Namun sekali lagi ternyata kita hanyalah manusia negeri jakarta yang tidak lebih merupakan budak dari sang waktu. Seringkali kita tidak kuasa menerima keputusan sang waktu yang tidak pernah berhenti, bahkan mengais bagaikan hamba dhuafa yang kehilangan tuannya ketika waktu yang kita miliki hilang entah kemana. Tidak kuasa menahan sombongnya sang waktu yang menjadikannya sosok yang begitu mahal, hingga terkadang kita rela menukarkannya dengan apa saja yang kita miliki untuk mendapatkan sang waktu tersebut.
Di negeri Jakarta, jika berbicara tentang waktu seringkali tokoh bijak dari kalangan manusia mengatakan bahwa kita adalah tuan sang waktu, kitalah yang menguasai waktu, kitalah yang mengatur hak - hak waktu terhadap diri kita. Tidak jelas golongan manusia mana yang tokoh - tokoh itu wakili, namun sepertinya bukan mewakili manusia negeri Jakarta sendiri karena kenyataannya justru berbeda.
Dinegeri jakarta inilah banyak tetes embun kasih rindu sang ayah dan sang ibu kepada sang anak mengalir pedih dijalanan aspal kota dan di rel - rel besi kereta. Bagaimana tidak, sekuat tenaga mereka berusaha cepat mencari nafkah namun ternyata sang waktu menahan mereka diperjalanan jauh dari pelukan sang anak. Sang anak pun tidak kuasa ketika harus terpisah dari kedua orang tuanya dari sejuk gelap pagi hingga hening gelap malam tiba, semuanya tentu saja terjadi karena orangtuanya harus mengejar sang waktu. Entah dengan bahasa apa lagi orang tua harus menjelaskan waktu yang hilang bagi si anak, selain m3nggumam dalam diri sendiri dan berandai andai jika saja ada pilihan lain..jika saja begini..dan nada - nada lamunan lainnya.
Pada akhirnya tentu saja tidak ada pilihan lain untuk mengalahkan sang waktu. Â Manusia harus kembali memohon ampunan kepada sang pemilik waktu, agar waktu tidak menjadi kejam, agar waktu mengampuni, agar waktu memaafkan dan agar waktu berhenti di saat yang tepat, agar waktu tetap menjadi kecil di bumi dan menjadi besar dilangit.
From my samsung