Namun, benar kata pepatah, semakin tinggi pohon, angin yang bertiup pun kian kencang. Itu terjadi pada diriku. Empat tahun berselang sejak kejadian yang memilukan itu. Aku telah sadar dan kembali bersama Lenny. Kini, rumah kami semakin ramai sejak kelahiran adik Putri bernama Rumi yang kini sedang imut-imutnya.
Memiliki rumah yang meski tidak disebut mewah tapi lumayan karena berada di kawasan strategis di pusat kota. Lalu,dihuni oleh istri yang cantik dan putra-putri yang imut dan manis. Keluarga, tetangga, rekan kerja, teman sepermainan, menyebut keluarga kami sangat ideal. Bahkan, oleh beberapa orang tua, rumah tangga kami dijadikan barometer keluarga harmonis.
“Tuh lihat, mas Wisnu dan mbak Lenny. Mereka akur terus ga pernah ribut. Kalian contoh dong seperti mereka,” ujar bu Darwis, ketua RT kepada anak dan menantunya yang sepertinya habis bertengkar. Kebetulan, saat itu aku sedang bertandang ke rumahnya untuk mengurus izin ke kelurahan. Dengan santainya yang menurut orang merupakan perkataan bijak, aku pun turut mengomentari sambil tertawa kecil.
“Ah, ga juga bu Dar. Kami sering berantem kok,” tuturku yang dengan melirik Lenny yang mengangguk sambil tersenyum. “Cuma, ya mungkin ga ketahuan tetangga. Lagipula, kita bisa ambil sisi positifnya dari pertengkaran suami istri. Sebab, setelah ribut yang ada malah timbul kangen.”
Bu Darwis hanya bisa menghela nafas mendengarkan penuturanku. Saat melangkah beberapa meter dari rumahnya, terdengar beliau berbicara kepada anak dan menantunya, “Ibu berharap kalian seperti mas Wis sama mbak Len. Sudah ramah dan sopan, mereka tidak sombong.”