Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

La Badong

25 April 2011   14:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:24 186 0
La Badong masih dikursi reot itu. Mengarah ke luar jendela, dan memfokuskan pandangannya ke lapangan kecil tak jauh dari rumah. Di sana si Amir anak sulungnya sedang bermain bola. Secangkir kopi seko dan sepiring kecil onde-onde menemaninya menikmati sore itu. Sesekali tersungging senyum di bibirnya yang berkeriput. Peci tua itu, sesekali posisinya ia perbaiki. Peci itu sudah sangat tua memang. Warnanya sudah tak jelas. Sudah mulai memudar. Agak sedikit merah kecoklat-coklatan. Terlalu hitam untuk dikatakan coklat. Tapi juga terlalu coklat untuk dikatakan hitam. Ia menyulut api dengan korek kayunya. Menyalakan rokok hasil rakitan sendiri dari tembakau yang dibeli sang istri di pasar sore tadi. Fiiuhh... Srruuuttt. Kopi tinggal seperempat. Setiap sore begitulah aktifitas La Badong. Menonton si Amir, anaknya, bermain bola. Sang istri terus setia menemani La Badong, melayani sang suami, menghabiskan masa tua mereka bersama. Berdua. Sabar menyaksikan La Badong dengan dunianya sendiri. Menghabiskan sore di dekat jendela. Meyaksikan si Amir, yang 15 tahun lalu telah tewas terserang malaria. La Badong masih di kursi reot itu. (*kopi seko; kopi khas Masyarakat Luwu-Sulawesi Selatan)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun