Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Pusaran Rindu

2 April 2013   04:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:53 214 0
Saat jam denting dua, sebuah pesan singkat nampak menari-nari dalam handphone jadulku. "Mas, اِ نْ شَآ ءَ اللّهُ minggu depan aku berangkat ke Jerman. Kuliah."

Sebuah rasa syahdu menyentil ruang senduku. Nampaknya, aku akan kehilangan dia selamanya. Haruskah kuungkapkan segenap rasa hatiku kepadanya? Aku tahu. Aku sedang bermain hati dengan sebuah harapan hampa. Tapi, apa salahnya jika aku mengatakannya sekarang dengan seluruh jujur yang kupunya? Aku mencintainya sejak pertama kali aku mengenalnya. Dua belas tahun yang lalu.

Aku merindukannya. Namun, aku pun tak lupakan logikaku. Siapa dirinya, siapa diriku. Tapi, minggu depan ia akan pergi dan mungkin takkan bersua kembali denganku. Biarlah harapan hampa ini tinggallah harapan.

Kutarik nafas sedalam-dalamnya nafas, mencoba menguatkan mental kelelakianku. Setitik keraguan memagut jiwaku. Sebuah pertanyaan merayuku untuk diam,"Apakah kejujuran ini hanya akan mempermalukanku saja?"

Keheningan malam hanyutkan jiwaku semakin dalam. Akalku mencoba berdiplomasi dan bernegoisasi dengan hatiku. Akalku berkata,"Bukankah lebih baik gagal dari pada tidak mencoba sama sekali.?" Hatiku menimpali,"Betapa malunya jika aku mengatakannya.."

Peluh malam basahi keningku. Aku lelah. Aku payah menanggung beban rindu selama ini. Bara rindu ini terlalu kuat merenggut hatiku. Aku harus mengatakannya. Aku harus. Sekarang!

Kuucapkan salam dengan suara bergetar. Lalu aku memohon maaf karena telah menggangunya. Dan kukatakan, anggap saja ucapanku ini hanya angin lalu, sebuah intermezo belaka.

"Maafkan jika kejujuranku nanti membuatmu marah. Maafkan aku, aku tak kuasa menanggung rasa ini." Prologku mendayu-dayu. Hanya kudengar desahan nafas di seberang sana.

Debaran rasa ini seakan-akan ingin mengoyak dada tirusku saat kukatakan dengan sejujur-jujurnya rasa hatiku kepadanya.

Kuhembuskan nafas berat dan gugupku. Lega nian. Plong terasa. Ia pun hanya menjawab,"Terima kasih, Mas."

Sebenarnya aku berharap sebuah jawaban lain dari bibirnya. Tapi ternyata hanya sebuah ucapan terima kasih. Hatiku mulai terasa gelisah. Mungkin benar, aku memang tidak tahu diri. Aku telah mempermalukan diriku. Huh. Hembusan nafasku semakin berat.

Kutatap langit gelap di luar kamarku. Sebuah senyum pahit kucoba hiasi wajah resahku. Aku pun mencoba menertawakan diriku. Menertawakan kebodohanku. Metode melupakan masalah, begitulah kata para facebooker. Terasa agak ringan beban resahku. Metode yang sangat efektif dan simpel.

Namun, di lubuk hatiku yang terdalam, aku masih menunggu sebuah pesan darinya. Mungkin sebuah keajaiban jika tanpa sebab ia mengirimiku sebuah pesan. Entahlah. Aku mencoba dan memaksakan hati untuk tidak memikirkannya.

Empat hari pun berlalu tanpa terasa. Dan jiwaku pun semakin sepi. Aku seperti sedang berjalan dalam bayang-bayang semu. Atasanku terkadang sering menegurku, katanya aku sering melamun. Ah, aku telah gagal menjadi laki-laki gagah. Aku harus melupakannya. Harus. Selamat tinggal cinta. Selamat tinggal masa lalu.

Kutancapkan sedalam-dalamnya dalam hatiku. Aku harus melupakannya. Bukankah sedari awal aku sudah tahu jika akhirnya adalah harapan hampa. Harapan kosong belaka.

Ba'da sholat maghrib sebuah nada sms masuk mengagetkan hatiku. Aku harap dia. Cesss.. Dingin sekali dadaku. Ah, ternyata rekan kerjaku

Dunia kembali mewangi dan mewarna, indah nian. Aku akan datang.

---***---

Ia tak berani menatapku. Berkata pun tidak. Padahal, pesannya masih terbaca jelas, ia ingin menyampaikan sesuatu padaku. Aku kecewa, namun aku mencoba tersenyum saat ia berpamitan. Kucoba menatap mata beningnya. Dan aku menemukan sesuatu, sesuatu yang membuatku ingin berteriak bahagia. Sebuah cahaya, cahaya harapan.

Aku terdiam laksana patung saat ia perlahan meninggalkan kami, keluarganya dan diriku, tentu saja. Kutundukan wajah syahduku.

"Mas Rizqi, sebentar." Sebuah suara mengagetkan anganku yang melayang bersama bayangnya.

"Nggeh pak!" Seorang lelaki paruh baya menghampiriku. Aku tidak tahu siapa beliau. Mungkin ayahnya. Tapi, bagaimana beliau tahu namaku. Entahlah. Aku belum sempat berbasa - basi berkenalan dengan keluarganya.

Aku pun tersenyum membalas sapaannya. Ia terlihat gagah sekali, nampak garis wajahnya mirip dengan bidadari bumi pujaan hatiku.

"Saya pakle-nya Yunie, dalam perjalanan tadi Yunie menitipkan sebuah surat untuk Mas Rizqi." Ia nampak tersenyum riang. Seperti halnya diriku, segurat rasa bahagia aliri jiwaku.

"Oh iya, Pakle. Matur nuwun." Aku pun segera meninggalkan keluarganya. Aku tak kuasa menahan gairah maha dahsyat untuk segera membaca surat darinya. Sambil berjalan keluar, kubuka perlahan surat indah nan wangi itu. Nampak tiga baris kalimat. Hanya itu.

"Mas, terima kasih atas kejujuranmu."
"Aku pun sepertimu menanggung beban rindu padamu selama dua belas tahun."
"Terima kasih"

Hanya itu. Tentu saja aku tidak puas. Tapi, ternyata tanpa kuduga, ia pun menaruh hati padaku.

Rasa bahagia segarkan jiwa sepiku. Walaupun hatiku bertanya-tanya, kenapa ia membalas dengan sebuah surat hanya untuk tiga bait itu? Padahal sebuah sms lebih efektif dan efisien.

Ah, wanita terkadang tak mudah diterka. Aku lupa. Tapi... Kenapa isi suratnya hanya sebatas itu. Aku pikir terlalu singkat nan simpel untuk sebuah surat cinta. Hmhm.. Apa yang salah?..

Kutepuk kening tirusku. Bukankah aku hanya mengatakan seluruh rasa hatiku padanya. Tidak sedikitpun aku membahas komitment atau niatan hatiku untuk meminangnya.

Duh bodohnya diriku, tertipu ketakutan dan keminderan diriku sendiri. Sebuah pelajaran berharga kudapatkan,"Jangan pernah takut untuk mencoba jika kita tak pernah tahu hasilnya"

Kususuri jalan ibukota yang mulai terik. Harapku, semoga ia kembali.

( Inget y, ini teh imajinasi liar alias fiksi belaka, pake nama "rizqi" sengaja biar lebih seru aj )

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun