Dalam budaya jawa pun ada jagad gede (besar/mayor) dan jagad cilik (kecil/minor). Keduanya pun tak mungkin dipisahkan. Dan tidak bisa begitu saja melenyapkan segala hak bebas dari jagad cilik. Tuhan sangat menyayangi ciptaan-Nya. Maka, ada saja di antara kita, manusia, yang dengan kesadarannya menjauh dari Tuhan, Sang Pencipta-nya.
Kini bila melihat kata mayoritas dan minoritas, serasa hal itu mampu mengubah pandangan kita untuk tidak memperhitungkan lagi betapa luhurnya nilai cinta kasih. Hampir di mana ada mayoritas, entah di bidang agama, ekonomi, moral, politik, dsb, yang minoritas lebih mudah ditindas dan lebih sering mengalami penderitaan karena tekanan.
Coba kita melihat kembali dengan teliti istilah tersebut.... Apa mungkin kita hilangkan saja; supaya tidak ada penindasan dan diganti dengan keadilan, supaya tidak ada saling benci dan curiga lalu diganti saling kasih dan percaya, supaya tidak membangunkan harimau lapar dan sedang tidur.
Sebenarnya bukan salah istilahnya, tetapi salah yang memahami dan menerapkannya. Kadang demi kepentingan pribadi atau kelompoknya sajalah mulai membuat bukti ini dan itu yang mungkin juga belum tentu benar, tetapi dengan sengaja hendak meminoritaskan yang minoritas. Bayangkan, sudah minoritas semakin diminoritaskan lagi. Padahal sangat jelas, hidup kita dinilai bukan dari monumen yang kita bangun, tetapi bagaimana kita memikirkan dengan baik penting dan mendesaknya pembangunan monumen itu bagi semua orang, tanpa kecuali.
Semoga kita lebih berhati-hati dalam mencuatkan istilah mayoritas dan minoritas di negeri ini. Saya pun masih perlu banyak refleksi atas istilah itu. Yang kerap tanpa sadar mengucapkannya seraya merasa diri lebih baik dari yang lain.
Mari kita bertobat bersama, dan saling memperbaiki diri.