Tak jarang dia juga ikut memunguti kaleng minuman bekas dan botol plastik air mineral yang di jual perkilo. Tapi, dia lebih sering kongko-kongko tidak jelas di depan gang kediamannya yang terdapat di belakang terminal. Rutinitasnya setiap hari? Menggoda perempuan yang lewat dengan suitan identik dari bibirnya. Mulai dari siswi SMU, gadis kantoran, hingga mbak-mbak konveksi dan sablon.
Malam harinya? Seperti biasa, dia tetap nongkrong bersama teman-temannya senasib sepenanggungan yang juga pengangguran yang terdapat di belakang terminal. Kerjaannya, ya kalau tidak main catur, gaplek, bahkan nyimeng!
Hal itulah yang membuat Pak Junaidi, ayahnya kerap naik pitam. Juragan kambing di Tenah Abang itu sudah berulangkali memarahinya, hingga pernah mengusir keluar rumah. Namun, Sugali tetap saja membandel. Dia seperti seorang bocah yang masa bodoh dan tidak perduli pada keluarga bahkan dirinya sendiri. Jika bokek, selalu kembali ke rumah menadah kepada sang Bunda yang tidak tegaan. Atau merayu Engkong Rojali, Kakeknya yang mantan jawara Rawa Denok.
Padahal, selain masih menganggur, kehidupan Sugali tidak kekurangan satu apapun. Dia lulusan perguruan tinggi ternama di negeri ini. Warga sekitar menjulukinya sebagai pemuda teladan yang menjadi contoh kaum remaja karena giat beribadah. Orangnya ramah, supel, baik, ringan tangan, dan berbakti kepada Orangtua. Sugali juga aktif sebagai salah satu pengurus organisasi kepemudaan dari tingkat RT hingga Kecamatan. Tampangnya pun lumayan, hidung mancung dengan mata tajam dan senyum menawan yang membuat gadis-gadis seantero Rawa Denok klepek-klepek dibuatnya.
Tapi, itu dulu. Tepatnya tiga tahun silam sebelum pria bernama asli Muhammad Ali Idrus itu terjerumus dunia abu-abu. Memang, benar kata pepatah, ada asap tentu ada api. Menurut penuturan masyarakat setempat, Sugali berubah drastis sejak gagal mengikuti tes jadi polisi. Penyebabnya sepele, gara-gara gagal memberi pelicin pada salah satu oknum yang nominalnya hampir 50 juta.