Tindakan dhir ini menjadi salah satu masalah yang cukup kontroversial dalam masyarakat Arab pada masa itu. Seorang suami dapat melakukan tindakan ini sebagai cara untuk menjatuhkan atau menghindari kewajiban terhadap istrinya tanpa melalui proses perceraian yang sah. Jika seorang suami mengucapkan pernyataan seperti itu, maka pada masa pra-Islam, perempuan tersebut akan merasa terhina dan terasing, dan suami tersebut tidak perlu memberikan hak-hak yang seharusnya diterima oleh istri.
         Setelah kedatangan Islam, praktik dhir ini dilarang secara tegas dalam Al-Qur'an, yang diatur dalam Surah Al-Mujadila (58:2-4). Dalam ayat tersebut, Allah memberikan hukum terkait larangan dhir dan menetapkan bahwa hal tersebut bukanlah cara yang sah untuk memutuskan hubungan suami-istri. Sebagai gantinya, hukum Islam memberikan hak kepada wanita untuk meminta pemisahan secara sah melalui perceraian atau proses hukum lainnya yang adil. Bahkan, jika seorang suami melakukan tindakan dhir, ia diwajibkan untuk memberikan fidyah (denda) berupa memberi makan atau memberikan pakaian kepada istrinya.