Leila bermimpi memiliki kamar tidur dengan jendela menghadap ke laut, bukan dinding kain tipis yang sekarang menjadi sekat rumahnya. Dia ingin bersekolah tanpa rasa cemas, belajar sejarah bangsanya yang terukir di tanah di bawah kakinya. Namun, mimpinya selalu terbentur realita pahit.
Pagi itu, Leila membantu ibunya menyiapkan sarapan sederhana, roti dan zaitun hasil jatah pengungsi. Di luar tenda, anak-anak kecil bermain dengan riang, seolah tak terbebani oleh beban berat di pundak orang tua mereka. Kepolosan mereka adalah pengingat bagi Leila untuk tetap kuat, untuk terus berharap.
Sekelompok anak-anak berjalan menuju sebuah pohon besar di ujung kamp. Di bawah pohon rindang itu, seorang guru tua berjubah mengajar mereka membaca dan menulis. Leila diam-diam bergabung, haus akan ilmu yang selama ini tak bisa diraihnya. Pelajaran yang dibagi-bagi itu bagaikan seberkas cahaya di tengah kegelapan.
Suatu hari, pesawat tempur melintas di atas kamp, memekakkan telinga dengan suara gaungnya. Ketakutan yang tak terkatakan membuncai di hati Leila. Ledakan bom menggetarkan bumi, dan jeritan histeris memecah udara.
Setelah debu mereda, terlihat tenda-tenda yang hancur dan para penghuni kamp yang berlarian mencari pertolongan. Di tengah kepanikan itu, Leila melihat ibunya tergeletak tak bergerak. Dunia serasa berhenti berputar.
Air mata mengalir deras di pipi Leila. Namun, di antara isaknya, ada secercah tekad yang kuat. Kehilangan ibunya semakin melecut semangatnya untuk berjuang. Leila berjanji untuk mengejar mimpinya, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk ibunya dan semua rakyat Palestina.