Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Pesantren Berpotensi Besar Membangun Karakter Kebangsaan

21 Oktober 2011   07:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:41 258 0
[caption id="attachment_137038" align="aligncenter" width="508" caption="Civitas Pondok Pesantren Dari Kawasan Karisidenan Solo Menyanyikan Lagu Indonesia Raya Dalam Halaqah Membangun Karakter Kebangsaan Di Kalangan Pemuda Melalui Pesantren, yang Diselenggarakan Oleh PP. RMI Bekerjasama Dengan Kementrian Pemuda dan Olah Raga, Di Pesantren Al-Muayyad, Mangkuyudan, Surakarta"][/caption]

“Mengapa karakter building bangsa diarahkan ke pesantren?” Tanya seorang peserta dalamHalaqah dengan tema “Membangun Karakter Kebangsaan Di Kalangan Pemuda Melalui Kyai”, di PP Al-Muayyad, Surakarta, 08-10 Oktober 2011. Halaqah yang terselenggara atas kerjasama Rabithah Ma’ahid Islamiyyah Nahdlatul Ulama (NU) dan Kementrian Pemuda dan Olah Raga ini membincang persoalan kebangsaan, khususnya di kalangan pemuda.

Persolan Kebangsaan di kalangan pemuda ini penting untuk dibahas, di tengah karut marutnya kondisi Indonesia dewasa ini. Ini menjadi tantangan serius bagi kalangan pemuda dalam lingkup kepesantrenan, lebih khususnya lagi pesantren dengan corak NU. Seperti yang disebutkan baik KH. Abdul Razak Syafawi (Tuan ruman, pengasuh PP. Al-Muayyad, Surakarta), maupun Oleh Dr. Miftah Faqih, MA. (Sekjen RMI NU). Dalam sambutannya, pesantren menurut KH. Abdul Razak memiliki sejarah menarik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia, bahkan sebelum Indonesia lahir. Sejak jaman penjajahan pesantren memiliki karakter perlawanan yang kuat, bukan hanya perlawanan fisik melalui angkat senjata, tetapi juga perlawanan total seperti ekonomi, politik, dan budaya. “Dulu makan berdiri saja itu sudah dianggap meniru orang kafir, orang Belanda, penjajah. Begitupun juga dengan pakai celana dan jas.” Ungkap KH. Abdul Razak.

Dan setelah Indonesia merdeka, pesantren juga memainkan peran yang tak kalah penting dalam mempertahankan kedaulatan Indonesia bersama seluruh elemen bangsa. KH. Abdul Razak menuturkan bagaimana KH. Hasyim As’ari memberi kontribusi penting dalam keberhasilan Revolusi 10 November di Surabaya. Sebelum revolusi, Jenderal Sudirman agak kesulitan untuk menemukan pijakan agama untuk menggerakkan basis-basis kekuatan yang ada di Indonesia, terutama dari kalangan Islam. Maka, datanglah Jenderal Sudirman ke Jombang bertemu KH. Hasyim Asyari, yang dari pertemuan ini muncul kemudian Resolusi Jihad. Resolusi Jihad ini penting, karena dengan ini kekuatan Indonesia di Surabaya bisa dengan mudah dibentuk dan disatukan melawan Sekutu yang ‘diboncengi’ Belanda. “Dari Resolusi Jihad inilah para santri dan Kyai dari semua pesantren keluar untuk jihad mempertahankan kedaulatan Indonesia.” Lanjut KH. Abdul Razak.

Di Jakarta, sebelum merdeka, kalangan Islam dan pesantren yang diwakili Wahid Hasyim, di Panitia Sembilan dalam pembentukan dasar Negara Indonesia membantu mengokohkan kesatuan bangsa. Menurut KH. Abdul Razak, entah apa jadinya kalau Wahid Hasyim menyetujui usulan untuk tetap menyertakan tujuh kata (dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya). “Kalau dulu tidak ada Mbah Wahid Hasyim itu Indonesia Timur dan Barat pecah dengan adanya syariat Islam di sila pertama.Sila pertama menurut Mbah Wahid Hasyim itu, “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan adanya ini kitawajib shalat, wajib zakat. Akhirnya dengan adanya ini, Indonesia bagian Timur menerima ini. Ternyata sekarang dunia mengakui. Delapan ulama dari Yordania datang ke Indonesia, di Malang, mempelajari Pancasila. Kok bisa-bisanya Ulama Indonesia, menerapkan syariat Islam untuk berbangsa dan bernegara.

Sekarang masih menurut KH. Abdul Razak, pesantren menghadapi tantangan dalam upaya terus mengisi dan mempertahankan keutuhan bangsa, dengan maraknya paham-paham dari luar, dengan maraknya radikalisme dan upaya-upaya memecah belah bangsa ini.

Menambahkan apa yang disampaikan oleh KH. Abdul Razak, Sekjen RMI, Miftah Faqih mengatakan bahwa problem kebangsaan, terlebih yang dihadapi kalangan pesantren ada pada tiga hal. Pertama, terlihat bahwa masyarakat dewasa ini sering tak mampu mengendalikan diri. Sehingga muncul kekerasan-kekerasan, yang dengan mudahnya hadir hanya karena persoalan sepele. Kedua, kesantunan umat Islam dalam beragama. Dan ketiga, persoalan keutuhan bangsa dan bernegara. “Jadi tiap hari kita itu disuguhi amuk masa di mana-mana. Realitas kita itu ibarat dauh kering yang mudah patah, mudah terbakar. Itu setiap hari menghiasi media kita.

Kedua, praktik pengerasan keberagamaan, seringkali saya mendengar khutbah Jumat bukan sosialisasi keislaman yang ramah tetapi menampilkan islam yang marah. Kemudian ancamana terhadap keutuhan kebangsaan dan bernegara itu sangat tinggi.

Untuk itu menurut Miftah Faqih, kalangan pesantren dituntut untuk terus mengembangkan diri, wawasan, informasi, dan kemampuan untuk terus mempertahankan tradisi dari dalam dan menyaring pengaruh dari luar, mana hal yang bisa diterima dan mana yang tidak. Dalam upaya itu melalui pesantren bisa melakukannya melalui penguatan tiga aspek yang sebenarnya dari dulu sudah tertanam di dalamnya. Pertama, aspek keilmuan. Bahwa pesantren itu sebagai tempat tafaquh fi addin. Pesantren dari dulu adalah tempat untuk menempa pribadi muslim dengan mempelajari keilmuan-keilmuan agama secara mendalam. Kedua, kelembagaan. Untuk dapat bersinergi dengan perubahan zaman dengan segala tuntutannya, pesantren harus mampu menguatkan kelembagaannya, manajemen kepesantrenan diupayakan ke arah professional. Dan ketiga, pengabdian ke masyarakat. Pesantren dari dulu menurut Miftah Faqih selalu berjalan seiring dengan kondisi kemasyarakatan yang ada. “Pesantren ya masyarakat itu sendiri. Ada sinergi antara pesantren dan masyarakat. Ada hubungan timbal balik yang terjadi. Jadi tidak heran misalnya masyarakat itu dulu, dengan suka rela membantu menghidupkan pesantren. Karena pesantren memberi kontibrusi yang penting bagi masyarakat, tidak hanya dari segi keilmuan agama tetapi juga untuk semua bidang kehidupan, termasuk persoalan pengobata. Bukan hal yang aneh dulu itu kalau orang sakit datang ke Kyai dan minta doanya.”

Kembali pada pertanyaan awal tadi, Miftah Faqih menjawabnya dengan mengatakan bahwa “Kenapa di pesantren? Ya itu karena berangkat dari sejarah dan ada kesalahan sejarah bahwa ada kelompok yang mengatasnamakan pesantren melakukan radikalisme sehinga muncul stigma bahwa pesantren itu radikal. Kita ingin membuktikan itu betul tidak.

Kata akhir, kita tingkatkan kualitas kita, kita tingkatkan kesadaran sejarah kita, kita kuatkan aksi kita. Di tangan kanan kita ada kitab suci di tangan kiri kita ada konstitusi. Dan semoga apa yang kita jalankan, rencanakan, dan kita niatkan mendapat ridha Allah SWT.”Ungkap Miftah Faqih Menegaskan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun