Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Kebebasan Pers dan Pengusiran Jokowi

16 April 2014   14:44 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:37 333 1
Berdasarkan teori pemisahan kekuasaan oleh Charles-Louis de Secondat, Baron de La Brède et de Montesquieu atau yang dikenal sebagai Montesquieu maka kekuasaan negara dibagi tiga yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif. Teori ini dikenal sebagai trias politica. Kelak kalangan jurnalis akan menciptakan bahwa pers adalah lembaga negara keempat atau the forth estate yang bertugas mengawasi pelaksanaan kekuasaan negara oleh tiga lembaga negara pertama. Belakangan ini dikenal juga istilah the fifth estate atau lembaga negara kelima adalah lembaga pembuka rahasia seperti wikileaks, tapi kita tidak akan membahas hal ini.
Keberadaan pers sebagai lembaga negara keempat diperkuat dengan sebuah pers yang bebas dari kekuasaan negara dan mengatur dirinya sendiri atau yang dikenal sebagai kebebasan pers atau freedom of press, dan ini adalah syarat utama sebuah lembaga demokrasi. Tentu saja seperti semua hal yang diciptakan barat, kebebasan pers juga adalah sebuah ilusi, sebuah halusinasi dan sebuah khayalan, sebab semua pers di dunia pasti dikendalikan oleh konglomerasi besar dengan agenda politik masing-masing, yaitu grup Fairfax, Rupert Murdoch dan konglomerat lain.
Di Indonesia tentu saja juga tidak ada pengecualian, semua media massa dikendalikan oleh konglomerasi, baik itu grup MNC, CSIS, grup Tempo, grup Media Indonesia dan lain sebagainya. Namun kita tidak akan membahas terlalu jauh mengenai gurita dalam dunia pers.
Sebagaimana sudah pernah saya sampaikan dalam sebuah artikel, maka standar pers ala barat yang diadopsi Indonesia memang sangat rendah, yaitu:
1. Ada narasumber sekalipun namanya dirahasiakan (pers berhak merahasiakan narasumber);
2. Klarifikasi kepada objek berita sehingga memenuhi asas cover both side sekalipun yang dimuat hanya sebaris; dan
3. Memberikan hak jawab kepada pihak yang keberatan dengan berita.
Dengan memenuhi standar di atas, maka jurnalis bisa menulis apa saja tanpa dianggap melanggar hukum dan memperhatikan hal ini maka kita dapat menyimpulkan bahwa secara legal-formal artikel dalam The Jakarta Post yang membahas pengusiran Jokowi oleh Puan Maharani sudah benar, sebab:
1. Ada narasumber orang dalam PDIP (walaupun anonim) yang bercerita bahwa Puan Maharani marah kepada Jokowi karena disudutkan di media massa oleh Jokowi terkait perolehan suara PDIP yang rendah;
2. The Jakarta Post sudah meminta konfirmasi kepada pihak PDIP dan jawaban PDIP sudah dimuat dalam artikel yang sama.
3. Hak Jawab PDIP sudah dimuat dalam The Jakarta Post dalam bentuk wawancara dengan wakil sekjend PDIP.
Bila secara formalitas isi artikel The Jakarta Post sudah benar, bagaimana dengan materinya sendiri? Mengenai hal ini saya sudah berkali-kali membahas dan hasilnya tidak ada keraguan bahwa pengusiran Jokowi memang terjadi dan dalam PDIP memang ada friksi antara kubu Puan Maharani dengan kubu Jokowi. Kalimat Puan Maharani di bawah ini cukup menggambarkan perasaan dia kepada Jokowi:
"Saya yakin Jokowi memahami 'Jas Merah, Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah'. Sebagai orang Jawa, saya memahami kualat itu lebih parah daripada lupa terhadap sejarah. Semua orang yang mengkhianati apa yang menjadi keyakinan Bung Karno, realitasnya di lapangan, mereka tak jadi apa-apa. Tidak perlu dicekik, digebuki, hilang saja sendiri. Percaya tidak percaya."
Kata-kata di atas mustahil diucapkan di muka umum bila hubungan Jokowi dan Puan mulus-mulus saja. Dengan demikian sesungguhnya artikel The Jakarta Post sudah memenuhi kaidah jurnalistik; kode etik pers dan pada kenyataannya memang berita yang benar dan sesuai fakta yang terjadi.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun