Pemerintah sudah membentuk tim panitia seleksi calon pimpinan (capim) KPK periode 2019-2023 yang terdiri dari 9 orang di ketuai oleh Yenti Garnasih. Tugas mereka menyaring dan memilih capim KPK kepada presiden.
Ada 348 orang yang mendaftar sebagai capim KPK. Tiga di antaranya petahana yakni Laode M Syarif, Basaria Panjaitan, dan Alexander Marwata.
Menariknya ada satu orang mendaftar yang berasal dari TNI, yakni Staf Khusus Kepala Staf Angkatan Udara (KASAU) Marsekal Muda TNI Dwi Fajariyanto.
Sebelumnya lulusan Akademi Angkatan Udara tahun 1985 ini juga pernah menempati posisi sebagai Asisten Pengamanan KSAU dan Staf Ahli Tingkat III Bidang Hubungan Internasional Panglima TNI.
Melihat sejarah bursa capim KPK, bukan kali ini saja ada unsur TNI, baik aktif maupun purnawirawan, yang mencalonkan diri untuk menduduki posisi tertinggi lembaga anti-rasuah tersebut.
Dalam seleksi capim periode 2011-2015 dan 2015-2019 misalnya, terdapat beberapa unsur TNI yang setidaknya lolos hingga tahap seleksi administrasi.
Hadirnya Dwi sebagai calon tunggal unsur TNI pada periode kali ini berpotensi menciptakan sejarah baru di tubuh KPK karena selama ini belum ada unsur TNI yang berhasil lolos hingga menduduki kursi pimpinan KPK.
Anggota Komisi III DPR John Kenedy Azis tidak mempermasalahkan pimpinan KPK dari unsur TNI. Pasalnya, kata John Kenedy, Undang-Undang (UU) tidak membatasi Capim KPK berasal dari unsur TNI.
Namun ditegaskannya bahwa Capim KPK harus paham dan memiliki pengetahuan masalah hukum. Pasalnya, masalah yang ditangani oleh KPK adalah masalah hukum.
Utamanya katanya memiliki kapasitas, kapabilitas dan integritas. Sehingga, politisi Partai Golkar ini menilai baik pimpinan KPK nanti ada unsur dari TNI. Apabila TNI itu dikenal sangat disiplin dalam kedinasannya.
Di satu sisi, kata John bahwa Capim KPK dari unsur TNI ini harus mundur dari jabatannya apabila terpilih. UU mengamanatkan seperti itu.
Begitu juga dari unsur Kejaksaan, harus mundur dari jabatannya. Berbeda dengan unsur Kepolisian, tidak harus mundur. Tapi cukup cuti dari jabatannya.
Sesuai dengan tugas dan fungsi utama KPK, hubungannya dengan TNI tentunya terpusat dalam isu-isu korupsi. Selama ini, dapat dibilang hubungan keduanya pasang surut.
Misalnya penolakan campur tangan KPK ke militer yang pernah diutarakan oleh Kepala Staff Presiden, Moeldoko, sewaktu dirinya menjabat sebagai panglima TNI.
Ia mengatakan bahwa kehormatan TNI akan hilang jika KPK masuk karena hal itu sama saja menandakan adanya korupsi besar di tubuh TNI.
Contoh lainnya ada pada kasus korupsi pengadaan Helikopter AW-101 oleh TNI AU, di mana dalam beberapa kesempatan KPK mengatakan bahwa saksi dari TNI AUtidak kooperatif.
Selain itu sifat kerahasiaan, loyalitas, jiwa korsa dan sistem peradilan militer juga dinilai beberapa pihak dapat mempersulit pengungkapan kasus korupsi.
Namun, kasus kroupsi AW-101 juga menunjukkan hubungan positif KPK-TNI. Meski sempat mengalami kesulitan pada masa penyelidikan, pada akhirnya kasus korupsi ini berhasil diungkap dan pejabat-pejabat yang berasalah telah diadili dan dijatuhi hukuman.
Sementara itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) mengatakan bahwa pada dasarnya KPK-TNI memiliki hubungan yang baik.
Kedua institusi memiliki yuridiksi masing-masing yang jelas, sehingga dinilai tidak menimbulkan gesekan persaingan seperti yang terjadi antara KPK dengan Kepolisian ataupun Kejaksaan.
Juga, dalam beberapa kesempatan, komitmen kedua institusi untuk bersama-sama memberantas korupsi juga terus dijaga, salah satunya melalui pembekalan wawasan dan pengetahuan anti-korupsi yang diberikan KPK terhadap perwira TNI April lalu.
Jika setelah melalui proses panjang Dwi terpilih duduk di kursi pimpinan KPK, ada beberapa skenario yang dapat terjadi.
Di tubuh KPK, Dwi dapat membantu institusi tersebut dalam menangani kasus korupsi di sektor pertahanan Indonesia.
Anggapan bahwa orang di luar kemiliteran tidak mengerti urusan militer dapat dihilangkan dengan hadirnya mantan perwira tinggi militer di kursi kepemimpinan institusi sipil tersebut.
Di balik semua hubungan KPK-TNI dan semangat pemberantasan korupsi di sektor pertahanan, peran politik Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus tetap muncul.
Berkaca pada kasus AW-101,ICWÂ mengapresiasi sekaligus menegaskan pentingnya kontrol politk seorang presiden dalam mendukung instansi sipil dalam menyelidiki institusi militer.
Kemauan dan ketegasan Jokowi dalam pengusutan kasus korupsi harus terus ditingkatkan dalam periode pemerintahannya yang kedua, terlebih lagi dirinya memiliki kekuasaan untuk menentukan siapa yang duduk di kursi kepemimpinan KPK maupun TNI.
Jangan sampai gesekan antara kedua institusi kembali terulang. Jangan sampai pula kehadiran Dwi malah memperlemah KPK atau terbalik, yakni bahwa Dwi malah menjadi bentuk "pengawasan" TNI terhadap KPK untuk menjauhkan lembaga itu dari militer.
Pengawasan terhadap sektor pertahanan Indonesia memang penting untuk dilakukan. Selain karena peran vital pertahanan dalam hidup-matinya suatu negara, besarnya porsi anggaran pertahanan juga dapat memicu potensi korupsi yang lebih besar.
Bulan Juni 2019 lalu, Komisi I DPR telah menyetujui anggaran pertahanan sebesar Rp 126,5 triliun untuk tahun 2020 atau naik sekitar 17,5 persen dari anggaran tahun 2019. Angka ini juga masih dapat bertambah Kemhan kembali mengajukan tambahan dana sekitar Rp 17,5 triliun.
John Kenedy juga mengatakan bahwa Komisi III DPR sudah siap untuk melakukan fit and proper test Capim KPK. Nantinya Pansel Capim KPK menyerahkan 10 nama capim KPK untuk di fit and proper test.
Setelah itu dipilih 5 orang menjadi pimpinan KPK yang baru. Namun pimpinan KPK itu tidak harus ada unsur dari Kepolisian maupun Kejaksaan. John Kenedy mencontohkan pimpinan KPK saat ini tidak ada dari unsur Kejaksaan.
Namun John menilai kinerja KPK saat ini sangat baik dan berhasil. [Rob]