A: "Pak Haji, pak haji kan orang terpelajar sekali, masa masih biasa sembahyang. artinya, kok masih mempercayai agama?"
B: "Maksud saudara apa?"
A: "Maksud saya, sebagai orang terpelajar saya tidak membenarkan sesuatu kecuali kalau saya paham betul"
B: "Betul, memang begitu. Qur'an sendiri menyatakan begitu. akan tetapi begini, kita kan terbatas, karena terbatas kalau rasio kita sudah pol begitu, maka sebagian kita serahkan kepada iman. jadi masalah iman itu adalah bagian dari pada hidup dan itu adalah kewajiban dari pada rasional kita."
(A belum puas dengan jawaban itu)
B: "begini aja deh, kamu kan orang minang. kan suka pulang ke Minangkabau, pulang kampung, naik apa?"
A: "naik kapal"
(dulu pesawat belum begitu banyak)
B: "nah..., kamu naik kapal itu menyalahi prinsipmu". "kamu tidak akan menerima sesuatu kecuali kalau paham seluruhnya. jadi asumsinya, kalau kamu naik kapal, adalah kalau sudah paham tentang seluruhnya yang ada dalam kapal itu. termasuk bagaimana kapal dibikin, bagaimana menjalankannya, begitu kamu menginjakkan kaki ke geladak kapal di Tanjung Priok, itu kan sudah ada masalah iman. kamu percaya kepada nahkoda, kamu percaya pada yang bikin kapal ini bahwa ini nanti tidak pecah di Selat Sunda dan kamu kemudian tenggelam. Percaya, percaya dan semua deretan kepercayaan."
B: "Sedikit sekali yang kamu ketahui tentang kapal. paling-paling bagaimana tiketnya dijual di loketnya saja yang kamu tahu. pembuatan tiket kamu juga tidak tahu"
B: "seandainya kamu konsisten dengan jalan pikiran kamu, mustinya kamu pulang ke Minang itu berenang. Ya, begitu, sebab berenang itu yang paling memungkinkan usahamu. Itu saja masih banyak sekali masalah. Bagaimana gerak tangan kamu saja kamu tidak paham"
B: "nanti kalau kamu berenang, di Selat Sunda kamu diombang-ambingkan ombak dan kamu akan berpegang pada apa saja yang ada. untung kalau kamu ketemu balok yang mengambang. akan tetapi kalau kamu ketemu ranting, itupun akan kamu pegang. ketemu barang-barang kuning juga kamu pegang"