Tulisan ini tentu tidak diangkat begitu saja, sebagaimana fakta yang terjadi pada era sebelumnya. Pada saat menjelang Pilkada DKI Jakarta pada tahun 2017, yang mana terpilihnya Anies-Sandi sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur. Perhelatan yang berlangsung ketika itu, kelompok Islam yang menginginkan jagoannya terpilih seperti sudah direncakan sejak awal.
Kelompok yang menginginkan Ahok-Djarot pun harus menelan pil pahit untuk menerima jagoannya tidak berhasil menuju kursi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta. Hal ini tentunya, tidak terjadi begitu saja. Perdebatan di media mainstrem dan saling hasut mengahasut dengan jargon politik identitas bagai lagu yang terus dinyanyikan agar warganya ikut menyahut dan mendengungkan setiap lirikan yang datang.
Hal di atas disebabkan karena identitas tertentu, terutama kelompok yang berasaskan agama di pakai untuk dijadikan sebagai alat untuk menggerakkan guna memenangkan orang tertentu. Politik identitas tentunya, di pakai lantaran karena jauh lebih mudah untuk mengaduk-aduk emosi publik.
DKI Jakarta, sebagai sebuah provinsi dengan parameter berlangsung demokrasi yang beradab pada saat pilkada, tentu bisa dijadikan sebagai contoh tolok ukur demokrasi yang diharapkan dan dicita-citakan bersama.
Namun hal tersebut ternyata, jauh dari apa yang diharapkan masyarakat Indonesia pada umumnya. Masyarakat justru terpengaruh untuk ikut terlibat aktif memberikan komentar yang mengarah pada politik identitas, lelih khusus komentar di media mainstrem.
Efek dari Pilkada DKI Jakarta inilah yang justru mempolariasi di berbagai daerah dan Kota di Indonesia. Tidak ada yang berani membendung dengan secara tegas mengatakan bahwa, tidaklah baik jika Politik Identitas yang diterapkan di DKI justru membawa malapetaka akan rendahnya keadaban dan pemahaman kita terhadap sebuah demokrasi yang kita cita-citakan bersama.
Meskipun ada yang mencoba membendung, tetapi hanya sekedar narasi dari kelompok minor yang tidak memberikan efek apa-apa terhadap kelompok mayoritas. Lantaran karena sedikit saja kelompok yang rasional membaca, mengamati dan memberikan pemahaman yang cerdas akan politik yang sesungguhnya diterapkan.
Malah kebencian jauh lebih menguat, mempengaruhi emoasi massa yang ada di berbagai daerah. Kesadaran jusru makin melempem dan hanya sekedar menunduk dengan berbagai pengaruh yang datang.
Akibat dari menguatnya politik identitas yang menguat di Pilkada DKI Jakarta pada 2017 yang lalu, justru berefek pada Pemilu yang terjadi pada 2019 yang lalu, pada saat pertarungan Pilpres, Jokpwi- Ma'ruf Vs Prabowo Sandi.
Tidak hanya membawa agama saja, bahkan luka lama sejarah terus dibawa-bawa ke dalam arena politik. Padahal mereka yang bertarung adalah putra terbaik yang dimiliki bangsa ini. Kenapa kita mesti membawa-bawa sejarah, yang padahal sejarah itu hanya untuk menjadi kenangan dan pelajaran untuk kita berbangsa.
Kelompok Fanatisme
Kelompok yang menggunakan politik identitas juga dapat terlihat nyata pada beragam orang yang membentuk dirinya pada sebuah komunitas tertentu baik mereka yang menggunakan agama, suku dan etnis tertentu. Kerap kali kelompok ini tidak menujukkan diri mereka secara terang-terangan di ruang publik.
Gerakan bawah tanah adalah aktifitas yang biasa di lakukan oleh mereka yang mengganggap diri sebagai kelompok fanatik. Kelompok ini lahir atas dasar sikap loyalitas dan juga dapat membawa kepentingan kelompoknya jika terpilih dalam sebuah kontestasi.
Politik identitas memang tidak bisa disalahkan dalam setiap kali ada kontesasi. Tetapi, tidak bisa disangkal bahwa, mereka bisa dikatakan sebagai sebuah komoditas yang mempunyai kepentingan tertentu agar mendapat keadilan yang setara dengan kelompok lainnya.
Namun, yang tidak bisa diterima dalam menggunakan politik identitas adalah ketika sebagaian orang yang menganggap diri sebagai mayoritas adalah kelompok yang paling benar atau yang paling kuat dalam sebuah negara. Bahkan kerap mengucapkan kalimat menyudutkan kelompok lain di luar mereka.