Hari-hari ini aku benar-benar larut dalam duniaku. Detlain demi detlain kerjaan kantor maupun freelance yang menyebalkan banyak kulalui. Aku sudah bisa hidup tanpa bayang-bayang April. Dia seperti hantu yang terus membayangi. Tapi setidaknya dia hantu yang biutipul.
Ada kalanya aku nggak bisa menjaga 'iman', diam-diam nyuri-nyuri waktu membaca status fesbuknya yang kebanyakan postingan soal agama. Yang menurutku sedikit membosankan. Sori. Karena memang cuman soal syariat anak yang baru tobat, tanpa kedalaman ilmu yang cerdas.
Aku juga masih sering berpapasan dengannya di tangga, di depan mesin finger spot, di toilet. Walau nggak ada percakapan, tapi senyumnya cukup membuatku lupa hutang. Membuat otakku fresh (duh dik). Sialan, ternyata rasa 'itu' masih ada.
Aku berusaha keras melupakannya. Sejak kecewa, menunggu balasan pesanku di inbox yang tak kunjung dibalas. Aku jadi kapok ng-inbox dia. Aku merasa terabaikan dan nggak penting. Padahal aku tahu dia online, ada postingan baru di wall-nya. Satu-satunya cara yang membuat aku dan dia bisa berinteraksi ternyata gagal juga.
Tapi April nggak salah mengabaikan inbox-ku. Itu hak dia. Aku memang jauh lebih tua dari dia, tapi nggak pantas dituakan. Karena tongkrongan seorang rocker itu jauh dari wibawa. Tongkrongan seorang bajingan. Aku juga tidak punya saham sedikit pun untuk menuntut dia abai padaku. Jadi aku harus legowo menerima kenyataan.
Aku terlalu lama dibuai mimpi indah kisah roman cinta-cintaan yang membuatku lupa memijak bumi. "Woeee!! Turun!!" teriak suara-suara di dalam hati. Aku terbangun dan tersadar. Aku cuman Imron, pemuda angin-anginan pemuja cinta. Nggak punya kepantasan untuk memiliki gadis semurni dan seindah April.
Maka aku putuskan untuk tidak inbox lagi. Lebih baik concern pada kerjaanku. Ndilalah aku sedang banyak job gambar yang membutuhkan banyak waktu dan konsentrasi tinggi. Jadi aku pasti bisa melupakannya. "Ayo, kamu bisa!!!"
Seandainya mencintai April adalah kesalahan, maka itu adalah kesalahan yang terindah dalam hidupku. Karena aku belum pernah merasakan cinta sesejati ini.
******
Well, aku mencintai orang yang benar, tapi salah kalau berharap banyak. Kenyataannya kami beda haluan. Aku maunya ke sana dan dia maunya ke sono. Jadinya mens sana in corpore sono. Eh, itu istilah olah raga ya.
Akhirnya, setelah kurenungkan, kutimbang, maka kuputuskan : aku harus berhenti berharap memilikinya. Tidak di kehidupan ini. Mungkin di kehidupan yang lain. Cukup Mbul!
Mentok sudah. Rokenrol nggak akan pernah bisa disandingkan dengan Salafi. Seperti matahari yang tidak akan terbit dari barat. Kecuali saat akan kiamat, atau matahari buatan China ---matahari sintetis yang membuat pemeluk agama Shinto (pemuja Dewi Matahari) bingung. Karena tidak boleh menduakan matahari. Itu syirik. Guyon rek---.
Oke, matinya harapan adalah kematian terbesar. Tapi dalam konteks percintaan, itu oke saja. Karena (cuman) mengharapkan seorang manusia. Jangan berlebihan berharap pada manusia. Jangan berharap pada kecantikan dan kegagahan. Itu semua 'tipuan' belaka. Karena sesungguhnya manusia tidak bisa diharapkan. Berharaplah hanya pada Tuhan yang Maha Abadi.
Terlalu berharap hanya pada seorang perempuan di antara semilyar perempuan itu konyol. Cinta memang radikal. Ada pilihan semilyar perempuan di luar sana, tapi aku malah mati-matian mengharapkan perempuan yang tidak mengharapkan aku.
Tapi suara-suara dalam pikiranku terus saja bersuara, "Woeeeii dungu! Memang ada semilyar perempuan di luar sana. Tapi tahukah kau bahwa tiap manusia diciptakan berbeda, walau kembar identik sekalipun. Begitu juga kamu atau juga April. Kamu itu the one and only, tidak akan ada yang menyamai."
Sialan, diam kau!
****
April seumpama hujan. Indah sekaligus misterius. Dari mana dia datang dan akan kemana perginya, selalu jadi pertanyaan abadi di kepalaku. Ah, aku jadi ingat puisi lamaku, tentang hujan. Saat sebelum pikiran dan jiwa ragaku 'terpolusi' April.
Misteri Hujan
mungkin kau belum mengerti
ketika datang kesempitan hati
datanglah pada hujan
berjalanlah di sela-sela rintiknya
di sana ada ruang
yang akan meluaskan hatimu
menyadarkanmu
bahwa hidup ini luas dimensinya
di sana akan kau temukan
kedamaian sejati
yang tak 'kan kau temui di istana yang paling bagus
atau juga di lagu yang paling religius
di sana kau akan jadi ringan
tak ada beda kenikmatan dan penderitaan
karena penderitaan itu diperlukan manusia
penderitaan adalah syarat dari keindahan
penderitaan itu kenikmatan yang menyamar
tak ada bayi lahir tanpa penderitaan ibunya
bagaimana kau tahu nikmatnya sehat kalau tak pernah sakit?
maka
kita harus bisa berjalan di sela-sela rintik hujan
agar memahami betapa luas kemungkinan-kemungkinan dalam kehidupan
***
hujan itu misteri
nikmati saja misterinya
jangan bertanya bagaimana uap air mencapai langit
padahal saat memasak air
uapnya tak pernah sampai ke langit-langit
ah, aku hanyalah awam
tak paham ilmu alam
tak percaya dengan teori hujan
kupikir itu batasan kemampuan pikir manusia
pasti ada ilmu yang lebih tinggi
menjelaskan kronologi hujan
tapi biarlah itu jadi rahasia alam dan Tuhan
karena hidup bukan kesimpulan
hidup itu pencarian
***
ingatlah satu hal
jangan sekali-kali kau maki hujan
hanya karena airnya menyusahkan
kau terusir dari rumahmu sendiri
dagangan sepi pembeli
sekolah-sekolah diliburkan
pegawai kantor tak bisa kerja
tanaman padi rusak binasa
banjir dimana-mana..
sadarlah
hujan hanya taat pada perintah Tuhan
mengalir ke tempat yang lebih rendah
bekerja sama dengan gravitasi
rela tidak menjadi diri sendiri
harusnya kau marah pada dirimu
yang enggan berkolaborasi dengan alam
kau eksploitasi mereka habis-habisan
demi nafsu yang tak pernah terpuaskan
banjir datang, sibuk mencari kambing hitam
Solo, 18 November 2016
****
Memang aku belum benar-benar belum bisa melupakannya. Semakin aku menjauh semakin pula aku ingin mendekat. Semakin aku menghindar, semakin pula aku ingin segera menemuinya walau hanya sekilas melihatnya dari jauh. Tapi aku harus melawannya tanpa harus lari dari kenyataan ke minuman keras atau drug. Aku tidak sepengecut itu. Hadapi atau mati.
Selama ini aku kayak anjing Herder yang mengejar-ngejar ekorku sendiri. Muter-muter terus nggak henti-henti. "Make up your mind! Ojok plintat plintut! Teruskan atau selesaikan!" ledek suara-suara dalam hati.
Tapi kali ini harus final. Aku membayangkan jauh ke masa depan. Seandainya aku jadi 'imam'nya April (duh 'imam' Mbul, istilah para muslim kagetan). Aku nggak mau nantinya dipaksa bercelana cingkrang dan atau berjenggot seperti kebanyakan anak Salafi.
Bagi kami celana di atas mata kaki itu bukan akidah. Hadits "Celana menutup mata kaki dibakar di neraka" itu bicara soal kesombongan, bukan soal celana. "Celana menutup mata kaki" itu idiom yang merujuk pada orang yang sombong.
Sebelum jadi Nabi pun, dalam budaya Arab celana menutupi mata kaki itu sebuah kesombongan (lambang kemewahan). Kain mahal di zaman itu. Nabi memakai idiom 'celana menutup mata kaki' untuk menggantikan kata sombong. Jadi sebenarnya bunyi hadits tersebut : "Orang sombong dibakar di neraka".
Untung Rasulullah bukan orang Indonesia. Jika ada hadits "Unjuk gigi dibakar di neraka". Mereka akan mengharamkan gigi yang terlihat saat bicara. Jadi kalau bicara harus tetep mingkem kalau nggak ingin dibakar di neraka. Padahal 'unjuk gigi' itu idiom, kata yang bermakna konotatif yang artinya menunjukan kekuatan.
Soal jenggot juga hampir sama dengan celana cingkrang. Nggak ada hubungannya dengan akidah. Tapi bagus kalau kamu berjenggot karena cintamu pada Rasul (ingin persis seperti beliau). Itu yang membuat berjenggot jadi berpahala. Kalau punya jenggot otomatis dapat pahala, wedus bakalan punya pahala yang banyak sekali. Karena wedus berjenggot.
Rasul berjenggot tujuannya untuk menyelisih. Agar beda dengan penganut agama lain. Di zaman itu di Arab, para penganut agama yang berbeda saling mengintai.
Jenggot adalah lambang kedewasaan, kebijaksanaan. Nggak ada anak kecil berjenggot. Anjuran memelihara jenggot itu lebih pada untuk memelihara kedewasaan, memelihara kebijaksanaan. Cukurlah kumis, karena kumis dekat dengan mulut. Dekat dengan fitnah, ghibah dan banyak lagi. Maka jagalah mulutmu.
Andai aku menikah dengan April, aku nggak bakalan tega melarang anakku bernyanyi, menggambar makhluk hidup, menari dan banyak yang diharamkan oleh sekte Salafi. Itu membunuh daya imaji dan kreatifitas anak. Karena pada dasarnya anak-anak suka menyanyi, menggambar, dan bermain. Mereka bisa tahan main game seharian tanpa makan.
Aku penasaran, bagaimana sikap orang tua Salafi ketika tahu anaknya nyanyi, "satu satu aku sayang ibu..dua dua juga sayang ayah..."
Kebanyakan alasan pengharaman musik berasal dari hadits ""Kelak akan ada dari umatku beberapa kaum yang menghalalkan zina, sutera, minuman keras dan musik." (HR. Bukhari dan Abu Daud). Memang, musik banyak digandengkan dengan zina dan minuman keras. Tapi bukan berarti musik itu haram. Selama nggak melalaikan ibadah, silakan saja bermusik.
Musik itu ekspresi sejati manusia. Kita bicara tiap hari itu musik. Logat atau cengkok itu musik. Tiap daerah beda logatnya. Sudah aku tulis di episode sebelumnya, tak tulis maneh gak popo yo.
Membaca puisi, ngaji, adzan maupun qomat pun sebenarnya itu bermusik. Ada nada, irama, tempo dan bunyi. Dengan unsur-unsur itu lah Al Qur'an jadi lebih merdu dilagukan. Jadi, bagaimana mungkin musik diharamkan?
Musik itu cuman kendaraan. Bisa dijadikan alat pendidikan, alat dakwah, alat propaganda, alat maksyiat, bahkan bisa jadi alat penyembuh (healing). Makanya penikmat musik lebih awet muda dari yang tidak suka musik.
Hadits itu dihimpun 300 tahun sesudah wafatnya Rasul. Berdasar katanya ulama itu, perawi itu. Jumlahnya dua juta dua ratus hadits. Yang lulus dibawah seratus ribu. Itu pun belum tentu lulus. Kalau kira-kira nggak masuk akal, buang saja, hanya Al Qur'an yang dipakai. Nggak ada ayat di Al Qur'an yang secara tegas mengharamkan musik. Lha wong Nabi Daud saja main seruling.
Maka hadits pun harus diverifikasi. Apalagi jaman dulu tak ada alat perekam. Jadi redaksionalnya tidak sama persis dengan yang tercantum di kitab hadits. Hanya Al Qur'an yang redaksionalnya sama persis dengan apa yang difirmankan oleh Allah dan tak bakalan bisa dirubah sampai kapan pun.
Jadi, hadits itu sangat boleh dikritisi. Jangan jadi manusia taqlid. Bukhari Muslim (atau ulama lain) boleh dikritisi. Asal bukan Rasulullah dan Allah.
Tentu saja kami tidak menolak hadits. Kami hanya lebih pada menggunaan akal. Agama Islam adalah agama yang aqliyah (sangat dianjurkan menggunakan akal). Maka gunakan otakmu. Itu yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya.
Satu hal yang kutakuti jika aku memutuskan menikah dengan perempuan Salafi adalah mereka menolak aktivitas budaya yang sifatnya ceremonial. Itu bid'ah bagi mereka. Padahal itu semua nggak ada urusan dengan akidah. Itu cuman ibadah muamallah. Hasil budidaya manusia. Nggak ada tuntunannya, tapi juga nggak ada larangannya.
Upacara-upacara adat itu sama subtansinya dengan anak yang merayakan ulang tahun : makan-makan, bergembira, dan saling mendoakan. Sama subtansinya dengan kamu fesbukan, bertemu banyak temanmu dan saling mendoakan satu sama lain. Sekali lagi, itu nggak ada tuntunanya, tapi juga nggak ada larangannya. Hanya ibadah muamallah.
Di luar ibadah wajib (mahdhah), kita boleh melakukan apa pun asal sesuai dengan syariat, menghasilkan kebaikan, menjadikanmu manusia yang lebih baik. Islam itu agama yang sempurna. Tapi bukan berarti terus berhenti, begitu-begitu saja. Kita hidup di zaman yang berbeda dengan Rasul. Rasul hanya mencontohkan substansinya dan kita meneladani beliau sesuai di zaman kita.
Jangan salah paham, upacara-upacara adat itu bukan nambahi yang sifatnya merusak ibadah wajib, tapi membuat Islam jadi lebih indah. Seumpama kursi yang nggak cuman kayu dijadikan tempat duduk, tapi juga diukir dengan ukiran indah. Seumpama bantal yang nggak cuman kain yang disarungkan ke bantal, tapi pinggirannya dikasih renda atau ruffle.
Islam di sini jauh lebih indah dari Islam di Arab. Dan itu sama sekali tidak merusak esensi Islam. Halal bi halal, nyadran, kenduren, tahlilan dan banyak lagi. Itu indah banget. Di Arab tidak ada. Salafi itu memurnikan Islam seperti Islam di zamannya Rasul. Itu baik dan oke. Tapi kenyataanya kita hidup di zaman yang sama sekali berbeda dengan beliau. Hukum itu berlaku kondisional. Menyikapi ayat itu harusnya kontekstual bukan tekstual.
Sekian khotbah Jum'at kali ini.
****
Jadi daripada aku terus-terusan hidup dalam fantasi, mending aku sudahi saja 'petualanganku' kali ini. Maaf April kalau aku menggangumu dengan inbox-inbox nggak bermutuku selama ini. Aku berjanji, nggak akan inbox lagi. Aku akan sudahi babak imajinasiku tentangmu. Ya, aku menyerah. Satu kata terakhir untuk menutup cerita ini ---> S.E.L.E.S.A.I.
Si yu tumoro. Sampai bertemu di ruang rindu.
-Robbi Gandamana-