Mohon tunggu...
KOMENTAR
Lyfe

Televisi Vs YouTube

3 Oktober 2011   14:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:22 347 0
Akhir-akhir ini banyak acara televisi mengadopsi konten dari social media, utamanya YouTube. Langkah yang sedikit cerdas sekaligus sangat ceroboh.

Semua juga tahu kalau dunia social media begitu menggejala dan powerful. Dunia yang bisa dibilang “semau gue” ini cukup diminati orang-orang. Netizen bisa mengunggah sekaligus melihat posting dari semua penghuni. Nah, tak heran bila konten dari social media lebih variatif dan kaya dibanding media konvensional.

Pengelola stasiun televisi pun melihat peluang ini. Meski bukan pengamat siaran televisi (free to air)—karena tak tiap hari nonton TV—tampaknya ada beberapa stasiun televisi yang kontennya benar-benar mengambil dari YouTube. Nama acaranya saya lupa.

Jelas ini merupakan langkah cerdas. Pengelola acara hanya perlu mencari video-video di YouTube yang memiliki kesamaan tema. Lantas, dibuatkan narasinya. Dus, jadilah sebuah tayangan yang disiarkan ke khalayak luas. Dan, iklan pun mengalir dengan sendirinya. Tanpa perlu mengeluarkan biaya liputan di lapangan—yang konon ongkosnya selangit itu. Cerdas kan?

Ya, cerdas bila dilihat dari keputusan bisnis. Namun, apakah ini bukan langkah ceroboh? Misalnya, kita tidak tahu kadar kebenaran dari sebuah tayangan yang diunggah ke YouTube. Apakah tayangan tersebut benar tanpa rekayasa digital? Atau bila dijadikan sebuah berita, apakah tayangan tersebut memenuhi kadar jurnalistik? Sebab, kabarnya kaidah jurnalistik cukup rigid yang memerlukan verifikasi dan bahkan keakurasian narasumber.

Kita tidak pernah tahu bagaimana cara mengukur kesahihan sebuah tayangan tersebut. Meskipun ada beberapa netizen yang sesuai keahliannya mau memverifikasi sebuah tayangan. Namun, saya tidak yakin sebagian besar pemirsa televisi kita mampu seperti itu.

Tentu saja tayangan seperti itu kurang mencerdaskan pemirsa. Maaf, saya bukan bermaksud bilang tayangan video di social media tidak bisa diverifikasi. Toh apa perlunya verifikasi, kan social media sifatnya “semau gue”.

Namun, ketika tayangan yang “semau gue” itu menjadi konten tayangan televisi apalagi sebuah berita, tentu saja perlu dikaji ulang. Ambil contoh sebuah tayangan pemunculan mahluk halus di suatu daerah. Tayangan itu tidak jadi soal bila hanya tayang di YouTube, misalnya. Tapi, ketika lantas sebuah siaran berita menjadikannya sebagai subjek pemberitaan, apakah ini tidak lucu? Saya kira Kompasianers bisa menilai sendiri.

Menurut saya sih langkah itu cukup ceroboh. Mestinya, pengelola televisi bisa dan mampu mencari, mengemas, dan menyiarkan konten yang original. Tanpa menyadur (courtesy) dari social media. Sebab, bila terus-terusan seperti itu bukan tidak mungkin televisi bakal ditinggalkan pemirsanya.

Terlalu dini memang untuk bilang televisi bakal ditinggalkan pemirsanya. Saat ini posisi televisi dan internet masih berimbang—bahkan unggul televisi. Kita tak mungkin memungkiri bahwa melsatnya Briptu Norman, Sinta-Jojo, Justin Beiber, dan pesohor lainnya lahir dari YouTube.

Namun, bila televisi hanya mengadopsi dari tayangan internet, bukan tidak mungkin pemirsa lebih memilih melihat langsung dari sumbernya. Ini sangat mungkin terjadi ketika penetrasi internet semakin besar di Indonesia. Ketika semua orang di mana pun bisa leluasa mengakses internet. Leluasa maksudnya kecepatan koneksi minimal 3 x dari yang sekarang dan dengan device yang juga mumpuni. Tapi entah kapan masa itu bakal terjadi di Indonesia. Kita lihat nanti. Salam

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun