Di sisi lain, kelangkaan sumberdaya, dalam hal ini modal finansial, kesempatan berusaha, serta tentunya akses kepemilikan tanah terus dialami masyarakat kebanyakan, yang mana dirasa tak membaik. Kehidupan banyak dari mereka stagnan, bahkan tertinggal di belakang. Jika kondisi ini terus berjalan sebagaimana adanya, business as usual, dapat ditebak bisa-bisa berujung pada konflik sosial.
Yang pernah dibilang dulu, bahwa hasil – hasil pembangunan akan ‘menetes ke bawah’, ternyata tidak benar – benar terjadi. Gagasan sebelumnya bahwa ‘pertumbuhan ekonomi itu seperti laut pasang yang akan mengangkat semua perahu’, ternyata tak juga kunjung terealisasi. Justru sebaliknya masyarakat secara benderang melihat para penguasa di ranah politik yang terus berbulan madu dengan pemodal besar. Semakin memuluskan jalan bagi penumpukan sumberdaya finansial di tangan segelintir, dalam besaran yang bisa bisa tak terbatas. - Salah satu terawangan Cak Karl Marx yang masih relevan di abad dua puluh satu ini.
Kondisi itu jelas jadi faktor yang dengan keras menggoyahkan stabilitas sosial. Ibarat tumpukan jerami kering yang sedang dijemur, menunggu disulut.
Dengan latar demikianlah kemudian terjadi letupan kekerasan berbau agama di Jogja. Padahal Jogja telah lama dikenal sebagai kota yang kondusif, lebih kalem dibanding kota lain yang pernah mengalami kejadian serupa: Bogor, Depok atau Bekasi misalnya. Di saat menjelang pemilu pula.
Tak banyak alternatif yang mesti dilakukan selain penegakkan hukum tanpa pandang bulu, distribusi public goods yang berkualitas , terutama bagi masyarakat luas: Pendidikan, healthcare, transportasi, energi utk rumah tangga menengah. Ini penting agar mereka merasa diperhatikan oleh penyelenggara negara. Pengembangan kapasitas untuk resolusi konflik juga perlu, terutama di level masyarakat. Tidak jamannya lagi model pemadam kebakaran, menunggu sampai tumpukan jerami itu menyala berkobar di banyak tempat.