Orang Jawa terkenal dengan falsafah hidup “mangan ora mangan waton kumpul” (makan tidak makan asal kumpul). Artinya, lebih baik hidup susah di desa atau di kampung daripada harus berpisah dengan keluarga dan kerabatnya untuk sekedar mencari makan ditempat lain. Itu dulu. Sekarang orang Jawa sudah merantau kemana-mana. Dari Sabang sampai Merauke bisa ditemukan orang Jawa. Merantau untuk mencari makan adalah untuk memenuhi kebutuhan yang paling dasar manusia, yaitu pangan, sandang dan papan. Karena manusia bukan mahluk soliter, tetapi zoon politicon (mahluk sosial), maka manusia juga mempunyai kebutuhan untuk berkumpul dengan orang lain , bersosialisasi dan menjadi bagian dari satu kelompok. Jadi, sebetulnya apa yang hendak dicari manusia dengan bekerja ?
Abraham Maslow dalam papernya “A Theory of Human Motivation” (1943) menjelaskan tentang hierarki 5 kebutuhan manusia. Menurut Maslow manusia bekerja untuk memenuhi kebutuhan :
- phisiologis, kebutuhan akan pangan, sandang, papan, kebutuhan biologis
- keamanan, kebutuhan akan keselamatan phisik maupun psikologis
- sosial, kebutuhan untuk berkumpul, bergaul dengan orang lain dan diterima sebagai anggota kelompok.
- self-esteem, kebutuhan akan pengakuan bahwa peranannya atau kehadirannya diperlukan oleh kelompok
- aktualisasi diri, kebutuhan untuk mengekpresikan serta mengembangkan bakat dan aspirasinya didalam lingkungannya.
Didalam perkembangannya teori motivasi Maslow dikoreksi oleh Calyton Alderfer (1969) dengan ERG Theory. Pertama Alderfer mengemukan bahwa pada dasarnya setiap manusia mempunyai 3 kebutuhan pokok :
- Existence, untuk bisa tetap eksis manusia harus dapat memenuhi kebutuhan phisiologisnya dan keamananya.
- Relatedness, kebutuhan untuk berinterkasi dan bersosialisasi dengan orang lain .
- Growth, kebutuhan untuk mengembangkan dirinya. Pengakuan atau self-esteem dan kesempatan untuk dapat mengaktualisaikan dirinya membuat manusia berkembang.
Sepintas lalu ERG Theory hanya sekedar mengelompokkan 5 kebutuhan menurut Maslow menjadi hanya 3 kebutuhan. Lantas dimana perbedaannya? Menurut Alderfer, berdasarkan bukti empiris ternyata manusia didalam memenuhi kebutuhannya tidak selalu mengikuti urutan hirearkis sesuai piramida Maslow. Untuk masyarakat tertentu kebutuhan sosialnya mungkin lebih menonjol dari kebutuhan phisiologisnya. Orang Jawa termasuk kelompok etnis yang sangat kuat ikatan hubungan kerabatnya. Mereka tidak mudah pindah kerja ke tempat lain, walaupun dengan gaji yang lebih besar, kalaudilingkungan baru tidak banyak orang Jawanya.
Di komplek saya asisten rumah tangga(ART) sebagian besar datang dari Lampung. Bukan orang Lampung asli, tetapi keturunan transmigran asal Jawa. Mereka tidak mudah tergoda untuk pindah ke komplek lain kalau ditempat baru tidak ada komunitas Lampungnya. Walaupun falsafah mangan oran mangan waton kumpul sudah banyak ditinggalkan, namun demikian kebutuhan untuk “kumpul” pada orang Jawa masih kuat. Mereka memang sudah menjadi bangsa perantau, namun kalau bisa tetap ingin mencari tempat yang banyak komunitas Jawanya.
Berbeda dengan orang Padang, Bugis atau Batak, mungkin falsafahnya lain. Mereka bersedia merantau kemana saja, tidak perduli apakah ditempat baru terdapat masyarakat yang satu etnis atau tidak, sepanjang ditempat baru menjanjikan rejeki. Jadi bagi mereka-mereka ini yang lebih tepat ungkapannya adalah : “kumpul ora kumpul waton mangan”. (meninggalkan kerabat atau keluarga tidak apa-apa asal bisa cari makan)
Beberapa tahun yang lalu, tahun 90-an, pernah terjadi konflik antar etnis antar suku Madura dengan suku Dayak di Sampit, Kalimantan Tengah. Isunya masalah kecemburuan sosial. Orang Madura banyak yang berhasil dan menguasai roda perekonomian di Sampit. Ketika terjadi konflik orang Madura merasa keselamatan jiwanya terancam sehingga seluruh orang Madura meninggalkan Sampit pulang ke kampung halaman. Disini kebutuhan akan keamanan sangat menonjol atau merupakan prioritas. Walaupun secara ekonomi (kebutuhan phisiologis) daerah Sampit sangat menjanjikan tetapi mereka lebih memilih meninggalkan Sampit dalam rangka memenuhi kebutuhan keamanannya. Saya kurang tahu situasinya sekarang.
Di Solo terdapat kelompok wayang orang Sriwedari yang setiap malam menggelar pertunjukkan. Para pemainnya digaji sangat rendah (Rp10,000 – Rp20,000 sekali tampil) karena semakin kurangnya minat masayarakat menonton wayang orang. Mereka ini seniman wayang yang tetap rajin dan setia tampil karena dengan bermain wayang orang mereka bisa meng-aktualisasikan dirinya dibidang seni wayang. Menurut Maslow tidak mungkin ada orang mau mengambil pekerjaan dengan upah serendah itu. Karena imbalan materi tersebut tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, banyak yang bekerja sampingan sebagai tukang ojek atau menarik becak. Jadi jangan heran kalau di siang hari penarik becak yang anda tumpangi, dimalam hari dia akan memerankan seorang raja yang gagah dan dihormati.
Banyak orang yang bersedia bekerja tanpa imbalan seperti menjadi pengurus yayasan sosial, organisasi kemasyarakatan , klub-klub olah raga. Dengan berkecimpung dibidang-bidang ini kebutuhan akan self-esteem terpenuhi. Mereka dihargai, terkenal , dileu-elukan masyarakat. Banyak tenaga eksekutif yang tidak mudah tergoda untuk pindah kerja karena tidak yakin apakah di tempat yang baru self estem-nya dan kesempatan untuk mengaktualisasi dirinya terpenuhi, walaupun dijanjikan gaji yang menggiurkan. Teman saya setelah pensiun dari BRI sempat bekerja sebagai direktur utama di salah satu bank swasta. Dia hanya bertahan 6 bulankarena hanya dipasang sebagai pajanghan saja. Wewenangnya sebagai dirut banyak dipangkas, keputusan-keputusan penting banyak diambil alih oleh pemilik bank. Disini walaupun imbalan gajinya besar tetapi kebutuhan self-estem tidak terpenuhi.