Salah satunya di bidang olahraga khususnya sepakbola yang saat ini tengah mengemuka. Keberhasilan Indonesia untuk menjadi tuan rumah penyelenggaraan Piala Dunia Sepakbola U-17 yang sebentar lagi digelar harus terganggu oleh berisiknya unsur-unsur politis yang mendompleng atau menungganginya.
Gara-gara jadwal kick off Piala Dunia Sepakbola U-17 bersamaan dengan konser Coldplay, muncul permasalahan yang menyebar kemana-mana. Karena Stadion Utama Gelora Bung Karno Senayan Jakarta sudah dipesan untuk konser Coldplay jauh sebelum penunjukkan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia Sepakbola U-17 tersebut, maka pemerintah/PSSI harus mencari stadion pengganti alternatif. Pasalnya sebagai ibukota negara, tidak mungkin di Jakarta tidak menyelenggarakan rangkaian pertandingan yang akan digelar.
Satu-satunya alternatif stadion sepakbola bagus yang ada di ibukota adalah Jakarta International Stadium (JIS). Ternyata menurut PSSI, JIS ini belum memenuhi standar FIFA. Karena itu, pemerintah atau Presiden Jokowi memutuskan untuk merenovasi JIS agar bisa memenuhi standar yang ditetapkan FIFA.
Namun ternyata masalah yang mengemuka tidak sesederhana itu saja. Penilaian PSSI bahwa JIS tidak memenuhi standar FIFA dan rencana renovasi yang akan dilakukan pemerintah dianggap mengada-ada dan bermuatan politis. Polarisasi politik adalah penyebabnya. Selama ini JIS dianggap sebagai karya masterpiece dari Mantan Gubernur Jakarta, Anies Baswedan. Salah satu mercusuar jejak karya calon presiden dari kalangan oposisi untuk Pilpres 2024 mendatang. JIS telah mendapatkan glorifikasi yang luar biasa di kalangan pendukungnya. Dianggap stadion sepakbola modern terbaik yang ada di Jakarta bahkan Asia. Jadi tak mungkin JIS tidak memenuhi standar FIFA. Bahkan JIS dianggap jauh di atas standar FIFA.
Pemerintah dan PSSI tidak bergeming. Untuk memastikan penilaian, mereka melakukan audit atau pemeriksaan langsung di lapangan JIS. Hasilnya ternyata rumput JIS tidak memenuhi standar FIFA. Pasalnya rumput JIS ditanam di atas karpet sintetis sehingga kurang segar dan natural atau entah bagaimana detail penilaian yang lengkapnya. Yang jelas solusinya rumput JIS akan diganti seluruhnya. Mungkin akan diambilkan dari rumput lapangan golf yang segar dan bisa cepat siap menjelang penyelenggaraan Piala Dunia Sepakbola U-17 yang segera digelar Agustus nanti.
Tentu saja permasalahan rumput ini segera mengemuka. Menegaskan dan melengkapi kekurangan JIS terhadap standar FIFA di luar kekurangan sebelumnya seperti akses masuk yang kurang, ketiadaan tempat parkir yang dianggap membahayakan keselamatan pengunjung dan penonton yang datang. Tragedi Kanjuruhan merupakan fakta nyata yang bisa memperkuat kekhawatiran.Namun karena persaingan politis yang terjadi maka perbedaan penilaian ini tidak menemukan titik temu yang mendamaikan. Semua memakai sudut pandang dan standar penilaiannya masing-masing. Pertentangan ini menjadi semakin berisik ketika buzzer dan influencer politik turut memprovokasi dengan nyinyiran-nyinyiran mereka kasar dan menjengkelkan. Saling olok, saling cela, caci-maki, hujat menghujat dan banyak perseteruan daring lainnya. Padahal acapkali dari situlah benih perselisihan kerap tersemai, menyebar di pojok-pojok tongkrongan, warung-warung kopi, komunitas arisan, dan komunitas-komunitas luring lainnya.
Semoga saja hirup pikuk permasalahan JIS ini tidak mengusik FIFA dan menjadi alasan pembatalan penunjukkan Indonesia sebagai tuan rumah seperti saat penunjukkan Piala Dunia Sepakbola U-20 kemarin. Pasalnya, kehebohan mengenai JIS ini bisa jadi hanyalah pembuka saja. Bisa saja aka muncul kehebohan perdebatan lainnya yang bisa jadi disebabkan oleh masalah politis juga. Untung saja, Tim Sepakbola Israel tidak masuk dalam 24 Tim yang lolos Piala Dunia U-17 kali ini. Kalau saja tim sepakbola Israel lolos, tentunya permasalahan akan kembali rumit dan dilematis.
Mungkin kita boleh berharap, bahwa permasalahan renovasi JIS ini menjadi satu-satunya permasalahan agak serius yang merecoki penyelenggaraan Piala Dunia Sepakbola U-17 sekarang. Tak ada lagi permasalahan di luar bidang olahraga yang merecoki pergelaran tingkat dunia tersebut. Tentu saja kita juga boleh berkhayal Tim Indonesia yang kali ini juga lolos karena menjadi tuan rumah, mampu menciptakan keajaiban dan membuat prestasi di ajang ini.
Marilah kita ambil hikmah positif dari permasalahan rumput yang sempat menjadi ganjalan tersebut. Saya jadi ingat apa yang pernah dituliskan Carl Sagan dalam bukunya yang berjudul "Pale Blue Dot".
"A blade of grass is a commonplace on Earth; it would be a miracle on Mars. Our descendants on Mars will know the value of a patch of green. And if a blade of grass is priceless, what is the value of a human being?" Mumpung kita lagi terusik masalah rumput, setidaknya pantas kita renungkan hal ini. Sejumput rumput boleh jadi merupakan sebuah hal yang lumrah di Bumi ini. Namun, itu akan menjadi sebuah keajaiban di planet Mars. Jika saja manusia masa depan nanti bisa tinggal di planet Mars, maka keturunan kita di Mars akan mengetahui nilai dari sepetak hijau rumput tersebut. Nah jika saja sehelai rumput bisa menjadi tak ternilai harganya di tempat yang tepat, lalu apa nilai seorang manusia? Apa nilai kita di tengah persaingan politis yang saling meyakiti hati sekarang ini? Rumput lapangan golf boleh jadi bisa lebih hijau dari rumput lapangan bola JIS. Lalu tidakkah kita bisa menjadi lebih hijau dan menyejukkan di tengah panasnya tahun politik yang membakar Indonesia sekarang ini? Tabik. Â