Bermula pada sebuah pertanyaan yang sering singgah dibenak pikiran seorang hamba yang tiada daya dan upaya mengenai hakikat kehidupan manusia sebagai mahluk sosial. Interaksi sosial sering menegaskan bahwa simbiosis mutualisme adalah sebuah keharusan yang dilewati manusia. Namun ketika yang kembali adalah sebuah keadaan yang tidak menguntungkan bagi kita atau kekalahan apakah kemudian kita akan mengutuk sunatulloh tersebut ?
Keberuntungan yang tidak selalu memihak pada diri kita bukan alasan untuk kemudian kita murka atas takdir ilahi. Tidak berpihaknya hal tersebut kemungkinan adalah keterbatasan kita sebagai mahluk sosial atau mungkin takdir kita?
Kemampuan yang terbatas dalam menganalisis kemungkinan-kemungkinan yang terjadi terkadang menghambat seseorang untuk melakukan sebuah perubahan besar yang akan terjadi dalam kehidupannya. Ditambah kerikil-kerikil tajam yang menghalangi kontestasi manusia menuju perubahan besar dalam hidupnya seakan menegaskan bahwa manusia adalah mahluk yang lemah. Kejumudan lah yang terjadi ketika kita tak menghindari kelemahan dan ancaman didepan kita.
Apakah kita lupa sebagai manusia yang dilahirkan didunia melalui proses panjang mengalahkan jutaan ovum yang pada akhirnya kita lah yang ditakdirkan sebagai pemenang dari perjuangan memperebutkan singgasana yang bermuara pada rahim seorang wanita. Seharusnya kerikil dan hambatan tidak menjadikan kita lemah dan mengalami kejumudan, justru dengan menyandang gelar pemenenang dari sebuah perjuangan panjang ditambah akal dan pikiran membuat kita superior dan kuat menghadapi kehidupan yang penuh dengan problematika akibat dari interaksi sosial.
Meskipun pada akhirnya kembali keberuntungan lagi-lagi tak memihak, dan alam ego menertawai mu dengan lantangnya justru disitulah letak nikmatnya hidup manusia. Mengalami kekalahan namun bangkit kembali mencoba dan terus mencoba sampai hari kemenangan itu tiba.