Berawal dari distribusi yang masih belum baik sistemnya, ada baiknya kita, baik para pengamat pendidikan, mahasiswa maupun pengamat politik (sudah menjadi rahasia umum kan, kesalahan seorang pejabat dijadikan senjata politis untuk menjatuhkan pejabat itu), turut mencari solusi bagi permasalahan tersebut. Tidak cukup bagi kita hanya dengan berdemo menuntut kinerja terbaik menteri dan jajarannya untuk menyukseskan UAN. Kita yang sangat peduli dengan pendidikan tidak cukup hanya mengkritisi kinerja mereka tanpa ada saran dan turut memikirkan solusi untuk mereka.
Belum selesai satu masalah, muncul lagi masalah soal bahasa Indonesia SMA yang memuat kampanye politis dari seorang penulis soal yang ngefans pada salah satu nama yang digadang-gadang akan menjadi salah satu bacapres. Entah penulis soal itu hanya sekedar ngefans atau memang simpatisan dari partai pengusung, atau bahkan sudah menjadi tim sukses calon presiden tersebut, yang jelas pandangan politisnya itu tidak semestinya diletakkan pada ranah yang seharusnya netral dari unsur KAMPANYE. Bukankah salah satu tempat yang tidak boleh dilakukan kampanye adalah "sekolah"? Lalu siswa itu mengerjakan UAN di mana kalau tidak di sekolah? Setelah ditelisik Mendikbud dan jajaran, ternyata tidak hanya soal SMA yang memuat, katanya, di soal ujian SMP juga ada, hingga ujian nasional untuk SMP terancam diundur (Jawa Pos). Yang membuat saya sangat heran, apakah tidak ada editor bagi penulisan naskah soal tersebut? Buku yang diterbitkan secara bebas saja, ada editornya, apalagi UAN, harusnya juga ada.
Belum selesai dengan masalah internal penyelenggara UAN, masalah datang lagi dari peserta UAN. Surat terbuka yang ditulis oleh siswa SMA untuk Mendikbud yang terhormat. Meski surat terbuka itu hanya berisi curhatan anak SMA yang pusing seusai mengerjakan soal UAN, tetapi ternyata curhatan tersebut juga menjadi curhatan banyak orang, terutama bagi mereka yang pernah mengalami yang namanya Ujian Nasional. Hingga saat ini ada sekitar 4963 akun facebook yang menyukai catatan Nurmillaty Abadiah yang berisi surat untuk Mendikbud itu. Hingga ini, komentator catatan tersebut bertambah banyak dan banyak lagi. Padahal anak tersebut berteman hanya dengaan 1500an akun facebook. Yang lebih aneh lagi hanya dengan selang beberapa saat surat anak tersebut sudah terblow-up di social media dan di media masa dengan sangat cepat. Dan bahkan pada waktu yang bersamaan sudah muncul banyak artikel yang membahas surat tersebut. Ada apa dibalik surat tersebut? Apakah cepatnya surat tersebut menyebar ada hubungannya dengan orang tuanya yg dosen? Ah, saya rasa tidak. Lalu apa? Entahlah. Semuanya seperti sudah terencana dan terorganisasikan dengan cukup rapi, prosesi antara anak tersebut membuat artikel, yang oleh Mendikbud dianggap sepertinya bukan tulisan anak SMA, saya kadang sependapat dengan MEndikbud, namun mengingat orang tuanya yang dosen, saya yakin bahan bacaan siswa tersebut dan mungkin hasil didikan orang tua cukup mampu membuat anak tersebut kritis dengan alamiah. Belum lagi adanya website yang ber-URL :/www.tolakujiannasional.com yang menurut saya bukanlah web yang murahan ternyata susah payah dibuat untuk kampanye TOLAK UJIAN NASIONAL. Wallahu a'lam. Lalu siapa yang merencanakan? Segolongan orang? banyak orang? Apakah itu hanya kebetulan?
Sejujurnya, saya sebagai pendidik maupun sebagai orang yang pernah terdidik di sekolah negeri, yang notabene pasti kelulusannya ditentukan ujian, saya tidak menafikkan kalau ditanya "setujukah jika UAN ditiadakan?" saya mungkin akan menjawab setuju. Namun sebagai orang yang pernah belajar tentang ilmu kependidikan, sudah tentu saya akan mengatakan tidak setuju. Karena pemerintah memang perlu mengetahui hasil belajar siswa-siswa yang ada di seluruh Nusantara. Apakah ada cara lain selain UAN? Cukupkah dengan nilai rapor? Apakah Mendikbud dan jajarannya harus melihat satu per satu nilai rapor siswa? Rasa pikir tidak. Untuk apa dievaluasi? Tidak perlu ditanyakan lagi, jelas untuk mengetahui seberapa kualitas hasil belajar siswa di Indonesia, Untuk mengetahui seberapa efektif kurikulum, sebagai bahan pertimbangan untuk mencari solusi pengembangn SDM Indonesia, dan masih banyak lagi.
Jadi, Apakah UAN masih perlu?
Tentu saja masih, tapi dengan bentuk dan sistem yang berbeda sesuai dengan kondisi dan kebutuhan. Dengan ketentuan UAN tidak bukan satu-satunya penentu kelulusan siswa tentu masih layak menjadi tolok ukur pendidikan di Indonesia. Dan tentu saja dengan ketentuan juga, mereka ujain dengan dikerjakan sendiri tanpa harus tanya sana sini maupun tergoda dengan kunci jawaban. Jika soal UAN hanya mengukur sampai pada tingkat C2 pada Taksonomi Bloom, semestinya sudah pada tahap C3 atau C4, namun dengan teori yang sudah sesuai dengan tingkat mental dan tingkat kognitif yang sesuai dengan usia mereka.