Survei itu juga mengungkapkan persentase pemilih Sumbar, yang dibagi berdasarkan pemilih rasional, sosiologis, dan psikologis. Sebanyak 63,7 persen pemilih rasional memilih berdasarkan kinerja dan pengalaman calon, visi-misi dan program yang ditawarkan oleh calon, kompetensi yang dimiliki calon. Sebanyak 14,3 persen pemilih sosiologis memilih berdasarkan agama yang dianut calon, asal daerah calon, etnis calon. Sebanyak 16,3 persen pemilih psikologis memilih berdasarkan karakter kepemimpinan (jujur, santun, tegas, merakyat, dll) dan berpenampilan fisik menarik, dan usia calon.
Ada beberapa hal yang mencurigakan dari hasil survei itu. Pertama, popularitas Vasko lebih tinggi daripada Epyardi dan Ekos. Artinya, Vasko lebih dikenal oleh masyarakat Sumbar daripada Epyardi dan Ekos. Padahal, Vasko merupakan orang baru di Sumbar. Dia baru muncul di Sumbar menjelang Pileg 2024 sebagai caleg DPR dari dapil 1 Sumbar. Dia tidak lahir dan besar di Sumbar, juga tidak berkiprah di Sumbar. Dia lahir, besar, dan berkiprah di Jakarta. Orang tuanya saja yang dari Sumbar. Karena tidak cukup dikenal di Sumbar, dia tidak mendapatkan cukup suara untuk duduk di kursi DPR.
Sementara itu, Epyardi merupakan orang yang cukup dikenal di Sumbar. Dia menjadi anggota DPR dari Sumbar selama tiga periode (2004-2018) dan menjadi Bupati Solok (2021-2024). Dia juga lahir dan besar di Sumbar. Istrinya juga orang Sumbar, yang lahir dan besar di Sumbar, yang kini menjadi calon Bupati Solok. Anaknya, Athari Gauthi Ardi, menjadi anggota DPR dua periode (2019-2029). Â
Adapun Ekos merupakan Wakil Wali Kota Padang periode 2023-2024. Dia pernah menjadi caleg DPR dari dapil 2 Sumbar (2009) dan pernah menjadi calon Bupati Limapuluh Kota (2010). Dia lahir dan besar di Sumbar. Dia bersentuhan dengan lima daerah di Sumbar, yaitu Tanah Datar (tempat lahir dan kampung halaman ayahnya, Payakumbuh (tempatnya bersekolah dari SD hingga SMA), Limapuluh Kota (tempat ayahnya menjadi camat dan Sekretaris DPRD), Agam (tepatnya di Balai Gurah, Ampek Angkek, kampung halaman ibunya), dan Padang (tempatnya menjadi wakil wali kota selama setahun).
Karena itu, tidak mungkin Vasko lebih dikenal oleh masyarakat Sumbar daripada Epyardi dan Ekos. Maka, hasil survei Voxpol tentang tingginya popularitas Vasko daripada Epyardi dan Ekos patut diragukan.
Karena itu pula, tingginya elektabilitas Vasko daripada Ekos diragukan. Pada survei dengan pertanyaan terbuka (top of mind), elektabilitas Vasko 56,1 persen, sedangkan elektabilitas Ekos 12,9 persen.
Pertanyaan yang muncul dari hasil survei itu ialah apa faktor penyebab tingginya popularitas Vasko daripada Epyardi dan Ekos, dan tingginya elektabilitas Vasko daripada Ekos. Dalam perilisan hasil survei preferensi pemilih Sumbar oleh Voxpol itu tidak dijelaskan faktor penyebab tersebut.
Kemudian, berdasarkan hasil survei itu, ada 63,7 persen pemilih rasional di Sumbar yang memilih Mahyeldi-Vasko dan Epyardi Ekos. Tingginya elektabilitas Mahyeldi-Vasko dibandingkan dengan Epyardi-Ekos dengan latar belakang besarnya jumlah pemilih rasional di Sumbar patut diragukan. Kenapa? Pemilih rasional memilih berdasarkan kinerja dan pengalaman calon, visi misi calon, dan kompetensi calon. Kinerja Vasko jelas tidak ada di Sumbar karena dia tidak pernah menduduki jabatan apa pun di Sumbar. Sementara itu, kinerja Mahyeldi sebagai gubernur selama hampir empat tahun tidak terlihat. Selama ia jadi gubernur, banyak proyek mangkrak, seperti pembangunan gedung kebudayaan Sumbar, pembangunan stadion utama Sumbar di Lubuk Alung, pembangunan jalan Pantai Padang menuju Bandara Internasional Minangkabau, dan pembangunan jalur dua Pantai Padang yang tersisa 1 kilometer satu jalur. Lalu, pembangunan jalan tol Padang-Sicincin belum selesai, padahal dikerjakan sejak gubernur sebelumnya, yang juga kader PKS. Dengan belum beroperasinya jalan tol tersebut, Sumbar menjadi satu-satunya provinsi di Sumatera yang jalan tolnya belum beroperasi. Selain itu, banyak jalan provinsi yang rusak di Sumbar, yang belum diperbaiki. Alasan Mahyeldi, dana APBD Sumbar tidak cukup untuk memperbaikinya.
Beberapa contoh kinerja buruk Mahyeldi di bidang infrastruktur fisik tersebut menunjukkan bahwa Mahyeldi tidak kompeten bekerja sebagai gubernur. Mengapa orang yang berkinerja buruk bisa tinggi elektabilitasnya di tengah besarnya jumlah pemilih rasional di Sumbar?
Soal kompetensi, Mahyeldi hanya tokoh di level Sumbar. Kalau memang Mahyeldi punya kompetensi, harusnya dia tidak mengeluhkan tidak cukupnya dana APBD Sumbar untuk memperbaiki jalan provinsi yang rusak. Pembangunan infrastruktur memang tidak akan cukup jika menggunakan dana APBD Sumbar. Karena itu, dibutuhkan kepiawaian gubernur untuk mencari dana APBN melalui instansi terkait di pusat, misalnya dana alokasi khusus. Untuk mendapatkan dana tersebut dibutuhkan pergaulan dan hubungan baik dengan para pejabat di pusat dan kepandaian melobi untuk meyakinkan pejabat yang berwenang untuk mengalokasikan dana tersebut. Sementara itu, Epyardi tokoh level nasional. Dia pernah jadi Ketua Badan Anggaran di DPR. Artinya, dia ikut dalam pembahasan anggaran negara ini. Kompetensinya di bidang penyusunan anggaran tak perlu diragukan lagi. Jadi, dia tidak bisa ditipu oleh anak buahnya atau pihak-pihak terkait tentang anggaran. Dia juga punya pergaulan yang luas dengan pejabat-pejabat di pusat. Karena itu, bukan hal yang mengherankan pada 2024, Kabupaten Solok mendapatkan dana alokasi khusus untuk pembangunan fisik terbesar di Sumbar, yaitu Rp107.593 miliar. Kalau perolehan dana alokasi khusus itu tidak memerlukan kepiawaian kepala daerah, tentu semua daerah di Sumbar akan mendapatkan dana alokasi khusus yang sama jumlahnya. Kenyataannya, Kabupaten Solok mendapatkan dana alokasi khusus fisik terbesar pada 2024, tentu saja karena kepandaian Epyardi melobi di pusat dan adanya hubungan emosionalnya dengan pejabat terkait.
Lagi pula, hasil survei Voxpol bukan tolok ukur mutlak preferensi pemilih calon kepala daerah karena hasil survei satu lembaga survei berbeda dengan lembaga lainnya. Sebagai contoh, hasil survei Voxpol berbeda dengan Indikator Politik. Di Pilgub NTT 2024, berdasarkan hasil survei Indikator, elektabilitas Ansy Lema-Jane Natalia Suryanto 36,6 persen, Melki Laka Lena-Johni Asadoma 27,4 persen, dan Simon Petrus-Adrianus Garu 23,9 persen. Sementara itu, menurut hasil survei Voxpol, Ansy Lema-Jane Natalia Suryanto 34,8 persen, Melki Laka Lena-Johni Asadoma 37,6 persen, dan Simon Petrus-Adrianus Garu 19,8 persen.