Sedikit menengok balik ke tahun 1998. Saat itu tidak ada yang memprediksi bahwa Indonesia akan menjadi salah satu negara paling menjanjikan di Asia Tenggara. Kita mungkin kubangannya Asia Tenggara. Indonesia hampir menyandang status sebagai negara gagal. Kepulauannya beresiko ambrol, mengalami balkanisasi. Mayoritas penduduk nya dipandang masih udik dan cenderung menolak modernisasi. Coba bandingkan dengan para tetangga kala itu : Singapura yang klimis rapi jali, Malaysia dengan limpahan sumber daya alam, atau bahkan Philippines dengan populasi muda dan bentang alamnya yang eksotis. Saat ini, 16 tahun kemudian, lansekap ekonomi dan politik Asia Tenggara sedang mengalami ‘Andi Lau’ – antara dilema dan galau. Philippines sedang berjibaku dengan Tiongkok dalam masalah sengketa territorial di laut China Selatan. Malaysia tampak sibuk memagari kekuasaan ketimbang reformasi ekonomi. Vietnam kelihatan kebingungan untuk bergerak. Myanmar dan Laos masih sering nongkrong. Thailand sendiri baru saja beberapa jam lalu - untuk kesekian kalinya - dilanda kudeta. Sekarang Indonesia ada di persimpangan jalan. Potensi terbentang untuk menjadi kekuatan ekonomi nomor lima dunia pada 2030. Didukung 141 juta kelas menengah berdaya beli pada tahun 2020. A roaring teenage lion. Pemilu Juli ini benar – benar merupakan pertaruhan. Skenario lain : harus menunggu lebih dari 16 tahun lagi untuk mendapatkan momentum. Ini jelas bukan pilihan. (cited from William Pesek’s article)
KEMBALI KE ARTIKEL