Saya akan bercerita tentang Kontingen Garuda II, dalam pasukan mana, seorang paman saya menjadi salah seorang perwira (sekarang sudah almarhum, sudah RIP di TMP Kalibata). Namun cerita ini saya dapat bukan dari paman saya itu, hanya karena lebih familiar untuk menceritakan sebagian pengalaman prajurit-prajurit kita disana. Kontingen Garuda II bertugas di Afrika di negara yang dulu disebut Konggo (nama sekarang kalau tak salah Zaire) dikirim pada awal tahun 1960 'an.
Singkat cerita, waktu itu belum ada handphone, jadi komunikasi dari para prajurit ke tanah air hampir tak mungkin. Hiburan sewaktu "off" dari tugas juga hampir tak ada. Radio pun masih jarang, apalagi di medan tempur seperti itu. Jadi selama berbulan-bulan para prajurit terpaksa membuat sendiri acara yang bisa menghibur mereka di rantau. Nah datanglah pada suatu malam Minggu, beberapa prajurit dapat "off" atau istilahnya IB yang kepanjangannya saya sendiri kurang paham. Ada dua orang prajurit yang sangat akrab, sudah tak punya rahasia antar mereka, katakanlah sudah merasa masing-masing sebagai "taisen"nya.
Karena sudah lebih dari tiga bulan di rantau yang sepi, mereka setuju cari hiburan yang ada sejak nabi Adam. Berangkatlah mereka ke lokasi yang tidak begitu pasti, hanya dengar-dengar dari celoteh teman. Dan karena mereka tak paham bahasa lokal, juga tak paham bahasa Perancis yang setidaknya jadi bahasa kedua penduduk lokal, bahkan bahasa Inggeris merekapun masih terbata-bata. Jadi untuk mencapai tujuan, mereka lebih banyak mengandalkan bahasa tubuh dan gerak tangan waktu minta arah pada penduduk lokal.
Oleh karena perjalanan yang tiap sebentar bertanya, akhirnya mereka sampai juga ditempat tujuan namun sudah agak tengah malam. Ayam-ayam betina yang berkulit agak mulus atau putih sudah pada digandeng orang lain. Yang tersisa adalah jenis ayam bangkok hitam legam, yang kalau dinegeri sendiri mungkin sulit menarik minat orang. Sudah ukuran fisiknya besar, tambun, hitam mengkilat, .....namun perempuan, ya perempuan. Pikir punya pikir, dari pada self service esok di kamar mandi, mendingan terima apa adanya malam ini. Itulah keputusan mereka. Dengan bahasa tubuh dan jari, terjadilah transaksi dengan harga yang boleh dibilang hampir separoh honor bulanan sang prajurit. Apa boleh buat pikirnya.
Rupanya seorang prajurit yang bernama Badu (samaran) sudah takbisa menahan lama-lama. Sampai di kamar, langsung saja menyerbu. Si perempuan tak diberi kesempatan merayu dulu atau warming up. Dan dengan terengah-engah ia melepas hajatnya. Namun apa lacur, ditengah permainan, si perempuan berbisik: "olok-olok". Â Si Badu terus saja tak perduli, makin lama si perempuan makin keras menyebut :"olok-olok, olok-olok .....". Â Akhirnya si Badu lepas dahaga. Namun si perempuan tetap ngoceh, olok-olok, olok-olok .... Â Â Sewaktu si Badu merasa tak ada yang diperlukannya lagi ia pamit sambil menyodorkan uang sebesar perjanjian semula. Namun aneh, si perempuan tak mau menerima uang itu dan terus ngoceh: "olok-olok, olok-olok...."Â Tak perduli, si Badu menaruh uang ditempat tidur, takut ia dianggap tabrak lari, bisa-bisa dihakimi massa pikirnya.
Besoknya hari Minggu kedua sekawan itu masih "off", dan mencoba berjalan-jalan ke kampung sekitar. Disuatu tanah lapang, ada beberapa anak-anak sedang bermain gundu. Sejenis kelereng yang digulirkan menuju sebuah lubang. Bila gundu masuk, si anak akan mengambil taruhan lawannya. Sampai pada suatu ketika, gundu yang digulirkan salah seorang anak berhenti pas dipinggir lubang. Anak-anak lain bergumam: "olok-olok". Dan si anak dianggap kalah oleh lawannya. Barulah si Badu mengerti, rupanya olok-olok berarti gundunya tak masuk lubang, hanya dipinggir saja, pantas si perempuan menolak dibayar. Hahaha.
(Dari pada pusing bele membela pilihan Capres, kan lumayan toh)