Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat

Merayakan Penderitaan, Apa Boleh? Mengungkap Alasan Pemaknaan Minggu-Minggu Sengsara Yesus Kristus (Bagian 3/Terakhir)

27 Maret 2024   21:46 Diperbarui: 27 Maret 2024   21:53 106 0
Dalam bagian pertama dan kedua tulisan ini sudah dikemukakan bahwa penggunaan istilah merayakan penderitaan khusus dalam konteks kematian dan kebangkitan Kristus tidaklah menjadi soal. Hal ini penting dengan melihat kesinambungan antara Jumat Agung dan Paskah. Jumat Agung menguraikan puncak dari penderitaan Kristus dan Paskah adalah puncak dari kemuliaan Kristus. Dua peristiwa ini membawa iman orang percaya pada tingkat kesempurnaan. Kematian Kristus menebus hutang dosa, kebangkitan Kristus membawa kita pada pengakuan bahwa keselamatan itu benar-benar nyata dalam diri Yesus Kristus. Hanya iman yang kemudian mampu menggerakkan kita menerima realitas ini.

Jika dalam masa Pra-Paskah atau penghayatan akan masa sengsara Kristus, kita memadahkan hosiana, maka dalam peristiwa Paskah nyanyian hosiana diganti dengan haleluya. Penjelasan singkat tentang nyanyian hosiana sudah dijelaskan dalam seri kedua tulisan ini. Bagi Ester Pudjiasih (2022 : 75-6), haleluya adalah nyanyian kegembiraan dan sukacita. Nyanyian ini lebih baik diserukan pada waktu Paskah. Untuk itu, ia lantas menjelaskan lebih lanjut tentang nyanyian ini. Baginya :

"Pada hari Minggu sebelum Rabu Abu (ada gereja yang merayakannya sebagai Minggu Transfigurasi), di akhir liturgi, tulisan haleluya (bisa dalam bentuk banner) diarak keluar dari ruang ibadah dan disembunyikan atau di kuburkan. Dalam liturgi Paskah pertama, haleluya diarak kembali masuk ke ruang ibadah---sebuah ritus yang menyatakan kesukacitaan besar atas ke menangan Kristus yang mengalahkan kuasa maut dan menandai dimulainya ciptaan baru. Di banyak gereja Protestan di Indonesia, pada hari Paskah haleluya dinyanyikan setelah pembacaan Injil (atau bacaan Alkitab lainnya) dan setelah berkat. Hosiana berganti dengan haleluya".

Nestapa dosa dan maut sudah berlalu. Manusia kini diundang untuk merayakan karya Kristen yang bangkit. Perayaan ini nyata dalam liturgi gereja. Dalam terang pemahaman ini maka Joas Adiprastetya (2021:97) mengemukakan bahwa melalui liturgi, gereja menampilkan dua gerak, pertama, gerak rahmat dari atas ke bawah. Kedua, gerak iman dari orang percaya kepada Allah (gerak naik). Dengan demikian, Jumat Agung membawa kita pada nyanyian ratapan yang membawa manusia pada kesadaran akan keberdosaannya tetapi melalui Paskah, jaminan iman akan hidup kekal membawa manusia melesat lebih jauh menuju kemuliaan.

Pada akhirnya, nyanyian ratapan dan sukacita ini bisa kita temui dalam KJ. No. 183:1-2. Perhatikan kalimat dalam nyanyian ini :

1. Menjulang nyata atas bukit kala t'rang benderang salibMu, Tuhanku. Dari sinarnya yang menyala-nyala memancarkan kasih agung dan restu. Seluruh umat insan menengadah ke arah cahya kasih yang mesra. Bagai pelaut yang karam merindukan di ufuk timur pagi merekah.

2. SalibMu, Kristus, tanda pengasihan mengangkat hati yang remuk redam, membuat dosa yang terperikan di lubuk cinta Tuhan terbenam. Di dalam Tuhan kami balik lahir, insan bernoda kini berseri; Teruras darah suci yang mengalir di salib pada bukit Kalvari.

Jika dalam bait 1 nyanyian ini menyiratkan tentang harapan manusia akan kasih Allah yang membebaskan maka masuk dalam bait 2, harapan itu benar-benar nyata. Manusia lantas bernyanyi tentang jalan viadolorosa yang mencekam tetapi serentak menyanyikan berita sukacita tentang Salib yang mendamaikan dan memberi hidup dalam kepastian iman. Selamat menyongsong Jumat Agung dan Paskah.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun