Berawal dari awal bulan lalu, saat November hujan dan mendung kelabu selalu menyelimuti semua orang. Aku sudah di cerca sebagai seorang penulis cerpen, puisi dan cermin tak berbobot, yakni sastra instan. Entah siapa orang yang tega mengutarakan perasaannya itu, bak seorang pujangga ternama yang selalu menyimak karya orang dengan kipas di tangan kiri dan biji catur di tangan kanannya.
Toh sastrawan besar pun tiada yang berani menuding hasil karya koleganya, senior atau juniornya. Masihkah ingat saat era 70 sampai 80an lalu, ribut-ribut soal sastra ambigu yang menyeruak? Ah mungkin ia sendiri pun baru lahir, atau ketika pertengahan tahun 95 lalu ada konfrontasi sastra di kalangan para penyair dan penggubah. Ah, lagi-lagi ia pun mungkin masih remaja. Namun, satu setengah dekade kemudian, tudingan yang aku terima darinya sungguh menyakitkan, hasil jerih pikirku bermalam-malam disebut “hanya” sebagai karya instan…