itu. Mari Longa tahu bahwa hal itu hanya siasat busuk untuk menangkap dan memenjarakan dirinya. Pembesar Belanda di Ende sangat marah mendengar penolakan Mari Longa itu. Serdadu Belanda dikirim ke Watu Nggere untuk menangkap Mari Longa. Namun Mari Longa menyambut pasukan Belanda dengan anak panah. Belasan serdadu Belanda tewas dalam penyerangan itu, dan sebagian kembali ke Ende.
Melawan Politik Licik Belanda
Setelah sukses membantu Bhara Nuri, Mari Longa dan anak buahnya, termasuk putrinya Nduru Mari, kembali ke Watu Nggere. Mari Longa yakin, serdadu Bhelada akan menambah jumlah pasukan lalu menyerang mereka di Watu Nggere. Berbagai cara Belanda untuk membujuk ‘gencatan senjata’ Mari Longa gagal. Akhirnya, dengan berbagai persyaratan, Mari Longa mengiyakannya.
Dalam perjalanan waktu, ternyata Belanda mengingkari perjanjian, yakni tidak menyiksa dan membunuh penduduk pribumi. Hal ini membuat Mari Longa geram. Akhirnya Mari Longa menyusun kekuatan baru. Anak buahnya yang ada di beberapa kampung seperti Detu Soko, Wolo Gai, Pe’I Benga, diminta selalu member informasi ke Watu Nggere, tentang pergerakan serdadu Belanda. Selain itu, di sepanjang jalan sekitar satu kilo meter sebelum masuk kampung Watu Nggere, telah dipasang anak panah otomatis.
Beberapa hari kemudian, puluhan serdadu Belanda dipimpin Controleur Couverear, menggempur Watu Nggere. Belum sampai di kampung Watu Nggere, serdadu Belanda sudah diserang anak panah otomatis buatan Mari Longa dan anak buahnya. Betapa terkejutnya Controleur Couverear. Dia kemudian perintah anak buahnya membalas serangan itu dengan menembak ke arah datangnya senjata otomatis tersebut.
Serdadu Belanda yang menyusuri jalan masuk itu tidak luput dari anak panah otomatis dan jatuh bersimbah darah. Sebagian serdadu yang mengejar Mari Longa dan anak buahnya di hutan justru dihadang senjata rahasia buatan Mari Longa dan anak buahnya. Melihat banyak serdadunya yang tewas, Controleur Couverear menarik pasukannya kembali ke Ende.
Mari Longa kemudian mengatur strategi baru. Dia merasa strategi perang gerilia yang diterapkan selama ini sudah diketahui serdadu Belanda. Mari Longa rupanya tidak ingin keluar masuk hutan. Muncul gagasan untuk membangun sebuah benteng pertahanan, atau dalam bahasa Lio disebut Potu. Karena itu, Mari Longa dan anak buahnya mulai membangun benteng tersebut. Benteng dibangun dalam 7 lapis atau bagian. Bagian pertama atau bagian dalam disusun batu-batu besar. Bagian kedua, diisi tanah. Bagian ketiga ditanami bambu berisi air. Bagian ke empat berisi bongkahan tanah, bagian ke lima ditanami kayu, bagian keenam disusun batu-batu besar dan bagian ke tujuh atau bagian paling luar ditanami bambu yang ujungnya sudah diruncing dan digantung onak dan duri.
Penyerangan terhadap Mari Longa terjadi. Belanda tetap membujuk Maril Longa untuk menyerah. Mari Longa tidak mau. Perkelahian dengan pedang pun terjadi. Naas menimpa Mari Longa. Pedang yang yang ditusuk pada tubuh serdadu Belanda tidak bisa dicabut. Seorang serdadu Belanda memukul tengkuk Mari Longa hingga rubuh bersimbah darah. Mari Longa wafat. Jasadnya disimpan di pohon beringin.
Sumber : Perang Mari Longa 1893 – 1907 oleh Servas Mario Patty