Dengan gaya santai namun tajam, Guru Gembul memasuki ruangan diskusi. Rabithah Alawiyah, sebagai tuan rumah, menyambutnya dengan ramah. Bukan sekadar perdebatan panas yang mungkin dibayangkan banyak orang, mereka justru memberikan ruang aman bagi Guru Gembul untuk menyampaikan gagasannya tanpa rasa tertekan. Diskusi ini dimulai dengan Guru Gembul menyatakan keraguannya terhadap nasab Ba'alawi, yang menurutnya tidak bisa diterima begitu saja tanpa verifikasi sejarah yang kuat.
Rabithah Alawiyah dengan tenang menjelaskan bahwa nasab bukan hanya soal klaim pribadi, tetapi sebuah warisan sejarah yang dijaga turun-temurun. Mereka menjelaskan bahwa menjaga nasab ini bukan sekadar kebanggaan, tetapi juga tanggung jawab moral dan agama. Namun, bagi Guru Gembul, ini terasa terlalu berat. "Kenapa kita harus terlalu sibuk dengan nasab? Bukankah yang terpenting adalah akhlak dan kontribusi kepada umat?"
Diskusi ini tak berakhir dengan kemenangan di satu sisi. Justru, keduanya mengakui bahwa ada nilai yang lebih besar dari sekadar nasab---yaitu bagaimana seseorang menjalani hidupnya dengan akhlak yang baik dan memberikan manfaat bagi masyarakat. Dan begitulah, perdebatan ini bukan tentang siapa yang benar, tetapi tentang memahami bahwa setiap pandangan punya ruang untuk dipertimbangkan.
Guru Gembul pun pulang dengan senyum kecil di bibirnya. Rabithah Alawiyah? Mereka tetap dengan keyakinannya, namun kini dengan sedikit lebih banyak ruang untuk memahami orang-orang seperti Guru Gembul.