Pawang hujan itu khan sudah lama ada di negeri ini. Tapi masih ada saja yang kaget dengan keberadaannya. Yang lebih menyedihkan lagi, belum paham ilmunya sudah menghakimi syirik. Cara berpikir muslim kagetan memang linear. Ndeso.
Oke, kata 'pawang' ini memang lebay. Karena mereka bukan orang yang bisa menguasai atau menundukan hujan. Bisanya cuman menggeser atau memindahkan hujan sementara, dengan bakat yang tidak semua orang bisa. Itu pun dilakukan dengan doa, minta ijin (permisi) pada Tuhan.
Nggak selalu sesuatu yang terlihat magis itu syirik. Semua ada ilmunya, tapi tidak semua orang punya bakat untuk mempraktekannya. Nggak pakai perantara Jin Iprit, Gerandong dan kawan-kawan.
Sadar atau tidak, tiap hari kita melakukan praktek magis. Dengan hanya tekan tombol 'send' kita bisa mengirim kata-kata, gambar, bahkan video ke henpon seseorang. Itu khan angker banget kalau dipikir secara manual. Sopo yo kok gelem-geleme direpoti dikon ngirim curhatan gak penting.
Jangan terlalu percaya dengan ejekan "Kenapa paranormal disebut orang pintar? karena yang mendatanginya orang bodoh."
Justru yang bodoh itu yang bikin ejekan. Tidak semua paranormal itu dukun yang berkongsi dengan iblis atau jin kafir. Ada yang memang karena dikarunia bakat dan juga karena laku tirakat. Bisa jadi Rara si Pawang Hujan itu adalah salah satu orang yang dikaruniai bakat. Atau sudah laku tirakat di gunung Kawi. Aku gak eruh.
Pernah dengar kisah Ashif bin Barkhoya nggak? sepupu Nabi Sulaiman yang berhasil memindahkan singgasana Ratu Bilqis hanya dalam satu kedipan mata. Ashif ini bukan dukun, apalagi keturunan Jin. Dia manusia yang sudah mencapai level spiritualitas yang sangat tinggi. Sampai Jin Iprit minder, kalah cepat.
Pada level spiritualitas yang tinggi, manusia bisa terkoneksi dengan alam. Hanya dengan pikiran dan batin saja mereka bisa mengontrol energi-energi yang ada di alam semesta. Ada juga yang pakai ritual dan atau metode yang lain (aku dewe yo gak eruh). Jadi kalau cuman menggeser hujan, nggak perlu pakai jasa Jin Iprit.
Jangan gegabah nuduh syirik kalau nggak ingin ketahuan kupernya. Seperti komen bodoh di sebuah akun YouTube yang membahas desain logo halal yang pakai gambar gunungan wayang itu : "Budaya kok dijadikan agama." Maksudnya, wayang sebagai budaya Jawa kok dijadikan logo halal (yang berhubungan dengan agama Islam). So what?
Budaya itu alatnya agama. Sarung, gamis dan juga kopyah itu budaya yang dijadikan kostum agama. Begitu juga dengan tikar dan karpet, itu budaya yang dijadikan sarana untuk ritual agama. Wayang itu budaya, tapi dijadikan media dakwah Islam oleh Sunan Kalijaga. Bahkan diIslamkan, cerita wayang yang poliandri dijadikan poligami.
Melihat ritual budaya itu harus dengan keluasan hati dan pikiran. Kalau nggak paham ilmunya (konsep) jangan buru-buru menghakimi. Ketika Jokowi menyatukan tanah dan air dari 34 provinsi di IKN baru juga dicap klenik, syirik. Woala, ritual seperti itu khan sifatnya simbolis, nggak jauh beda dengan upacara bendera.
Kesempitan berpikir itu jauh lebih berbahaya dari kebodohan. Karena gampang diakali, diadu domba, diprovokasi, digerakan untuk kepentingan politis.
Nggak usah sok hijrah, cukup jadi orang baik yang tetap menjalankan syariat. Ngono ae wis beres. Buat apa hijrah tapi jadi jamaah aliran sempit pikir. Sama juga ndlahom. Karena banyak mualaf kemarin sore yang menuntut negara khilafah. Hijrah kalau jadi ndlahom murrokab begitu, mending gak hijrah-hijrahan rek.
Apalagi sampai kostumnya jadi berubah drastis : pakai gamis dan ndase diuntel-unteli kain yang bentuknya mirip ban Vespa. Padahal hijrah itu soal tabiat, bukan pindah adat. Dapat hidayah itu Alhamdulillah, tapi tetep jadilah orang Indonesia. Nek raimu Jowo yo wis Jowo ae.
Itulah akibat kalau salah Ustadz. Hafal dan fasih membaca Qur'an beserta dalilnya, tapi nggak punya kedalaman memahami makna. Akhirnya nggak punya keluasan hati dan pikiran. Bendino nggambleh syirak syirik ae.
Makanya BNPT perlu menerbitkan ciri-ciri Ustadz Radikal kepada publik agar generasi muda nggak kagetan dan nggak terputus dengan (adat budaya) leluhurnya.
BNPT belum menemukan padanan kata yang pas untuk 'radikal'. Ustadz Radikal dalam konteks ini maksudnya yang anti dengan adat budayanya sendiri. Jadi, bukan Ustadz radikal yang mengajak jamaahnya ngebom gereja. Walau Ustadz jenis ini juga masuk blacklist.
Akibat kebenciannya pada adat budaya, khotbah seringkali disampaikan dengan cara nggak nyaman dan nggak sopan, karena disampaikan di depan orang yang sebenarnya masih memegang teguh adat budaya. Setelah ikut pengajiannya, nggak malah tumbuh cinta kasih pada sesama manusia. Malah timbul rasa benci pada orang yang nggak sealiran.
Ajaran Ustadz Sempit Pikir ini jelas memutus generasi muda dengan keluhuran budi leluhur bangsa. Lha wong Wayang diharamkan, rekreasi ke candi Borobudur juga haram, bahkan sungkem ke ortu diharamkan. Lihat pawang hujan langsung gupuh, bahkan malu. Sama adat budaya bangsanya sendiri kok malu. Malu itu cari uang dengan joget seronok pamer susu di Tik Tok.
Gelaran di musim hujan itu pawang hujan memang perlu masuk dalam struktur panitia. Kehadirannya dibutuhkan untuk melancarkan jalannya acara dari hujan badai. Acara nikah di kampung saat musim hujan lagi deras-derasnya, ngeri kalau tanpa pawang hujan. Iso-iso panggung pengantinmu kenyut. Awakmu katut, glagepan gak iso nglangi.
Wis rek, budayakan memperluas wawasan. Ojok ndlongop ae.