Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Hujan Peluru di Bulan Desember

27 November 2010   07:42 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:15 276 1

 

“Ya. Sudah. Tapi sebelum mereka tidur, Leli mencarimu”.

“Kenapa?”

“Dia bilang. Bapak kok tidak pulang-pulang. Sudah dua minggu lebih,

“Sebaiknya kamu memberitahu pada anak-anak. Seorang istri yang baik itu sudah menjadi bagian dari kewajibanmu. Mereka belum paham dunia bapaknya. Saya sangat sibuk akhir-akhir ini. Harusngurusin proyek di Bali. Kata sahabat bapak yang bekerja di pemerintahan, mereka mau menanamkan kapitalnya di sini.”

“Oh… be..gi..tu,

“Yah… gitu deh,

“Sayang….! Dua bulan lagi bapak dapat proyek besar. Ya.. hitung-hitung bisa membangun separuh negeri ini.”

“Benar apa gosip lagi nih..?”

“Yaiyalah. Masa zaman kemerdekaan bapak masih bohong. Nggak level. Pokoknya susah untuk njelasin!”

“Trus, kapan dananya cair?”

“Kalau masalah itu bapak belum pasti. Ini masih dalam proses negosiasi.”

“Semoga semuanya berjalan dengan baik.”

“Amin…”

“Bapak?”

“Ya… sayang. Ada apa lagi?”

“Minggu lalu, pak dukun dari kampung ke sini mencarimu?”

“Loh..! ya tinggal saja kamu kasih duit habis perkara.”Jawab suaminya dengan santai sambil menikmati rokoknya.

“Ini bukan persoalan duit lagi,

“Trus apa?”

“Ceritanya begini. Pak dukun itu meramalkan masa depan proyek bapak dan keluarga kita. Kata dia, tidak lama lagi kita akan bangkrut total. Sebagai ibu rumah tangga, mana saya tahu persoalan itu. Saya malah mencurigai, jangan-jangan ada pihak ketiga yang mulai iri hati dengan kesuksesanmu.”

“Bisa juga dikatakan begitu. Zaman sekarang, kalau kita tidak pintar melobi dan menunggu berjam-jam di depan ruang lobi sampai lapar memanggil,hidup akan lebih sulit. Orang-orang seperti itu masalahnya sederhana, kebutuhan dasar belum terpenuhi. Seandainya bapak menang tender lagi,bapak berharap semua tidak datang dengan poster dan spanduk. Kalau keluarga kita, bukan persoalan kebutuhan dasar , tapi lebih dari itu. Bapak juga berencana dalam dua tahun lagi membeli hotel sederhana di pulau Bali, bekerja sama dengan pengusaha dari Jakarta.”

“Ha…. Beli hotel?”Jawab istrinya dengan mata melotot.

“Ya. Karena bapak bercita-cita Bali adalah surga buat keluarga kita. Dan soal dukun tadi, Bapak mempunyai kenalan baru. Dukun ini dari pulau Jawa. Kata relasi bisnis bapak, kesuksesannya sudah dipercaya dari kalangan elit bahkan menteri-menteri dari zaman orde baru sampai zaman orde paling baru. Menurut catatan dia, kualitas magisnya tidak perlu diragukan. Dan garansi lagi.

“Bergaransi? Emangnya dia itu seperti barang elektronik”

“Maksudnya, kalau magisnya tidak memberi hasil yang positif, uang dikembalikan tanpa potongan pajak.”

“Oh.. begitu.”

“Bahkan sampai selebritis juga datang. Ada juga yang datang untuk berguru.”

“Oh.. begitu. Berarti dukun internasional?”

“Hehe.. kamu ada-ada aja.” Tawa pun meledak.

“Kita juga harus mengikuti tren zaman, masa cuman musisi Slank, Dewa, Bomerang saja yang datang manggung. Dukun-dukun dari negara tetangga juga harus diundang, tapi tetap dalam permainan cantik.”

“Kok, ada permainan cantik. Maksudnya?”

“Ya… elah..! Maksudnya, bermain dengan profesional.”

“Nama saya bukan Elah. Bapak sebut nama selingkuhanmu ya? Sekarang mentang-mentang sudah menjadi orang penting di negeri ini, jadi nama istri juga lupa. Jangan-jangan lupa kalau saya ini perempuan.”

Tawa meledak menghancurkan malam yang sunyi.

“Marsiana, kamu tahu kenapa aku selalu mencintaimu?”

“Tidak”

“Jiwamu itu humoris. Tidak salahjuga televisi di ruang tamu, nonton sinetron dari Indonesia juga tidak percuma.”

“Hehehe…! Biar kita tinggal di Dili tapi anggaplah di Jakarta. Ngomong-ngomong, kapan kita liburan. Masa pulau Bali cuman dalam mimpi. Sekali-kali ajak keluarga. Saya cemburu dengan kata-kata Anita. Kata dia, pantai Kuta dipenuhi bule-bule berjemur badan. Suatu hari dia memutuskan pergi ke tempat Gym untuk latihan kebugaran agar seksi seperti bule itu. Tahun depan dia akan pergi ke Thailand untuk operasi kecantikan agar payudaranya kelihatan lebih kencang seperti artis Julia Perez. Kalau di sini kita tidak bisa berjemur di pantai kita, kita bisa berjemur bebas di pantai seberang.

Di Bali orangnya cuek, mata mereka sudah terbiasa dengan anatomi tubuh wisatawan. Sementara di sini mengenakan celana pendek saja mata sopir taksi nakalnya luar biasa. Itu sebabnya tempo hari Anita datang ajak saya untuk berlibur di Bali. Persoalan paspor dia urus cuman satu hari. Dia bilang, kalau suami-suami kita pada sibuk dengan karir dan bisnis, istri-istri juga sibuk berlibur. Katanya harus belajar dari tren. Dia sudah pergi ke Singapura sementara Australia dalam rencana. Tiga bulan yang lalu ia pergi ke Bali hanya untuk beli film porno sebab di sini bajakan semua, hasil audio visual kurang bagus.”

“Hehe.. encer juga otak Anita. Tapi kamu jangan terpengaruh dengan tawarannya. Dengar-dengar katanya dia ada selingkuhan dengan pengusaha di Bali asal Portugal. Tapi ini baru sekedar gosip. Kamu harus janji jangan sampai bocor. Ingat itu.”

“Hehe… bapak ketinggalan informasi. Saya lebih tahu dari bapak.”

“Kok bisa?”

“Ya.. namanya juga mulut perempuan, gatal lagi. Hehe..”

“Makanya, bapak tidak ijinkan kamu pergi ke Bali berdua. Dia itu otaknya sudah rusak, materialisme membuat dia kehilangan kontrol. Lebih romantis kan kita berdua.”

“Benar?”

“Itu tahap ke dua. Setelah bulan Desember.”

“Terimakasih Tuhan, doaku terkabul. Saya percaya Tuhan beribu-ribu persen. Doaku terkabul selama dua tahun.”

“Begitu saja percaya pada Tuhan.”

“Bapak sudah jarang sekali ke gereja, padahal mobil ada, motor juga ada.”

“Bapak sekarang percaya pada dukun, bisnis, dan kerja keras. Ideologi kita sudah beda dalam rumah ini. Itu yang namanya demokrasi. Berbeda-beda pemahaman tetapi tetap rukun dalam keharmonisan keluarga. Arti demokrasi yang bapak belajar, walaupun tidak tamat Sarjana. Oya… kita pasti ke Bali pertengahan bulan Desember tahun ini. Bapak sudah beli tiketnya. Natal dan tahun baru kita sekeluarga rayakan di pantai Kuta. Sekali-kali tampil beda dong. Masa tahun baru selalu berhubungan dengan kampung, adat, penduduknya dan kemiskinan. Lagian duit buat apa? Buat bersenang-senang. Kehidupan ini sangat pendek, jadi selagi ada rejeki kita enjoy man, kata anak muda zaman sekarang.”

Malam semakin larut. Istrinya bermalas-malas badan di bahu suaminya. Malam tiba-tiba menjadi romantis hanya milik mereka berdua. Mengingat masa lalu yang suram penuh gejolak segala aturan hukum adat. Rokok belum habis sebatang, asap kereta api Malboro Amerika tidak berhenti. Mungkin tidak bisa lagi sebelum menabrak dinding jantungnya, parunya membuat ia kehilangan nafas dan keseimbangan. Akan tetapi, ia sudah tidak peduli dengan segala aturan kehidupan. Bukankah hidup adalah kesenangan, kenikmatan seperti layaknya orang melakukan seks, minum teh di pagi hari.

“Ngomong-ngomong Helder ke mana? Sudah lama wajahnya tidak kelihatan di rumah ini. Kuliah juga tidak becus, jadi apa nantinya. Masa depan negeri ini ada di tangan generasi muda. Dulu kalau dia setuju rencana bapak kuliah di Surabaya, ambil fakultas ekonomi, masa depan perusahaan di tangannya. Memilih Jogja juga tidak selesai, jadi apa.”

Tiba-tiba suaminya mengganti fokus pembicaraan.

“Ah… bapak sama anak saja.”

“Tidak bisa disamakan. Bapak kan sibuk dengan bisnis, ngurusin proyek, menghadiri rapat dengan menteri. Masa bapak disamakan dengan anak. Walaupun tidak tamat sarjana tapi seperti diplomat. Begini-begini tapi kalau turun dari bandara dijemput dengan kebudayaan Bali”

“Maksud ibu, jarang di rumah”.

“Oh.. begitu”

“Anakmu itu ibu sendiri juga tidak paham. Akhir-akhir ini ia jarang bicara, terkurung dalam kamar. Ibu takut seandainya dia sudah setengah gila, atau depresi, insomnia. Suatu hari ibu mendatangkan dukun dari kampung untuk meramal masa depan dia. Kata pak dukun, ia sendiri juga tidak paham, tidak terbaca dalam mantranya.”

“Tidak menjadi soal, asal dia tidak melakukan keributan di jalan. Tapi, masih makan dan minum kan?”

“Kalau masalah itu dia lebih disiplin”

“Mungkin dia masih ingat Jogja dengan kawan-kawannya. Biarin saja, mereka sudah dewasa mencari jalan kehidupannya sendiri.”

Malam itu terdengar suara tangisan bayi miskin dari tetangga sebelah. Suara-suara itu semakin lama tidak terdengar dengan jelas sebab tembok rumahnya sudah memberi teritori antara dunia realis dan surealis. Rumah itu berdiri megah, rencana kolam renang akan dibuat dengan keramik dari Bali. Desain arsiteknya sama seperti beberapa hotel di Bali dengan desain modern. Kesannya lebih pada kebudayaan Bali dengan modernisme.

Pagi itu empat Desember. Kota Dili masih seperti biasa bergerak dengan segala rutinitasnya. Suamiku buru-buru pergi ke kantor. Katanya ada rapat penting pagi ini. Supir pribadi mengantar anak-anak ke sekolah. Saya tinggal di rumah dengan pembantu. Pagi itu saya memutuskan tidak pergi belanja, duduk di ruang tamu menonton sinetron Indonesia. Kadang-kadang melihat hp ku, siapa tahu ada sms yang masuk dari tetangga sebelah ngajak bicara kesuksesan suami atau membahas gosip yang lagi panas di media.

Kunyalakan televisi pesanan dari Surabaya beberapa bulan yang lalu. Menikmati kesendirianku dengan teh dicampur susu segar seperti sarapan pagi orang barat. Semua kesuksesan dalam kehidupan kami atas kerja keras suamiku. Saya sebagai ratu dalam rumah ini, walaupun tidak tamat SMA sebab mengandung anak pertama suamiku pada zaman Indonesia. Itu masa lalu. Buktinya, apa lagi yang masih kurang. Bahkan kecantikanku juga tidak kalah menarik dengan artis-artis Indonesia. Kecantikan itu kan dilihat dari penampilan, lihat saja Madonna, wanita modern. Dan setiap perempuan adalah Madonna.

Tiba-tiba sms masuk tanpa nama. Dengan pesan: ganti stasiunmu.

Saya ikut saja pesan itu, seolah-olah memberitahu bahwa ada lagi yang tercatat dalam sejarah. Saya pencet remote control, suara-suara protes keras terdengar di jalan-jalan. Kota Dili di sambut kobaran api, langit berubah menjadi hitam, warna aspal berubah menjadi merah darah manusia. Dari laporan lain, ribuan penduduk terpaksa meninggalkan rumah mereka. Dili yang tenang berubah menjadi kota hantu. Anak-anak muda saling mengejar, membunuh. Nyawa manusia tidak ada harganya. Polisi, tentara, dan masyarakat sipil dipersenjatai untuk saling membunuh. Tidak jelas siapa yang menjadi musuh dan perang ini untuk siapa. Setiap orang dalam amarah, ketakutan. Senjata memuntahkan pelurunya mencari sasaran seperti hujan di bulan Desember. Setiap wilayah sudah diblokir anak muda dengan senjata tradisional. Wartawan lokal tiarap. Dari siaran radio independen kantor stasiun televisi nasional mulai dibakar. Pasukan internasional juga tidak berkutik, kehadiran mereka hanya simbol yang tidak ada artinya.

Saya panik dalam ketakutan, menelepon supir pribadi tetang keadaan anak-anak. Menurut laporan sopir pribadi, mereka sedang mengungsi di asrama susteran Balide. Hati menjadi tenang. Suara hp saya berdering lagi dengan nama suamiku Abilio. Tapi suara itu putus-putus dan tidak jelas. Saya menjadi ragu terhadap nasib suamiku. Mencoba menelepon Helder tapi hpnya tidak diaktifkan.

Dari laporan jurnalis, pesan dari bapak presiden: “Masyarakat tetap tenang dalam rumahnya masing-masing. Keamanan ada di tangan saya, sebentar lagi pasukan dari Australia akan datang menetralkan situasi dan konflik. Sekali lagi masyarakat khususnya di kota Dili jangan panik.”

Sementara pusat pembelanjaan favoritku Hello Mister dirampas dan dimakan si jago merah. Kantor parlamen dirampas dan dibakar, mobil-mobil UN tamat sudah riwayatnya. Suara teriakan di jalan semaking jelas: revolusi sampai mati, anti kapitalis, anti imperialis. Spanduk-spanduk tertulis: boikot produk asing dengan huruf kapital. Adili koruptor negeri ini. Hidup rakyat Maubere. Wajah para demonstran tertutup dengan masker seperti gerilyawan Zapatista dari Meksiko. Poster-poster kamrad Nino Konis Santana dan Nikolau Lobato menjadi komandan barisan depan para demonstran. Rapatkan barisan, kaum buruh bersatu melawan hegemoni kapitalis. Hidup kamrad Nino Konis Santana, Hidup Nikolau Lobatu. Dalam orasi salah seorang demonstran.

Kameramen mulai mengganti fokus. Wajah orator demonstran di close up sepertinya dialah komandan para demonstran. Saya tidak kenal wajahnya dengan jelas, bahkan suaranya sekalipun. Anak siapa itu berani sekali melawan, pengikutnya mendengarkan suara dia, bukan presiden.Membakar kota ini kembali menjadi abu. Tiba-tiba sebutir peluru datang tidak tahu dari arah mana mengakhiri nyawa anak muda itu. Semua demonstran panik berlari mencari keselamatan masing-masing. Hanya beberapa teman datang menolongnya, kamera masih fokus ke arah wajahnya yang mulai dingin dengan kematian. Darah terus berceceran seperti anak sungai, membuka maskernya yang beberapa menit lalu tertutup. Ia sempat mengeluarkan ucapan: maafkan anakmu Ibu, anakmu sudah mencari jalannya sendiri.

Saya teriak dalam histeris, menangis dengan suara keras. Anakku sudah mati, anakku sudah mati. Bajingan mana yang begitu tega membunuh anakku, biadab, anjing. Apa kesalahan anakku. Saya sudah mulai gila, kurobek-robek pakaianku yang mewah. Saya melihat kematian anakku secara live di telivisi. Pembantuku datang mencoba menetralkan amarah, emosi, tetap tidak bisa. Saya hanya dalam teriakan memanggil-manggil nama anakku selama beberapa jam saya terjatuh dan pingsan.

Setelah dikebumikan dengan tradisi ketimuran, kawan-kawan demonstrannya datang dengan wajah ditutup masker. Mereka semua berpakaian hitam. Seorang perempuan muda tanpa masker membaca beberapa kalimat dalam teks tertulis: kematianmu adalah tuntutan kami, kematianmu bukan berarti matinya revolusi. Selamat jalan pahlawanku, kami akan terus memperjuangkan idealisme yang kamu ajarkan. Hidup rakyat, hidup revolusi.

Dua bulan kemudian saya masih trauma dengan kejadian itu. Sebuah kematian yang tidak wajar tentunya berat bagi hati seorang ibu, keluarga dan tentu kawan-kawan seperjuangannya. Saya mulai menjadi insomnia, terkurung sendiri dalam kamarku. Mendengar suara televisi saya belum bisa. Saya memilih anti televisi. Seperti teriak anakku: anti kapitalis, imperialis, walaupun saya tidak paham banyak, soalnya saya bukan anak sekolahan. Kenapa semua berlalu dengan sangat cepat. Siapa yang bertanggung jawab atas semua kejadian ini. Apakah negara, lembaga-lembaga lain. Sampai detik ini belum ada jawaban yang pasti. Tidak ada yang mampu mencatatnya bahkan wartawan sekalipun, apalagi mahasiswa.

Sementara saya tidak tahu keberadaan suamiku. Dari kabar burung yang saya dengar ia keluar dari bandara bersama orang asing pergi ke Bali waktu situasi lagi panas. Sampai hari ini tidak ada kabar dari dia. Kematian anaknya pun tidak hadir. Suami yang tidak memiliki hati nurani dan tidak bertanggungjawab terhadap keluarganya. Akhirnya saya juga tahu permainannya yang sangat cantik. Ia telah menikah dengan artis Indonesia dan mengganti kewarganegaraannya. Pada mulanya sedih, sempat jatuh pingsan, marah, dendam tapi pada siapa. Aku harus mampu menghadapi tantangan ini apapun resikonya dengan dua putriku, benih dari suami yang tidak memiliki prinsip.

Sebelum kematiannya, anakku sendiri mengunci pintu kamarnya. Saya melarang siapapun masuk ke dalam kamar anakku, bahkan wartawan sekalipun yang ingin mengambil biografi almarhum. Sebagai seorang ibu saya mulai hadir di kamarnya. Saya terbawa memori dulu selalu memanggil nama kecilnya Latu latu. Tapi tidak ada suara dari dalam. Semua menjadi bisu dalam waktu yang lama. Saya menangis sebelum pintu kubuka dengan kekerasan.

Di atas meja belajarnya banyak buku-buku tertumpuk dengan rapi. Buku lebih banyak dari pakaiaannya. Poster-poster artis Indonesia ia copot yang tertinggal hanya Dian Sastro Wardoyo. Beberapa kertas folio cetak, kumpulan artikel, puisi, dan cerpen. Novel dan buku ilmiah gudangnya ada di sini. Sepulang dari Jogja saya bahkan tidak tahu di sini banyak buku. Di samping kiri tempat tidurnya ada novel Bumi Manusia, majalah BASIS. Beberapa film-film dokumenter. Ini membuktikan bahwa sebelum ia tidur ia selalu membaca. Sebuah laptop di atas mejanya tanpa pasword. Ada tulisan di pintu lemari: kata lebih tajam dari pelurh. Tapi pelurh telah mengakhiri hidupnya.

Kini dia sudah tiada, hanya meninggalkan pertanyaan yang belum terjawab. Siapa yang akan melanjutkan tulisannya tentang negeri ini. Ibunya, adik-adiknya. Saya jadi ingat, setiap perempuan adalah Madonna. Berarti setiap orang adalah penulis dengan kreatifitasnya sendiri. Saya baru sadar bahwa anakku adalah penulis, penulis yang dibunuh sebuah rezim. Kami meninggalkan rumah yang mewah itu pergi ke kampung halaman sebab pemerintah telah menganti sistem menyita harta suamiku termasuk mobil, rumah sekalian isinya. Saya bicara pada menteri hukum dan keadilan. Ambilah isi dalam rumah ini untuk kepentingan negara dan masyarakat, akan tetapi ijinkan saya membawa buku-buku anakku pergi ke kampung.

Kini aku hidup di kampung dengan orangtuaku. Membantu mereka pergi ke ladang. Membuka usaha jualan, mengajar anak-anak yang putus sekolah, membuat perpustakaan kecil. Anak-anak muda di kampung mulai rajin datang, membaca buku, majalah dan diskusi tentang buku yang telah dibaca. Mereka juga mulai menulis kisah mereka dalam keluarga dengan pena.

Dua puluh tahun kemudian saya pergi ke Dili melihat rumah mewah yang pernah ada dalam hidupku. Seluruh bangunan masih utuh hanya corak warna putih diganti menjadi kuning keemasan. Saya berjalan-jalan kecil di sekitarnya dengan maksud baik melihat lingkungannya. Penghuninya orang Eropa dengan istri pribumi. Saya tahu kehidupan mereka dari film dokumenter televisi nasional tentang kesuksesan mereka di dunia bisnis. Dua wajah pribumi dengan senjata lengkap berdiri di depan pintu masuk dengan wajah tidak ramah lingkungan. Bertanya soal masyarakat yang pernah tinggal dekat rumah itu, tidak ada yang tahu keberadaan mereka. Kini, lingkungan itu telah diganti nama menjadi daerah elit. Saya mulai sadar bahwa tempatku bukan di sini.

28 september 2009

By Robin Dos Santos Soares

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun