Selanjutnya kebutuhan yang semula berawal dari sisi kemanfaatan atau fungsional semata, berkembang menjadi fashion life style masyarakat. Masker tak lagi dipilih berdasarkan fungsinya semata, tetapi juga dari sisi mode, artistik, desain, bahan, teknologi serta brand atau mereknya.
Bahkan merek-merek fashion ternama (branded) pun semisal Gucci, Zara, LV, Adidas, Nike, DG, dan banyak lainnya akhirnya turut berlomba menciptakan dan memproduksi masker yang fashionable sesuai kelas konsumen mereka.
Tentu saja masker-masker branded keluaran merek ternama tersebut memiliki harga yang sesuai kelas masing-masing brand yang ada. Mulai dari masker puluhan ribu, ratusan ribu hingga puluhan juta pun akhirnya tersedia sesuai selera dan kemampuan keuangan dari sasaran konsumen yang dibidiknya.
Lucunya, entah untung atau sial, di Indonesia masyarakat bisa mendapatkan masker-masker branded berlabel merek ternama tersebut dengan mudah dan bebas di pedagang-pedagang kaki lima yang ada di pinggir-pinggir jalan.
Longgarnya pengawasan hak cipta merek (trademark) membuat pemalsuan dan main catut merek ternama mudah dilakukan oleh pengusaha yang selalu haus memanfaatkan kesempatan yang berkembang di masyarakat. Masker-masker bermerek terkenal yang mungkin di luar negeri harus dibeli di toko-toko distributor resmi mereka bisa didapatkan dengan mudah di sudut-sudut jalan Indonesia.
Di Indonesia, gengsi pemakaian masker bermerek ternama, konon bisa dilihat dan tergantung pada siapa yang memakainya. Jika yang memakai artis, orang ternama, atau orang kaya maka masker merek ternama yang mereka pakai selalu dianggap asli walaupun sebenarnya produk kaki lima.
Sebaliknya jika yang memakai itu adalah orang biasa-biasa saja, maka meskipun yang dipakai adalah masker original berharga mahal, tetap saja disangka oleh kebanyakan orang sebagai masker produksi kaki lima.
Masker Rp 22 Juta