Entah itu jadi Aparatur Sipil Negara (ASN), anggota Kepolisian Republik Indonesa (Polri), Tentara Nasional Indonesia (TNI), tenaga kesehatan (nakes), dan sebagainya.
Namun, karena berbagai hal, akhirnya, cita-cita itu batal. Setidaknya, hingga saat ini.
Sebab, sejak lulus sekolah berseragam putih dan abu-abu, saya langsung kerja di perusahaan swasta. Sekalian, menjelajah ke berbagai daerah menyalurkan hobi sebagai petualang.
Setahun.
Dua tahun.
Sewindu.
Dua windu.
Dan...
Hingga, akhirnya impian sebagai abdi negara itu tiba. Tentu, bukan sebagai anggota Polri, TNI, ASN, nakes, dan sejenisnya yang dilakoni dengan berjenjang.
Melainkan jadi anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Yaitu, tenaga lepas yang bekerja untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Pesta demokrasi ini berlangsung seharian. Tepatnya, pada Rabu (14/2).
Btw, Pemilu 2024 ini tidak hanya untuk memilih presiden dan wakil presiden saja. Melainkan juga suara untuk calon legislatif (caleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Suatu kehormatan bagi saya untuk bisa berpartisipasi dalam pesta demokrasi ini. Apalagi, ketika saya dipercaya sebagai Ketua KPPS di Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Eh, tunggu...
Ketua?
Wow...
Mengatur diri sendiri aja masih kesulitan. Apalagi, harus mengurus delapan anggota lainnya?
Btw, setiap TPS terdapat tujuh anggota KPPS dan dua Pengamanan Langsung (Pamsung). Itu belum termasuk Panitia Pengawas (Panwas), saksi, dan sukarelawan.
Untuk saksi di setiap TPS berbeda. Tergantung tim calon presiden (capres), caleg, atau partai yang menunjuknya.
Di tempat saya ada lima. Dua dari capres dan tiga caleg.
Eits... Soal pengalaman ketua, akan saya ceritakan lebih lengkap pada artikel berikutnya dalam trilogi ini.
* Â Â Â * Â Â Â *
JADI anggota KPPS itu tidak hanya sehari. Melainkan, prosesnya cukup panjang.
Contoh, saya yang menyiapkan berkas sejak tiga bulan sebelumnya. Komisi Pemilihan Umum (KPU) membuka pendaftaran pada 11-20 Desember 2023.
Sebelumnya, saya sudah melakukan pemeriksaan di Puskesmas pada 29 November. Yaitu, untuk mendapatkan Surat Keterangan Sehat sebagai syarat jadi anggota KPPS.
Sekilas info, tahun ini KPU mengajukan syarat yang lebih ketat dibanding Pemilu 2019. Misalnya, usia dari 17 hingga maksimal 55 tahun.
Tujuannya, untuk meminimalkan jatuhnya korban seperti lima tahun silam. Maklum, saat itu tercatat 894 petugas yang meninggal dunia dan 5.175 mengalami sakit.
Mayoritas, petugas lanjut usia lansia (lansia). Juga akibat kelelahan saat bekerja.
Tak heran, saya harus kembali ke Puskesmas untuk revisi Surat Keterangan Sehat (14/12). Sebelumnya, dalam catatan itu hanya mencantumkan nadi, nafas, suhu udara, golongan darah, dan hasil rekomendasi dokter.
Dua pekan kemudian, wajib ditambahkan dengan tekanan darah dan kolesterol. Alhamdulillah, hasilnya baik.
Meski, dokter memberi tahu agar sering makan daging, termasuk kambing. Secara, darah saya relatif rendah.
Untungnya, saya bukan tipe darting. Alias, darah tinggi yang suka marah ga jelas. He he he...
* Â Â Â * Â Â Â *
PENGUMUMAN sebagai anggota KPPS berlangsung sehari jelang pergantian tahun. Namun, untuk resminya baru 25 Januari 2024.
Yaitu, saat pelantikan di setiap kelurahan masing-masing. Sah...
Yuppi!
Sah euy, jadi anggota KPPS!
Jadi ingat meme yang berseliweran di media sosial (medsos). Senyum pun lebar tatkala postingan di Facebook, Twitter/X, Instagram, Youtube, Tiktok, dan sebagainya.
Pada saat yang sama, saya pun berharap tragedi korban jiwa pada Pemilu 2019 silam tidak terulang. Aamiin!
* Â Â Â * Â Â Â *
PROSES yang cukup panjang untuk jadi anggota KPPS. Untungnya, profesi sebagai ojek online (ojol), membuat saya lebih luwes dalam memaksimalkan waktu.
Antara nyari nafkah dan rapat terkait koordinasi pemilu. Bisa dipahami mengingat banyak pertemuan atau acara yang berlangsung acak.
Bisa pagi, siang, sore, atau malam. Saya catat, ada 15 kali sebelum Hari-H.
Dengan PPS lima kali. Mulai pra Bimbingan Teknologi (Bimtek), bimtek, pelantikan, anggaran operasional, hingga pemetaan aplikasi Sirekap.
Sementara, dengan Ketua Rukun Warga (RW) dua kali. Yaitu, terkait pembahasan izin pendirian tenda di pinggir jalan, peninjaman kursi, meja, penerangan, dan sebagainya.
Pun demikian bersama seluruh anggota. Saya koordinasikan untuk kumpul bareng hingga empat kali sepanjang Januari-Februari.
Puncaknya, sejak Jumat (9/2) yang merupakan H-5 Pemilu. Saat itu, kami sudah mendapat surat undangan dari KPU untuk diedarkan kepada warga.
Waktunya? Hanya dua hari.
Masalahnya, Sabtu (10/2) bertepatan dengan Tahun Baru Imlek. Jangan lupakan libur panjang sejak Isra Miraj, 8 Februari.
Alhasil, banyak warga yang sejak pagi bepergian. Alias, tidak ada di rumah.
Kami pun mensiasatinya dengan keliling bergiliran sesama anggota untuk distribusi surat undangan pemilu di 3 RT. Bahkan, hingga hampir tengah malam!
Jika warga atau Asisten Rumah Tangga (ART) juga tidak ada, terpaksa kami mengetuk pintu Ketua RT. Ya, mereka ini penyelamat kami yang bersedia dititipkan surat undangannya.
Sebab, Minggu sore (11/2), sisa surat undangan harus segera dikembalikan ke KPU. Pusing dah...
Untungnya (lagi), semua itu berhasil kami lewati. Ya, di TPS saya ini, memang saya tegaskan, bahwa kami supertim, bukan super man.
Alias, semua kerjaan wajib dilaksanakan setiap anggota. Termasuk, saya sebagai ketua, harus jemput bola.
Ya, sebagai abdi negara, tentu kami laksanakan dengan sepenuh hati. Suatu kebanggaan bisa dipercaya untuk berkontribusi dalam pesta demokrasi...