Namun, mengapa negara bisa gagal memonopoli kekerasannya tersebut—seperti yang terjadi hari ini? Dan apa yang akan terjadi, jika negara terus membiarkan kehadiran kompetitor kekerasan di tengah-tengah masyarakat? Sejarah premanisme sebagai kompetitor kekerasan negara berumur panjang. Sedangkan premanisme modern dapat dilacak sejarahnya dalam bentuk Mafia di Italia, Yakuza di Jepang, dan Triad di Hongkong. Pola besarnya tidak jauh berbeda, seperti juga di Indonesia: antara bermainnya otoritas bersenjata dalam bisnis-bisnis gelap pengusaha-pengusaha ‘kotor’, atau berjejaringnya komplotan residivis dari penjara-penjara. Kedua permasalahan ini menjawab pertanyaan pertama di atas. Jika ditarik lebih jauh, terlihat persoalan-persoalan seperti kesejahteraan tentara-polisi yang kurang diperhatikan, dan lemahnya disiplin kesatuan. Selain itu, manajemen lembaga pemasyarakatan yang buruk juga berandil ‘meluluskan’ residivis-residivis yang justru memupuk jaringan di balik jeruji besi.
Benang merah yang dapat ditarik adalah lemahnya negara, dalam artian ketidakmampuan negara untuk berfungsi dengan wajar. Hal ini bisa disebabkan oleh persepsi keliru tentang negara dari lembaga yang pelindung rakyat menjadi ajang kontestasi kepentingan politik-bisnis. Kemungkinan lain adalah usaha pelemahan negara secara struktural oleh kepentingan modal, di mana negara yang seharusnya adalah lembaga publik nirkepentingan, justru menjadi alat dari dan mengabdi pada kepentingan ekonomi kelompok tertentu.
Premanisme sebagai kompetitor bagi monopoli kekerasan—salahsatu esensi keberadaan negara—di tengah-tengah masyarakat mengancam wacana pentingnya kehadiran negara. Dengan budaya guyub dan informal masyarakat Indonesia, premanisme semakin berkembang dan terkadang justru dinanti-nanti masyarakat. Negara dalam bentuk formalnya menjadi ‘dikhianati’, misalnya dalam administrasi kependudukan seperti pembuatan paspor dan SIM di mana jalur-jalur ‘belakang’ lebih diminati tanpa mencoba jalur normal terlebih dahulu, karena terlanjur terkesan mempersulit dan tidak terlalu berguna.
Jika negara terus membiarkan hadirnya kompetitor, implikasinya adalah ambruknya legitimasi masyarakat terhadap negara, yang menyebabkan negara antara ada dan tiada karena efek samping sifat opresif dari negara tidak dibarengi dengan pelunasan janji-janji keteraturan-keamanan bagi rakyatnya. Jokowi di Solo bisa menjadi contoh bagi Indonesia. Masih ada harapan, untuk negara merebut kembali kepercayaan masyarakat dari tangan premanisme, dengan memfungsikan dirinya secara wajar dan menolak tunduk pada modal dan kepentingan politik golongan.
***
sederhananya: oi negara, fair dong, lu udah ngambil kebebasan kami tanpa izin, mana keteraturan-keamanan yg lu janjiin sebagai gantinya? kalo ga bisa, kami punya banyak alternatif dari lu, sini balikin kebebasan gw ! xD
Pasming-Depok, Februari 2012.